Thursday, June 16, 2016




Pada masa hidupnya Imam Hammad yang menjadi guru Imam Abu Hanifah, negara irak mendapat kunjungan seorang ilmuwan atheis yang menjadi utusan raja Romawi. Pada masa tersebut kekhalifahan dikuasai oleh bani Abbasiyyah.

Ilmuwan atheis tersebut adalah seorang ilmuwan yang cukup hebat karena dialah orang yeng telah mengalahkan banyak ulama Islam ketika berdebat tentang masalah ketuhanan.

Kedatangan ilmuwan tersebut selain karena menjadi utusan kaisar Romawi untuk suatu keperluan, dia juga punya tujuan lain yaitu untuk menantang berdebat ulama-ulama irak dan bermaksud mengalahkan mereka. Karena merasa pernah mengalahkan ulama-ulama di banyak forum-forum debat, ilmuwan tersebut dengan sombongnya menantang seluruh ulama yang ada di irak untuk berdebat dengannya.

Untuk mewujudkan keinginannya tersebut, dia meminta pada khalifah irak pada waktu itu untuk membuatkan forum terbuka dan menghadirkan para ulama-ulama irak dalam satu forum debat terbuka, dan permintaannya tersebut dikabulkan oleh khalifah.

Setelah forum diadakan, para ulama irak yang merasa risih dengan kesombongan ilmuwan atheis tersebut, satu persatu mereka maju untuk berdebat dengan ilmuwan tersebut. Namun sayang, ternyata ilmuwan tersebut sangat pandai bermain retorika dengan logika-logika yang cukup tajam, sehingga para ulama-ulama irak yang hadir bisa dikalahkan olehnya.

Setelah semua ulama bisa dikalahkan, dengan sombong ilmuwan atheis tersebut berkata; “Adakah ulama lain yang lebih hebat selain mereka??”.

Mendengar pertanyaan dari ilmuwan tersebut, salah seorang yang hadir dalam forum tersebut angkat bicara; “Ada satu lagi ulama kami yang sangat alim dan hari ini beliau tidak datang kesini, beliau adalah syaikh Hammad”.

Mendengar jawaban tersebut, ilmuwan atheis itu meminta kepada khalifah untuk mengundang syaikh Hammad supaya bersedia menghadapinya berdebat.

Mendengar permintaan ilmuwan tersebut, khalifah segera mengutus seorang kurir untuk mengundang syaikh Hammad agar hadir dalam forum perdebatan yang sudah ditentukan.

Mendapat undangan resmi dari khalifah agar beliau bersedia menghadapi ilmuwan atheis berdebat, syaikh Hammad berpesan kepada kurir untuk disampaikan kepada khalifah agar diberi waktu semalam untuk berfikir, dan khalifah pun mengizinkannya.

Setelah pagi menjelang, syaikh Hammad tampak murung memikirkan tentang perdebatannya dengan ilmuwan atheis nanti. Melihat gurunya tampak murung, salah seorang murid beliau yang tiada lain adalah Imam Abu Hanifah yang saat itu masih kecil, menghampiri gurunya lalu bertanya apa gerangan yang membuat sang guru tampak murung.

Setelah sang guru menceritakan kepada Imam Abu Hanifah an-Nu’man tentang undangan khalifah untuk menghadapi ilmuwan atheis berdebat, Imam Abu Hanifah yang saat itu masih kecil berkata pada gurunya; “Biarkan aku saja yang mengahadapi ilmuwan atheis sombong itu wahai syaikh”.

Mendengar perkataan muridnya, syaikh Hammad terkejut lalu berkata; “Kamu masih kecil wahai Nu’man, sedangkan ilmuwan atheis tersebut adalah orang yang sudah berpengalaman dalam berdebat dan telah banyak mengalahkan para ulama”.

Imam Abu Hanifah kecil berkata; “Wahai syaikh….semalam aku bermimpi agak aneh”.

Mendengar jawaban dari muridnya syaikh Hammad berkata; “Mimpi apa kamu semalam?”.

Mendengar pertanyaan dari gurunya tersebut, Imam Abu Hanifah kecil menjawab; “Semalam aku bermimpi melihat bangunan yang cukup luas dan penuh dengan keindahan”.

“Di dalam bangunan tersebut terdapat sebuah pohon besar dan sangat lebat sekali buahnya”.
“Tiba-tiba, dari salah satu sudut bangunan tersebut keluarlah seekor babi hutan yang lalu babi hutan tersebut memakan seluruh buah yang ada pada pohon tersebut”.

“Setelah seluruh buah dalam pohon tersebut habis dilahapnya, babi tersebut lalu memakan seluruh daun-daun juga ranting-rantingnya, sehingga tidak tersisa kecuali tinggal batang pohon itu sendiri”.

“Setelah tinggal batangnya yang tersisa, tiba-tiba keluarlah seekor singa dari pohon tersebut lalu dibunuhlah babi hutan tersebut oleh sang singa”.

Setelah bercerita tentang mimpinya semalam, Imam Abu Hanifah kecil lalu berkata; “Wahai syaikh, sesungguhnya Allah Ta’ala telah menganugrahiku ilmu menafsirkan mimpi. Mimpi saya ini adalah pertanda baik bagi kita dan menjadi pertanda buruk bagi musuh-musuh kita, jika syaikh berkenan, saya akan menyampaikan tafsir dari mimpi ini”.

Mendengar penuturan muridnya, syaikh Hammad lalu berkata; “Katakan kepadaku apa tafsir dari mimpimu tersebut wahai Nu’man”.

Imam Abu Hanifah kecil lalu berkata; “Bangunan yang besar tersebut adalah agama Islam, pohon besar yang berbuah tersebut adalah para ulama, sedangkan batang yang tersisa dari pohon tersebut adalah engkau wahai syaikh”.

“Babi hutan tersebut adalah ilmuwan atheis, sedangkan singa yang keluar dari batang pohon tersebut adalah aku”.

Setelah menjelaskan tafsir mimpinya kepada sang guru, Imam Abu Hanifah kecil lalu berkata; “Izinkalah saya wahai syaikh untuk menghadapi ilmuwan atheis tersebut”.

Mendengar penuturan muridnya, syaikh Hammad berkata; “Kalau memang demikian, mari kita berangkat memenuhi undangan khalifah sekarang juga…tetapi nanti kalau ditanya oleh ilmuwan tersebut kamu ini siapa, apa yang harus saya katakana??”.

Imam Abu Hanifah kecil menjawab; “Katakan saja saya ini adalah orang yang membawakan sepatu engkau wahai syaikh”.

Setelah berkata demikian, bergegaslah guru dan murid tersebut ke tempat yang sudah ditentukan untuk forum perdebatan. Sesampainya di tempat tersebut, ilmuwan atheis terlihat sedang berjalan menuju mimbar utama yang ada di tempat tersebut. Setelah berada di atas mimbar, ilmuwan atheis tersebut dengan sombongnya berkata; “Siapa diantara kalian yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan saya?”.

Mendengar ucapan congkak dari ilmuwan atheis, imam Abu Hanifah kecil segara berdiri lalu berkata; “Katakan saja apa pertanyaanmu, nanti pasti akan akan ada yang menjawab”.

Melihat ada anak kecil yang dengan lantang menyambut sesumbar dari ilmuwan atheis, para hadirin yang ada dalam forum tersebut termasuk ilmuwan dan juga khalifah bertanya-tanya, siapakah gerangan anak kecil yang lantang dan pemberani ini??.

Ilmuwan atheis berkata; “Siapa engkau wahai anak kecil, kok berani-beraninya berbicara denganku??”.
“Banyak orang yang jauh lebih tua darimu, orang-orang yang punya sorban besar, pemilik baju-baju megah, pemakai jubah-jubah longgar yang telah saya taklukan, jadi bagaimana mungkin engkau yang masih anak-anak dan masih ingusan berani lantang bicara seperti itu di depanku??”

Imam Abu Hanifah kecil menjawab; “Allah Ta’ala tidak meletakkan kemulyaan dan keluhuran pada sorban-sorban besar, pada baju-baju megah, ataupun pada jubah-jubah longgar, melainkan Allah Ta’ala meletakan kemulyaan dan keluhuran pada diri para ulama”.

Ilmuwan atheis berkata; “Apakah engkau yang akan berdebat denganku wahai anak kecil??”.

Imam Abu Hanifah kecil menjawab; “Iya, dengan pertolongan Allah saya akan berdebat denganmu wahai atheis”.

Ilmuwan atheis berkata; “Oke kalau begitu, sekarang jawab pertanyaanku…..Apakah Allah itu ada wahai anak kecil?!”.

Imam Abu Hanifah kecil menjawab; “Iya ada”.

Ilmuwan atheis berkata; “Dimana Ia berada??”.

Imam Abu Hanifah kecil menjawab; “Allah tidak bertempat wahai atheis”.

Ilmuwan atheis berkata; “Bagaimana bisa sesuatu yang tidak bertempat bisa kamu katakana ada??!”.

Imam Abu Hanifah kecil menjawab; “Jawaban tentang pertanyaanmu ada pada tubuhmu”.

Ilmuwan atheis berkata; “Apa itu?”.

Imam Abu Hanifah kecil menjawab; “Apakah di dalam tubuhmu terdapat ruh wahai atheis??”.
Ilmuwan atheis berkata; “Iya ada”.

Imam Abu Hanifah kecil menjawab; “Dimana letak ruhmu??, apakah di kepalamu?, atau di perutmu?, ataukah di kakimu??!”.

Mendengar jawaban dari Imam Abu Hanifah kecil ilmuwan atheis tersebut kebingungan untuk menjawab, sambil menunggu ilmuwan atheis menemukan jawaban atas pertanyaan Imam Abu Hanifah kecil, ia meminta kepada panitia untuk dibawakan segelas susu.

Setelah susu diberikan kepada beliau lalu beliau meminumnya sedikit, imam Abu Hanifah kecil berkata; “Apakah di dalam susu ini terdapat lemak wahai atheis?”.

Ilmuwan atheis berkata; “Iya tentu ada”.

Imam Abu Hanifah kecil menjawab; “Dimana letak lemak tersebut wahai atheis?, apakah di atas permukaan susu ataukah di bawahnya?”.

Mendengar pertanyaan dari Imam Abu Hanifah kecil, wajah ilmuwan atheis terlihat pucat pasi, sangat kentara raut kebingungan di wajahnya.

Melihat rona kebingungan dari ilmuwan atheis, imam Abu Hanifah kecil berkata; “Sebagaimana tidak ditemukannya tempat bagi ruh di dalam tubuh juga tempat lemak di dalam susu, begitu juga tidak akan ditemukan tempat bagi Allah di alam semesta yang merupakan ciptaannya ini”.

Setelah mendengar penuturan dari Imam Abu Hanifah kecil yang membuatnya kebingungan untuk menjawab, ilmuwan atheis tersebut berkata; “Oke kalau begitu, sekarang jawab pertanyaanku berikutnya…..apa yang ada sebelum Allah ada dan apa yang ada setelah Allah??”.

Imam Abu Hanifah kecil menjawab; “Tidak ada yang sebelum Allah dan tidak ada yang setelah-Nya”.

Ilmuwan atheis berkata; “Bagaimana penggambarannya sesuatu yang ada tapi tidak ada sebelumnya dan tidak ada pula setelahnya??”.

Imam Abu Hanifah kecil menjawab; “Jawaban untuk pertanyaanmu ini, juga ada dalam tubuhmu wahai atheis”.

Ilmuwan atheis berkata; “Apa itu wahai anak kecil??”.

Imam Abu Hanifah kecil menjawab; “Apa yang ada sebelum jempolmu wahai atheis dan apa yang ada setelah jari kelingkingmu??”.

Ilmuwan atheis berkata; “Tidak ada apa-apa sebelum jempolku dan tidak ada apa-apa pula setelah kelingkingku”.

Imam Abu Hanifah kecil berkata; “Maka begitu juga Allah Ta’ala, tidak ada apa-apa sebelum-Nya dan tidak ada apa-apa pula setelah-Nya”.

Setelah mendengar penuturan imam Abu Hanifah yang cukup tajam, ilmuwan atheis tersebut berkata; “Oke….saya masih punya satu pertanyaan lagi untukmu wahai anak kecil”.

Imam Abu Hanifah kecil berkata; “Saya menjawab pertanyaanmu Insya Allah”.

Ilmuwan atheis berkata; “Pertanyaan terakhir saya adalah, apa yang saat ini sedang dilakukan oleh Allah??”.

Mendengar pertanyaan ilmuwan atheis tersebut, imam Abu Hanifah kecil berkata; “Sebelum saya menjawab pertanyaanmu, apakah tidak sepantasnya bagi orang yang menjawab untuk berada di atas mimbar dan orang yang bertanya berada di bawah mimbar?!”.

Mendengar penuturan Imam Abu Hanifah kecil yang cukup mengejutkan tersebut, dengan langkah gontai ilmuwan atheis bergegas turun dari mimbar dan dengan langkah mantap, naiklah imam Abu Hanifah kecil di atas mimbar.

Setelah Imam Abu Hanifah kecil duduk di atas mimbar, beliau meminta kembali pada ilmuwan atheis untuk mengulangi pertanyaannya sekali lagi.

Setelah ilmuwan atheis mengulangi lagi pertanyaannya, dengan tenang dan tegas imam Abu Hanifah kecil menjawab; “Yang dilakukan Allah Ta’ala saat ini adalah menjatuhkan derajat orang-orang sesat sepertimu dari atas ke bawah, dan meninggikan derajat orang-orang yang berada dalam kebenaran seperti aku dari bawah ke atas”.

KH Abdul Hamid Pasuruan





Oleh KH A. Mustofa Bisri

Mungkin banyak orang yang tidak tahu bahwa shahabat Umar Ibn Khatthab (40 S.H. – 23 H.) itu “faqih” mujtahid dan fatwa-fatwanya dibukukan orang dan dikenal sebagai fiqh Umar. Mungkin juga tak  banyak yang  tahu bahwa khalifah kedua ini muhdats (gampangnya, wali besar menurut istilah di kita sekarang). 
Beliau pernah mengomando pasukan muslimin yang berada di luar negeri cukup dari mimbar mesjid di Madinah; pernah menyurati dan mengancam sungai Nil di Mesir yang banyak tingkah, hingga ‘nurut’ –memberi manfaat manusia tanpa minta imbalan korban perawan seperti semula-- sampai sekarang ini; sering dengan firasatnya, shahabat Umar menyelamatkan orang. Bahkan khalifah yang pertama-tama dijuluki Amirul mukminin ini, pendapatnya sering selaras dengan wahyu yang turun kemudian kepada Rasulullah SAW (Misalnya pendapat beliau tentang tawanan Badr, tentang pelarangan khamr, tentang adzan, dsb.). 
Namun manaqibnya jarang atau mungkin malah tidak pernah dibaca orang. Umumnya orang hanya mengenal beliau sebagai pemimpin yang al-Qawwiyul Amien, yang kuat dan amanah. Pemimpin kelas dunia (bahkan Michael Hart memasukkan beliau dalam 100 tokoh paling berpengaruh di dunia) yang sering di elu-elukan sebagai Bapak Demokrasi yang penuh toleransi. 

Boleh jadi juga banyak yang tidak tahu bahwa sahabat Abu Bakar Siddieq (51 S.H. – 13 H.) adalah waliyullah paling besar sepanjang zaman. Kebesarannya tampak sekali saat Rasulullah SAW wafat.  Ketika semua orang, bahkan shahabat Umar yang perkasa, terpukul dan panik penuh ketidakpercayaan, Sahabat Abu Bakar –yang pasti paling sedih dan paling merasa kehilangan dengan wafatnya sang  kekasih agung itu—sedikit pun tidak kelihatan guncang, apalagi kehilangan keseimbangan. 
Sahabat nomor wahid itu bahkan masih sempat mengingatkan shahabat Umar dan yang lain tentang firman Allah, Wamaa Muhammadun illa Rasuul qad khalat min qablihir rusul …yaitu bahwa betapa pun besarnya Muhammad SAW dia tetap manusia yang bisa mati. Hanya Allah yang hidup dan tak mati. “Man kaana ya’budu Muhammadan fainna Muhammadan qad maat; waman ya’buduLlaaha fainnaLlaha Hayyun la yamuut;” kata beliau saat itu menyadarkan shahabat Umar dan yang lain. 
Wali mana yang lebih besar dari orang yang disebut Rasulullah SAW sebagai kekasihnya, Abu Bakar Shiddiq ini?  Sebagaimana shahabat Umar, juga jarang yang mengingat bahwa shahabat Abu Bakar juga mujtahid dalam arti yang sesungguhnya. Umumnya orang hanya mengenal shahabat abu Bakar sebagai shahabat yang mulia budi bahasanya, negarawan dan khalifah pertama Khulafa-ur Rasyidien.
Demikian pula shahabat-shahabat besar yang lain seperti sayyidina Utsman Ibn ‘Affan (47 S.H. – 35 H.) dan sayyidina Ali Ibn Abi Thalib (W. 40 H.), kebanyakan orang hanya mengenal sebagian dari sosok mereka yang paling menonjol; sehingga sisi-sisi kelebihan yang lain bahkan sering terlupakan. Dalam kitabnya Thabaqaat al-Fuqahaa, imam Abu Ishaq as-Syairazy menempatkan Khulafa-ur Rasyidien –secara berurutan-- di deretan pertama tokoh-tokoh faqih dunia. Tapi siapakah yang tersadar bahwa tokoh-tokoh khulafa itu ‘ahli fiqh’ juga? 
 
Hal yang sama, dengan pencitraan yang berbeda-beda, terjadi pada tokoh-tokoh berikutnya. Imam Syafi’i (150 H.- 204 H.) misalnya, karena sudah terlanjur beken di bidang fiqh, apalagi  menciptakan kaidah fiqh yang sangat jenius dan spektakuler, banyak orang yang lupa bahwa beliau sebenarnya juga menguasai ilmu hadis dan sastrawan yang handal; beliau mempunyai antologi puisi yang kemudian dikenal dengan Diewan Asy-Syafi’i. Lebih sedikit lagi yang tahu bahwa Muhammad Ibn Idris ini juga mengerti tentang musik. Setiap orang berbicara tentang imam Syafi’i boleh dikata hanya sebagai sosok faqih mujtahid belaka.

Lebih malang lagi adalah imam Ibn Taimiyah yang hanya gara-gara kemononjolannya dalam hal menentang tawassul, oleh sebagian banyak orang –khususnya pengagum Imam Ghazaly—ditolak seluruh pemikirannya dan tidak dianggap sebagai imam yang alim dan mumpuni.  

Syeikh Abdul Qadir Jailany (atau Jiely atau Kailany, 470-561 H. ) yang dijuluki Sulthaanul ‘Auliyaa, Raja Para Wali, barangkali tak banyak yang mengetahui bahwa beliau sebenarnya menguasai tidak kurang dari 12 ilmu. Beliau  mengajar ilmu-ilmu Qira'ah, Tafsir, Hadis, Perbandingan madzhab, Ushuluddin, Ushul Fiqh, Nahwu, dlsb. Belia berfatwa menurut madzhab Syafi’i dan Hanbali. Namun karena orang melihat sosok akhlaknya yang sangat menonjol, maka orang pun hanya melihatnya sebagai seorang sufi atau wali besar.

Demikianlah umumnya tokoh besar, sering ‘divonis’ harus menjadi ‘hanya sebagai’ atau ‘dikurangi’ kebesarannya oleh citra kebesarannya sendiri yang menonjol. Masyarakat tentu sulit diharapkan akan dapat melihat kebesaran seseorang tokoh secara utuh, paripurna; karena justru masyarakatlah yang pertama-tama terperangkap dalam sisi kebesaran yang menonjol dari sang tokoh dan kemudian tidak bisa melepaskan diri. Karena bagi mereka cukuplah apa yang mereka ketahui dari sang tokoh itu sebagai keutuhan kebesarannya. Barangkali disinilah pentingnya buku biografi seperti yang sekarang ada di tangan Anda. Biografi Almarhum wal maghfurlah Kiai Haji Abdul Hamid yang dikenal dengan Kiai Hamid Pasuruan ini.
***
Saya ‘mengenal’ secara pribadi sosok Kiai Abdul Hamid, ketika saya masih tergolong remaja, sekitar tahun 60-an. Ketika  itu saya dibawa ayah saya, KH Bisri Mustofa, ke suatu acara di Lasem. Memang sudah menjadi kebiasaan ayah, bila bertemu atau akan bertemu kiai-kiai, sedapat mungkin mengajak anak-anaknya untuk diperkenalkan dan dimintakan doa-restu. Saya kira ini memang merupakan kebiasaan setiap kiai tempo doeloe. 
Waktu itu, di samping Kiai Hamid, ada Mbah Baidlawi, Mbah Maksum, dan kiai-kiai sepuh lain. Dengan mbah Baidlawi dan mbah Maksum, saya sudah sering ketemu, ketika beliau-beliau itu tindak Rembang, atau saya dibawa ayah sowan ke Lasem. Dengan kiai Hamid baru ketika itulah saya melihatnya. Wajahnya sangat rupawan. Seperti banyak kiai, ada rona ke-Arab-an dalam wajah rupawan itu. Matanya yang teduh bagai telaga dan mulutnya yang seperti senantiasa tersenyum, menebarkan pengaruh kedamaian kepada siapa pun yang memandangnya.
Ayah saya berkata kepada Kiai Hamid, “Ini anak saya Mustofa, Sampeyan suwuk!” Dan tanpa terduga-duga, tiba-tiba, kiai kharismatik itu mencengkeram dada saya sambil mengulang-ulang dengan suara lembut: “Waladush-shalih, shalih! Waladush-shalih, shalih!”. Telinga saya menangkap ucapan itu bukan sebagai suwuk, tapi cambuk yang terus terngiang; persis seperti tulisan ayah saya sendiri di notes saya: “Liyakun waladul asadi syiblan laa hirratan.” (“Anak singa seharusnya singa, bukan kucing!”). Apalagi dalam beberapa kali petemuan selanjutnya, cengkeraman pada dada dan ucapan lembut itu selalu beliau ulang-ulang. Tapi dalam hati, diam-diam saya selalu berharap cambuk itu  benar-benar mengandung suwuk, doa restu.   

Kemudian ketika saya sering berjumpa dalam berbagai kesempatan, apalagi setelah saya mulai mengenal putera-putera beliau –Gus Nu’man, Gus Nasih, dan Gus Idris— , Kiai Hamid pun menjadi salah satu tokoh idola saya yang istimewa. Pengertian idola ini, boleh jadi tidak sama persis dengan apa yang dipahami kebanyakan orang yang mengidolakan beliau. Biasanya orang hanya membicarakan dan mengagumi karomah beliau lalu dari sana, mereka mengharap berkah. Seolah-olah kehadiran Kiai Hamid –Allah yunawwir dhariihah— hanyalah sebagai ‘pemberi berkah’ kepada mereka yang menghajatkan berkah. Lalu beliau pun dijadikan inspirasi banyak santri muda yang –melihat dan mendengar karomah beliau-- ingin menjadi wali dengan jalan pintas. Padahal berkah beliau, paling tidak menurut saya –dengan alasan-alasan yang akan saya kemukakan melalui kisah-kisah di belakang—lebih dari itu. 

Pernah suatu hari saya sowan ke kediaman beliau di Pasuruan. Berkat ‘kolusi’ dengan Gus Nu’man, saya bisa menghadap langsung empat mata di bagian dalam ndalem. Saya melihat manusia yang sangat manusia yang menghargai manusia sebagai manusia. Bayangkan saja; waktu itu ibaratnya beliau sudah merupakan punjer-nya tanah Jawa, dan beliau mentasyjie’ saya agar tidak sungkan duduk sebangku dengan beliau. 
Ketawaduan, keramahan, dan kebapakan beliau, membuat kesungkanan saya sedikit demi sedikit mencair. Beliau bertanya tentang Rembang dan kabar orang-orang Rembang yang beliau kenal. Tak ada fatwa-fatwa atau nasihat-nasihat secara langsung, tapi saya mendapatkan banyak fatwa dan nasihat dalam pertemuan hampir satu jam itu, melalui sikap dan cerita-cerita beliau. Misalnya, beliau menghajar nafsu tamak saya dengan terus menerus merogoh saku-saku beliau dan mengeluarkan uang seolah-olah siap memberikannya kepada saya (Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa salah satu ‘hoby’ Kiai Hamid adalah membagi-bagikan uang). Atau ketika beliau bercerita tentang kawan Rembang-nya yang dapat saya tangkap intinya: setiap manusia mempunyai kelebihan di samping kekurangannya.

Ketika ‘krisis’ melanda NU di tahun 80-an, saya nderekke para rais NU Wilayah Jawa Tengah, Almarhum Kiai Ahmad Abdul Hamid Kendal, Almarhum Kiai A. Malik Demak, dan Kiai Sahal Machfudz Kajen, sowan ke kediaman kiai saya, Kiai Ali Maksum Krapyak Yogya –Allah yarhamuh—yang waktu itu Rais ‘Am. Kebetulan pada waktu itu Kiai Hamid sudah ada disana. 
Seperti biasa dengan nada berkelakar, Pak Ali –demikian santri-santri Kiai Ali selalu memanggil beliau—berkata kepada Kiai Hamid: “Iki lho, Mustofa  kandani, seneni!”  (“Ini lho Mustofa dinasihati, marahi!”). Memang ketika itu saya sedang ada ‘polemik’ dengan kiai saya yang ‘liberal’ itu. Sekali lagi saya saksikan Kiai Hamid –dalam memenuhi permintaan sahabat-karibnya itu—dengan kelembutannya yang khas, hanya bercerita. “Saya tidak bisa bernasihat; mau menasihati apa? Tapi saya ingat dulu Syaikhuna …” demikian beliau memulai. Dan, masya Allah, dari cerita beliau, semua yang hadir merasa mendapat petuah yang sangat berharga; khususnya bagi kehidupan berorganisasi dan bermasyarakat. Prinsip-prinsip penting organisasi, beliau sampaikan --dengan metode cerita— sama sekali tanpa nada indoktrinasi atau briefing; apalagi menggurui. Luar biasa!

Sengaja saya ceritakan  beberapa pengalaman pertemuan  saya dengan Kiai Hamid di atas, selain sebagai tahadduts bin-ni’mah, saya ingin menunjukkan bahwa beliau memiliki ‘karomah’ yang lain, yang lain dari yang dipahami banyak orang. Sebenarnya buku yang sekarang ada di tangan Anda, sudah cukup memberikan gambaran agak utuh tentang sosok beliau; khususnya yang berkaitan dengan sifat-sifat keteladanan beliau. Tentang penguasaan ilmu, akhlak, dan perhatian beliau terhadap umat. Pendek kata tentang hal-hal yang di masa kini sudah terbilang langka.

Yang kiranya masih perlu dibeber lebih luas adalah proses yang berlangsung, yang membentuk seorang santri Abdul Mu’thi menjadi Kiai Abdul Hamid. Tentang ketekunan beliau mengasah pikir dengan menimba ilmu; tentang perjuangan beliau mencemerlangkan batin dengan penerapan ilmu dalam amal dan mujahadah; dan kesabaran beliau dalam mencapai kearifan dengan terus belajar dari pergaulan yang luas dan pengalaman yang terhayati. Sehingga menjadi kiai yang mutabahhir, yang karenanya penuh kearifan, pengertian, dan tidak kagetan.  
Kiai Hamid bukanlah ‘Wali Tiban’. ‘Wali Tiban’, kalau memang ada, tentu berpotensi kontroversial dalam masyarakat. Kiai Hamid tidak demikian. Beliau dianggap wali secara ‘muttafaq ‘alaih’. Bahkan  ayah saya, Kiai Bisri Mustofa dan guru saya Kiai Ali Maksum –keduanya adalah kawan-karib Kiai Hamid-- yang paling sulit mempercayai adanya wali di zaman ini, harus mengakui, meskipun sebelumnya sering meledek kewalian kawan-karib mereka ini. 

Banyak orang alim yang tidak mengajarkan secara tekun ilmunya dan tidak sedikit yang bahkan tidak mengamalkan ilmunya. Lebih banyak lagi orang yang tidak secara maksimal mengajarkan dan atau mengamalkan ilmunya. Sebagai contoh, banyak kiai yang menguasai ilmu bahasa dan sastra (Nahwu, sharaf, Balaghah, ‘Arudl, dsb.), namun jarang di antara mereka yang mengamalkannya bagi memproduksi karya sastra. 
Kebanyakan  mereka yang memiliki ilmu bahasa dan sastra itu menggunakannya ‘hanya’ untuk membaca kitab dan mengapresiasi, menghayati keindahan, kitab suci Al-Quran. Tentu tak banyak yang mengetahui bahwa salah satu peninggalan Kiai Hamid –rahimahuLlah—adalah naskah lengkap berupa antologi puisi. 

Banyak kiai yang karena ke-amanah-annya mendidik santri, sering melupakan anak-anak mereka sendiri. Kiai Hamid, seperti bisa dibaca di buku biografi ini, bukan saja mendidik santri dan masyarakat, tapi juga sekaligus keluarganya sendiri. 
    
Dari sosok yang sudah jadi Kiai Hamid, kita bisa menduga bahwa penghayatan dan pengamalan ilmu itu sudah beliau latih sejak masih nyantri. Demikian pula pergaulan luas yang membangun pribadi beliau, sudah beliau jalani sejak muda, sehingga beliau menjadi manusia utuh yang menghargai manusia sebagai manusia; bukan karena atribut tempelannya. Dan kesemuanya itu melahirkan kearifan yang dewasa ini sangat sulit dijumpai di kalangan tokoh-tokoh yang alim.

Waba’du; sebelum saya menulis pengantar ini, saya sudah salat sunah dua raka’at; namun saya masih tetap merasa tidak sopan dan tidak sepantasnya berbicara tentang Kiai Hamid seperti ini dan khawatir kalau-kalau beliau sendiri tidak berkenan. Kelembutan dan kearifan beliau seperti yang saya kenallah yang membuat saya berani menuruti permintaan Gus Idris dan pihak Yayasan Ma’had As-Saafiyah Pasuruan untuk menulis. 
Semoga tulisan saya ini termasuk menuturkan kemuliaan orang salih yang dapat menurunkan rahmat Allah. Idz bidzikrihim tatanazalur rahamaat. Dan mudah-mudahan masyarakat tidak hanya mendapat berkah dari manakib beliau ini, tapi lebih jauh dapat menyerap suri tauladan mulia dari sierah dan perilaku beliau. Allahumma ‘nfa’naa bi’uluumihil qayyimah wa akhlaaqihil kariemah. Amin. 
 
Rembang, 1 Shafar 1424

Saat Habib Luthfi Didatangi Ulama Jin dan Setan Nganggur





Risalah Nabi Muhammad Saw. bukan diperuntukkan bagi manusia saja melainkan juga jin. Di dunia manusia ada para ulama dan wali Allah, maka di dunia jin juga sama. Tapi sehalus-halusnya jin masih jauh lebih kasar dibanding manusia yang paling kasar sekalipun. Hal demikian karena berbeda dimensinya.
Suatu waktu Habib Luthfi bin Yahya didatangi oleh sekelompok kiai atau ulama jin. Nampak di wajah mereka bersinar terang meskipun rupa kaki mereka berbeda-beda menyerupai kaki hewan-hewan. Dalam dunia jin mereka pun punya santri dan murid yang banyak. Kedatangan mereka kala itu meminta sang habib memberikan ijazah atau amalan. 
"Habib, kedatangan kami di sini minta ijazah amalan khusus."
"Lho kalian kan ulama, kiai, kenapa perlu memintanya kepada saya?" Jawab Habib Luthfi.
"Karena kami tak bisa menanganinya, banyak dari kami (kaum jin) yang kesurupan manusia."
Di waktu yang lain Habib Luthfi didatangi sekelompok setan yang jumlahnya cukup banyak. Mereka melakukan demo kepada habib menuntut supaya diberikan pekerjaan. "Banyak dari kami yang jadi pengangguran!" Protes mereka.
"Memangnya kenapa kalian jadi pengangguran?" Tanya Habib Luthfi.
"Kami protes kepada Habib, karena pekerjaan-pekerjaan yang selama ini kami jalankan sekarang sudah dirampas/dilakukan oleh kaummu (manusia)."