ULAMA NUSANTARA DAN KARYANYA.
Kiai Ma’shum bin Ali, Ulama' Nusantara, Maestro Shorof Ahli Falak, Pengarang Kitab Fenomenal Amtsilatut Tasrifiyyah
فعل-يفعل-فعلا-ومفعلا-فهو-فاعل-وذاك-مفعول-افعل-لا تفعل-مفعل ٢×-مفعل
Bait diatas mungkin tak asing di telinga kita, khususnya kalangan
pesantren. Bait yang merupakan bagian dari rumus dari mempelajari ilmu
gramatikal ini ternyata adalah Mahakarya Ulama' Nusantara, KH. Ma'shum
bin Ali. Ulama' yang juga pengasuh pondok di Desa Seblak, Kecamatan
Diwek inilah Sang Muallif kitab yang menjadi rujukan hampir setiap
pesantren bahkan sampai mancanegara. Kitab yang dikenal dengan
"Tasrifan" ini membuat ilmu shorof yang terasa rumit begitu mudah karena
disajikan dalam bentuk bait. Kitab mahakarya Menantu KH. Hasyim Asy'ari
dari putrinyya Khoiriyyah ini jika diteliti ternyata sistematikan
terdapat makna filosofi begitu tinggi.
Salah satunya filosofi tentang
pendidikan karakter sebagaimana tertuang dalam fi’il tsulasi mujarrad seperti dalam enam kalimat awal setelah wazan فعل-يفعل
Yakni نصر-ضرب-فتح-علم-حسن-حسب yang bermakna
“Pada awalnya sang santri yang menuntut ilmu ditolong oleh orang tuanya
( ﻧَﺼَﺮَ), sesampainya di pondok pesantren ia dipukul dan dididik (
ﺿَﺮَﺏَ). Kemudian setelah tersakiti dari dipukul, maka hatinya akan
terbuka ( ﻓَﺘَﺢَ). Kemudian barulah ia akan menjadi orang yang
mengetahui/pintar ( ﻋَﻠِﻢَ) dan yang menuntutnya agar berbuat baik (
ﺣَﺴُﻦَ). Seraya berharap masuk surga di sisi Allah SWT ( ﺣَﺴِﺐَ).
Dan sistematika diatas dirangkum dalam bait :
ﻓَﺘْﺢُ ﺿَﻢٍّ ﻓَﺘْﺢُ ﻛَﺴْﺮٍ ﻓَﺘْﺤَﺘَﺎﻥِ * ﻛَﺴْﺮُ ﻓَﺘْﺢٍ ﺿَﻢُّ ﺿَﻢٍّﻛَﺴْﺮَﺗَﺎﻥِ
Pengarang kitab ilmu sharaf legendaris ini berasal Kota Pudak, Gresik.
Awal pendidikannya diasuh oleh ayahnya sendiri kemudian melanjutkan ke
Tebuireng. Kedatangannya ke sana juga disusul oleh adik kandungnya, KH.
Adlan Ali yang kelak atas inisiatif Hadratus Syeikh, mendirikan Pondok
Putri Wali Songo depan Pabrik Gula Cukir, Jombang.
Setelah lama
mengabdi di Tebuireng beliau berhijrah ke Dusun Seblak 300 M sebelah
barat Tebuireng yang di kala itu masyarakatnya masih banyak yang
melakukan
kemungkaran, seperti warga Tebuireng di masa lampau
sebelum , Kyai Hasyim mendirikan pesantren. Dan setelah melalui
perjuangan begitu keras akhirnya membuahkan hasil, maka pada tahun 1913,
ketika usianya baru 26 tahun, beliau mendirikan sebuah rumah sederhana
yang terbuat dari bambu yang berkembang menjadi pondok dan masjid dan
berkembang cukup pesat.
Meski sudah berhasil mendirikan pondok,
tetapi beliau tetap istiqomah mengajar di Madrasah Salafiyah Syafiiyah
Tebuireng, membantu Hadratus Syeikh mendidik santri.
Selain mahir
dalam ilmu gramatikal arab dalam Amsila At-Tasrifiyyah, beliau juga
memiliki karya lain seperti Fathul Qadir. Kitab pertama di Nusantara
yang menerangkan ukuran dan takaran Arab dalam bahasa Indonesia. Kitab
ini diterbitkan Salim Nabhan Surabaya pada tahun 1920-an, ketika beliau
masih hidup. Jumlah halamannya lumayan tipis tapi lengkap. Kitab ini
juga tidak sulit ditemukan di pasaran.
Ad-Durus al-Falakiyah
adalah karya beliau yang lain dalam.bidang ilmu falak, dimana dalam
kitab ini ilmu perbintangan ini disajikan dengan simpel karena disusun
secara sistematis dan konseptual. Di dalamnya termuat ilmu hitung,
logaritma, almanak Masehi dan Hijriyah, posisi matahari, dan sebagainya.
Kitab yang diterbitkan oleh Salim Nabhan Surabaya tahun 1375 H ini,
terdiri dari tiga juz yang setiap juz terdiri dari 109 halaman.
Kitab keempat adalah Badi’atul Mitsal. Kitab ini juga menerangkan
perihal ilmu falak. Beliau berpatokan bahwa yang menjadi pusat peredaran
alam semesta bukanlah matahari sebagaimana teori yang datang kemudian,
melainkan bumi. Sedangkan matahari, planet dan bintang yang jumlahnya
demikian banyak, berjalan mengelilingi bumi. Teori ini mirip teori
Geosentris oleh Claudius Ptolomeus.
Meski berilmu tinggi beliau
begitu tawaddu', akrab dengan masyarakat dan bersedia berguru pada
siapun tak pandang bulu seperti beliau yang pernah berguru kepada
seorang nelayan di atas perahu yakni selama dalam perjalanan haji dan
Hasil dari perjalanan itu beliau bisa menuntaskan kitab Badi’ah
al-Mitsal.
Beliau juga dikenal sufi dan zuhud sebagaimana sesaat
menjelang wafat seluruh fotonya dibakar. Padahal koleksi itu adalah
satu-satunya foto yang dimiliki. Hal ini tidak lain karena beliau takut
identitasnya diketahui banyak orang, yang nantinya akan menimbulkan
penyakit hati seperti riya’, ujub, dan sombong.
Dalam
kesehariannya beliau juga mencerminkan sosok pribadi yang harmonis, baik
bersama masyarakat, keluarga, maupun santri. Seperti pada mertuanya
Kyai Hasyim sepulangnya dari Mekkah tahun 1332 H, tak lupa beliau
membawakan kitab al-Jawahir al-Lawami’ sebagai hadiah. Bahkan kitab
as-Syifa’ yang pernah diberikannya, menjadi kitab referensi utama
hadratus syeikh ketika mengarang kitab.
Tetapi disisi lain beliau juga pernah berdebat dengan sang mertua sebagaimana penuturan almarhumah Nyai Khoiriyah Hasyim
Tentang dua persoalan. Pertama, soal hukum foto yang Menurut Kiai
Ma’shum, foto tidak haram. Sedangkan Kyai Hasyim berpandangan
sebaliknya.
Persoalan kedua adalah permulaan bulan puasa.
Kiai Ma’shum, yang mumpuni ilmu falaknya telah menentukannya dengan
hisab (perhitungan astronomis), sedangkan Hadratus Syeikh memilih dengan
teori rukyatul hilal (observasi bulan). Dan karena perbedaan ini,
keluarga Kiai Ma’sum di Seblak terlebih dahulu berpuasa daripada
keluarga Mbah Hasyim dan santrinya di Tebuireng.
Dan pada
akhirnya Allah SWT memanggil kekasihnya ini pada tnggal 24 Ramadhan 1351
atau 8 Januari 1933, setelah sebelumnya sempat menderita penyakit
paru-paru dengan usia 46 tahun dan dimakamkan di kompleks pemakaman
pesantren Tebuireng Cukir Jombang