Monday, January 23, 2017

Kisah BUGHATS / BURUNG GAGAK

Kisah BUGHATS / BURUNG GAGAK

Seorang ulama bercerita tentang do'a yang selalu ia lantunkan. Ia selalu mengucapkan do'a seperti berikut ini.
ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﺭﺯُﻗﻨَﺎ ﻛَﻤَﺎ ﺗَﺮﺯُﻕُ ﺍﻟﺒُﻐَﺎﺙَ
َ
Ya Allah, berilah aku rezeki sebagaimana Engkau memberi rezeki kepada bughats.

Apakah "bughats" itu?
Dan bagaimana kisahnya?
"Bughats" anak burung gagak yang baru menetas. Burung gagak ketika mengerami telurnya akan menetas mengeluarkan anak yang disebut "bughats".
Ketika sudah besar dia menjadi gagak (ghurab).
Apa perbedaan antara bughats dan ghurab?
Telah terbukti secara ilmiah, anak burung gagak ketika baru menetas warnanya bukan hitam seperti induknya, karena ia lahir tanpa bulu. Kulitnya berwarna putih.
Saat induknya menyaksikanya, ia tidak terima itu anaknya, hingga ia tidak mau memberi makan dan minum, lalu hanya mengintainya dari kejauhan saja.
Anak burung kecil malang yang baru menetas dari telur itu tidak mempunyai kemampuan untuk banyak bergerak, apalagi untuk terbang.
Lalu bagaimana ia makan dan minum...?
Allah Yang Maha Pemberi Rezeki yang menanggung rezekinya, karena Dialah yang telah menciptakannya.
Allah menciptakan _aroma_ tertentu yang keluar dari tubuh anak gagak tersebut sehingga mengundang datangnya serangga ke sarangnya. Lalu berbagai macam ulat dan serangga berdatangan sesuai dengan kebutuhan anak gagak dan ia pun memakannya.
ﻣﺎﺷﺎﺀﺍلله
Keadaannya terus seperti itu sampai warnanya berubah menjadi hitam, karena bulunya sudah tumbuh.
Ketika itu barulah gagak mengetahui itu anaknya dan ia pun mau memberinya makan sehingga tumbuh dewasa untuk bisa terbang mencari makan sendiri.
Secara otomatis aroma yang keluar dari tubuhnya pun hilang dan serangga tidak berdatangan lagi ke sarangnya.
Dia-lah Allah, Ar Razzaq, Yg Maha Penjamin Rezeki.
... ﻧَﺤْﻦُ ﻗَﺴَﻤْﻨَﺎ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻢْ ﻣَّﻌِﻴﺸَﺘَﻬُﻢْ ﻓِﻰ ﺍﻟْﺤَﻴٰﻮﺓِ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ
...Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia...
(QS. Az-Zukhruf: Ayat 32)
Rezekimu akan mendatangimu di mana pun engkau berada, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam:
"Sesungguhnya Malaikat Jibril membisikkan di dalam qalbuku bahwa seseorang tidak akan meninggal sampai sempurna seluruh rezekinya. Ketahuilah, bertaqwalah kepada Allah, dan perindahlah caramu meminta kepada Allah. Jangan sampai keterlambatan datangnya rezeki membuatmu mencarinya dengan cara bermaksiat kepada Allah. Sesungguhnya tidak akan didapatkan sesuatu yang ada di sisi Allah kecuali dengan menta'atinya."
Jadi tidaklah pantas bagi orang-orang yang beriman tidak mengindahkan halal haramnya rezeki dan cara memperolehnya.
ﺍَﻟﻠّٰﻬُﻢَّ ﺍَﻛْﻔِﻨِﻲْ ﺑِﺤَﻠَﺎﻟِﻚَ ﻋَﻦْ ﺣَﺮَﺍﻣِﻚَ، ﻭَﺃَﻏْﻨِﻨِﻲْ ﺑِﻔَﻀْﻠِﻚَ ﻋَﻤَّﻦْ ﺳِﻮَﺍﻙَ .
“Ya Allah, berilah aku kecukupan dengan rezeki yang halal, sehingga aku tidak memerlukan yang haram, dan berilah aku kekayaan dengan karuniamu, sehingga aku tidak memerlukan bantuan orang lain, selain diri-Mu.” (HR. Ahmad)
Oleh sebab itu wahai kaum muslim, janganlah kita takut akan kurangnya rezeki, Allah Subhanahu wa ta'ala sudah mengatur rezeki. Sadarilah kitalah yang sebenarnya tidak pernah puas dan qanaah (menerima) dalam mensyukuri nikmat.
Semoga hidup kita dicukupkan oleh rezeki yang halalan thoyyiban dan dipenuhi keberkahan didalam mencari karunia Allah Subhanahuwata'ala diatas muka bumi ini
Amin

Al Imam Ali bin Hasan al Aththas

Al Imam Ali bin Hasan al Aththas mngatakan :

ﺍﻥ ﺍﻟﻤﺤﺼﻮﻝ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻭﺍﻟﻔﺘﺢ ﻭﺍﻟﻨﻮﺭ ﺍﻋﻨﻲ ﺍﻟﻜﺸﻒ ﻟﻠﺤﺠﺐ، ﻋﻠﻰ ﻗﺪﺭ ﺍﻻﺩﺏ ﻣﻊ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻭﻋﻠﻰ ﻗﺪﺭ ﻣﺎ ﻳﻜﻮﻥ ﻛﺒﺮ ﻣﻘﺪﺍﺭﻩ ﻋﻨﺪﻙ ﻳﻜﻮﻥ ﻟﻚ ﺫﺍﻟﻚ ﺍﻟﻤﻘﺪﺍﺭ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺷﻚ

” Memperoleh ilmu, futuh dan cahaya (maksudnya terbukanya hijab batinnya), adalah sesuai kadar adabmu bersama gurumu. Kadar besarnya gurumu di hatimu, maka demikian pula kadar besarnya dirimu di sisi Allah tanpa ragu “.(al Manhaj as Sawiy : 217)


Imam Nawawi ketika hendak belajar kepada gurunya, beliau selalu bersedekah di perjalanan dan berdoa, ” Ya Allah, tutuplah dariku kekurangan guruku, hingga mataku tidak melihat kekurangannya dan tidak seorangpun yg menyampaikan kekurangan guruku kepadaku “. (Lawaqih al Anwaar al Qudsiyyah : 155)

Beliau pernah mengatakan dalam kitab At Tahdzibnya :

ﻋﻘﻮﻕ ﺍﻟﻮﺍﻟﺪﻳﻦ ﺗﻤﺤﻮﻩ ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ ﻭﻋﻘﻮﻕ ﺍﻻﺳﺘﺎﺫﻳﻦ ﻻ ﻳﻤﺤﻮﻩ ﺷﻲﺀ ﺍﻟﺒﺘﺔ

” Durhaka kepada orang tua dosanya bisa dihapus oleh taubat, tapi durhaka kepada ustadzmu tidak ada satupun yg dapat menghapusnya “.
Habib Abdullah Al Haddad mengatakan ” Paling bahayanya bagi seorang murid, adalah berubahnya hati gurunya kepadanya. Seandainya seluruh wali dari timur dan barat ingin memperbaiki keadaan si murid itu, niscaya tidak akan mampu kecuali gurunya telah ridha kembali “. (Adaab Suluk al Murid : 54)
Seorang murid sedang menyapu madrasah gurunya, tiba tiba Nabi Khidir mendatanginya. Murid itu tidak sedikitpun menoleh dan mengajak bicara nabi Khidhir. Maka nabi Khidhir berkata, ” Tidakkah kau mengenalku ?. Murid itu menjawab, ” ya aku mengenalmu, engkau adalah Abul Abbas al Khidhir “.
Nabi Khidhir, ” kenapa kamu tidak meminta sesuatu dariku ?”.
Murid itu menjawab, ” Guruku sudah cukup bagiku, tidak tersisa satupun hajat kepadamu “. (Kalam al Habib Idrus al Habsyi : 78)

Kenapa hadits yang diriwayatkan ahlu al-Bait (keturunan Rasulullah ﷺ) sedikit dalam kutub as-sittah?

Kenapa hadits yang diriwayatkan ahlu al-Bait (keturunan Rasulullah ﷺ) sedikit dalam kutub as-sittah?

Syekh Yusri hafizhahullah menjawab:

"Banyak yang tidak tau bahwa pada tiga abad pertama, masa dikumpulkan hadits di kutub sittah itu, pada masa kekuasaan Umawi lalu awal Abbasi.. ahlu al-bait saat itu diburu oleh para penguasa, dibunuh saat ditemukan.. karena para penguasa takut umat Islam berkumpul mendukung ahli al-bait & menyayingi mereka dalam kekuasaan... Lihat saja bagaimana Sayyiduna al-Husain dibunuh.. padahal beliau sudah berkata: "Biarkan aku, menyembah Allah di mana pun kamu mau" tapi pilihan hanya membai`at Yaziz atau dibunuh... beliaupun dibunuh.
Pemburuan ahlu al-bait, terutama para ulama berlangsung sampai sekitar 750 tahun.. mereka bahkan dilarang untuk ikut shalat jum`at.. supaya tidak ada yang mengikuti mereka.. mereka terkurung dalam rumah supaya tidak ada yang mengenal mereka... bahkan orang yang mengenal salah satu dari mereka pun ikut diburu.. ditangkap, dipenjara, diadzab & dibunuh.
Jadi, para ulama yang mengumpulkan hadits tersebut, demi memperoleh kebebasan bergerak dari satu tempat ke tempat lain & tidak diganggu para penguasa; maka mereka menghindari periwayatan hadits dari ahli al-bait.. agar tidak dilarang & diletakkan dalam penjara.. makanya kamu tidak menemukan banyak hadits yang diriwayatkan mereka.. bukan karena mereka tidak ada.
Pada masa pemerintahan Turki; ahlu al-Bait kembali muncul dari Maghrib & negeri-negeri lain.. hidup & menetap, dan menyebarkan ilmu-ilmu sunnah.
Makanya, kita menemukan dalam 700 tahun ini para periwayat hadits adalah asyraaf (para keturunan Nabi ﷺ) dari asyraaf... lalu sebelumnya bukan ahli al-bait atau tidak bernisbah pada ahli al-bait.
Dalam masa Turki, penguasa membiarkan ahli al-bait hidup dalam kebebasan.
Jadi, al-Imam al-Bukhari (dll) tidak dicela karena hal itu.
Ku kasih contoh bagaimana Imam an-Nasai meninggal:
Ketika beliau pergi ke Syam; beliau menemui warga yang fanatik pada Mu`awiyah dan membenci Ali.. Mereka mengatakan: "Riwayatkan pada kami hadits-hadits"..
Beliau pun mengadakan majlis-majlis hadits di Syam, membacakan pada mereka keutamaan-keutaman Sayyidina Ali dalam buku yang berjudul "Khashaaish Ali"..
Ketika selesai, setelah beberapa hari, mereka mengatakan: "Riwayatkan pada kami hadits-hadits tentang Mu`awiyah".. Imam an-Nasaai berkata: "Tidak ada yang ku dapati kecuali hadits: "Allah tidak Mengenyangkan perutnya".. hadirin pun mulai memukuli beliau, padal beliau sudah lanjut usia, di atas 80 tahun.
Pada saait itu, ada qafilah yang berangkat haji.. al-Imam an-Nasaai pun ikut pergi dalam keadaan sakit.. sampai di sana.. beliau meninggal & dikuburkan antara Safa & Marwah.
Begitulah... bayangkan.. seorang imam yang hanya bicara tentang keutaman salah satu ahli al-bait.. bagaimana yang menimpa beliau.. balasannya adalah maut.
Jadi, setiap masa ada keadaan tententu.. Sebelum kamu menghukumi seseorang; kamu perlu melihat dulu keadaan di masa orang itu berada.
Contoh lain adalah Imam Ali ar-Ridha yang tidak pernah keluar dari rumah. Yang pergi berdakwah adalah Sayyidina Ma`ruuf al-Karkhi, padahal tuannya tidak keluar.

Kiai Sahal, Pesantren, dan Kebangsaan

Kiai Sahal, Pesantren, dan Kebangsaan

Seluruh anak bangsa seyogianya termotivasi untuk mengikuti dan mengembangkan jejak langkah perjuangan Kiai Sahal yang berhasil mengukir tinta emas dalam sejarah kehidupan umat dan bangsa.
Salah satu tokoh pesantren yang sangat besar pengaruhnya dalam mendinamisir paradigma keilmuan pesantren dan pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah KH. MA. Sahal Mahfudh. Sebagai seorang yang lahir, tumbuh, dan berkembang di pesantren, Kiai Sahal adalah sosok pembaharu pesantren yang berjuang menjadikan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mampu menghasilkan kader-kader terbaik bangsa yang mampu mengubah keterbelakangan menjadi keunggulan.
Kiai Sahal tidak menerima jika pesantren dianggap sebagai lembaga pendidikan tradisional yang ortodoks, stagnan, dan tidak kompatibel dengan tantangan kekinian. Untuk mengubah stigma negatif tersebut, Kiai Sahal memosisikan diri sebagai lokomotif pembaharuan pesantren.
Ada beberapa langkah yang dilakukan Kiai Sahal untuk mendinamisir pesantren. Pertama, menjadikan kitab kuning yang menjadi referensi utama keilmuan pesantren sebagai solusi persoalan sosial. Hal ini dilakukan Kiai Sahal dalam forum bahtsul masail. Ketika kembali dari Pesantren Bendo Kediri asuhan KH. Muhajir dan Pesantren Sarang asuhan KH. Zubair Dahlan, Kiai Sahal menghidupkan kembali tradisi bahtsul masail di kecamatan Margoyoso dalam wadah Raudlatul Musyawarah.
Forum bahtsul masail tersebut dijadikan forum untuk mendiskusikan persoalan-persoalan sosial dalam perspektif kitab kuning. Kiai Sahal mendorong bahtsul masail tidak hanya memutuskan status hukum persoalan sosial secara hitam putih, halal atau haram, tapi juga memberikan solusi sebagai konsekwensi logis dari keputusan yang diambil. Jika diputuskan haram, maka bagaimana solusinya bagi yang melakukan dan jika diputuskan halal maka bagaimana melakukannya. Keputusan yang diambil tidak sekadar keputusan tanpa aplikasi di lapangan.
Kedua, pesantren dijadikan sebagai poros gerakan transformasi sosial secara sistematis, gradual, akuntabel, dan professional. Kiai Sahal membentuk BPPM (Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) untuk melakukan identifikasi problem-problem sosial secara komprehensif, merancang program kerja yang strategis dan efektif, dan merumuskan langkah-langkah taktis aplikatif. Kiai Sahal membentuk struktur organisasi BPPM yang terdiri dari kaum professional dengan manajemen modern. Struktur tersebut langsung terjun di masyarakat untuk membentuk TPM (Tim Penggerak Masyarakat) yang bertugas membentuk komunitas-komunitas kecil dalam masyarakat.
Komunitas-komunitas inilah yang dibimbing dan dilatih secara intensif tentang pentingnya kemandirian ekonomi, kewirausahaan, manajemen finansial, teknologi, dan masa depan yang harus diperjuangkan, baik masa depan dunia maupun akhirat. Menurut Kiai Sahal, tugas manusia di muka bumi ada dua, yaitu ibadatullah (menyembah Allah) dan imaratul ardli (meramaikan bumi).
Keduanya tidak bisa dipisahkan karena tugas manusia ada dua, yaitu sebagai abdullah (hamba Allah) yang selalu patuh dan taat kepada Allah dan sebagai khalifatullah (mandataris Allah) yang bertugas menegakkan keadilan dan mewujudkan kesejahteraan sosial. Sebagai abdullah, manusia harus mempunyai orientasi spiritual dalam segala sepak terjangnya, sehingga ada dimensi keikhlasan yang terpancar dalam hati. Sebagai khalifatullah, manusia membutuhkan banyak kompetensi untuk menegakkan keadilan sosial dan menumpas korupsi, kolusi, dan manipulasi.
Ketiga, Kiai Sahal mengembangkan paradigma berpikir pesantren yang biasanya berkutat kepada teks-teks fikih ansich menuju pemahaman yang berorientasi kepada maqasidus syariah, yaitu tujuan-tujuan aplikasi syariat, menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga harta, menjaga akal, dan menjaga keturunan. Maqasidus syariah yang jumlahnya lima ini menjadi parameter teks-teks fikih dalam merespons dinamika zaman. Dengan teori maqasidus syariah ini, fikih mampu mewujudkan kemaslahatan substansial (maslahah muhaqqaqah), yaitu mendatangkan kemanfaatan dan menolak kerusakan (jalb al-manafi’ wa dar’u al-mafasid) bagi kehidupan manusia.
Paradigma berpikir yang baru ini kemudian dikenal dengan nama fikih sosial. Fikih sosial mempunyai lima ciri utama, yaitu memahami teks-teks fikih secara kontekstual, beralih dari madzhab qauli ke madzhab manhaji, verifikasi mana ajaran yang ushul (fundamental) dan mana ajaran yang furu’ (instrumental), menjadikan fikih sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara, dan mengenalkan pemikiran filosofis, khususnya dalam masalah sosial budaya.
Kiai Sahal mampu menggerakkan tiga langkah di atas karena kapasitas pribadinya yang luar biasa. Di samping anak dan cucu kiai besar (ayah: KH. Mahfudh Salam, kakek: KH. Abdussalam) yang mempunyai garis keturunan sampai kepada Syekh Ahmad Mutamakkin yang menjadi pioner dakwah Islam di Kajen dan sekitarnya, Kiai Sahal juga mempunyai kapasitas personal yang komplit.
Kiai Sahal adalah pakar fikih dan ushul fikih, bahkan kepakarannya di bidang ushul fikih diakui oleh ulama dunia lewat dua karyanya, yaitu Thariqatul Husul yang menjelaskan kitab Lubbul Ushul dan kitab al-Bayanul Mulamma’ yang menjelaskan kitab Al-Luma’. Lebih dari itu, Kiai Sahal adalah sosok organisator ulung yang mempunyai skills kepemimpinan dan manajemen handal. Kemampuan komunikasi dan membangun relasi dari bawah sampai atas yang dilakukan dengan sabar dan gigih menempatkan Kiai Sahal dalam posisi terhormat dan akhirnya mendapat kepercayaan besar sebagai pucuk pimpinan dua organisasi besar, yaitu NU dan MUI.
Setelah Kiai Sahal menyelesaikan visi dan misinya memberdayakan pesantren, Kiai Sahal kemudian melangkahkan kakinya ke medan perjuangan yang lebih besar, yaitu NU, organisasi sosial keagamaan terbesar dunia dengan jumlah pengikut sekitar 85 juta, dan MUI yang pengurusnya tersebar di seluruh nusantara.
Dalam medan perjuangan yang lebih luas ini, Kiai Sahal menampakkan pemikiran progresif dan aksi-aksi sosial yang dinamis dan kontekstual. Kiai Sahal mendukung program KB (Keluarga Berencana) yang dimotori oleh Prof. Dr. Haryono Suyono. Selain itu, Kiai Sahal juga mendorong kerukunan antar sesama umat Islam dan antar sesama umat beragama. Kerukunan menjadi modal penting menjaga persatuan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Primordialisme dan sektarianisme harus dibuang karena membuat seseorang menjadi eksklusif, subyektif, dan fanatik sehingga sulit menerima masukan dan pandangan dari kelompok lain. Peran besar Kiai Sahal, baik baik di ranah pengembangan pesantren maupun dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi sumber inspirasi dan motivasi anak bangsa untuk meneladani dan mengembangkannya di masa-masa yang akan datang.