Wednesday, November 16, 2016

Ketika Murid Tidak Sesuai Harapan

Ketika Murid Tidak Sesuai Harapan
--------------------------------------------
Diceritakan dalam kitab Thobaqotus Syafi’iyyah bahwa Ar Robi’ bin Sulaiman ra. itu termasuk santri yang lelet alias susah paham, maka kadang pernah gurunya, yaitu Imam Asy Syafi’i ra., harus mengulangi satu masalah sampai 40 kali, itupun masih belum juga paham, lalu dia pun meninggalkan majlis itu karena merasa malu.
Kemudian Sang Guru memanggilnya dan mem-privat beliau pelajaran tadi hingga paham. Imam Asy Syafi’i berkata: “Hai Robi’, seandainya aku bisa memberimu ilmu semudah menyuapkan makanan, niscaya sudah aku lakukan.”
Diriwayatkan Imam Al Baihaqi dalam Manaqib Asy Syafi’i. Imam Al Ajuri dalam kitabnya, Akhlakul Ulama, berkata:
“Maka seorang guru harus ekstra sabar pada muridnya yang sulit paham, jangan kasar dan menghinanya sehingga membuat dia malu untuk belajar. Karena anda tidak tahu mana diantara murid-murid itu yang nanti akan menjadi murid paling berguna bagimu.”
Dan benarlah apa yang dikatakan Imam Al Ajuri, Robi’ inilah yang menjadi rowi utama Imam Asy Syafi’i, bahkan menurut ulama, jika ada perbedaan antara Imam Robi’ dan Imam Muzani maka Imam Robi’ lah yang dimenangkan.
*******
Ada satu kisah dari Waliyulloh Agung dari Pasuruan, Kiai Hamid, tentang bagaimana seharusnya seorang guru menghadapi murid yang tidak sesuai dengan harapannya seperti di atas.
Suatu hari di sekitar tahun 60-an, salah seorang santri beliau yang menjadi pimpinan GP Ansor Cabang Pasuruan nyaris putus asa dalam kaderisasi di ranting-ranting. Pasalnya, dari 100 lulusan pelatihan, paling hanya ada 3-5 orang kader saja yang betul-betul bisa diandalkan. Dalam kegalauannya ini, si santri memutuskan sowan pada Kiai Hamid dahulu untuk konsultasi.
Saat dia sowan, sembari menunjuk pada pohon-pohon kelapa yang berbanjar di pekarangan rumah, Kiai Hamid berkata panjang lebar.
“Aku menanam pohon ini, yang aku butuhkan itu buah kelapanya. Ternyata yang keluar pertama kali malah blarak, bukan kelapa. Setelah itu glugu, baru setelah beberapa waktu keluar mancung. Mancung pecah, nongol manggar, yang (sebagian rontok lalu sisanya) kemudian jadi bluluk, terus (banyak yang rontok juga dan sisanya) jadi cengkir, terus (sebagian lagi) jadi degan, baru kemudian jadi kelapa. Lho setelah jadi kelapa pun masih ada saput, batok, kulit tipis (yang semua itu bukan yg saya butuhkan tadi). Lantas, ketika mau diambil santannya, masih harus diparut kemudian diperas. Yang jadi santan tinggal sedikit. Lha itu sunnatulloh. Lha yang 95 orang kader itu, carilah, jadi apa dia. Glugu bisa dipakai untuk perkakas rumah, blarak untuk ketupat.”
Kalau inginnya mencetak orang ‘alim, tidak bisa diharapkan bahwa semua murid di kelas itu bakal jadi ‘alim semua. Pasti ada seleksi alam, akan ada proses pengerucutan. Meski begitu, bukan berarti pendidikan itu gagal. Katakanlah yang jadi hanya 5 %, tapi yang lain bukan lantas terbuang percuma. Yang lain tetap berguna, tapi untuk fungsi lain, untuk peran lain. (dari buku Percik-percik Keteladanan Kiai Hamid Pasuruan)

No comments:

Post a Comment