Mencatut Nama Qur'an dan Sunnah, Bukan Pekerjaan Ulama Salaf!
Kita tidak mendapati –sejak dulu- ulama salaf yang beneran salaf juga ulam
a
madzhab, yang dalam masalah-masalah fiqih, mereka menisbatkan pendapat
hasil ijtihad mereka kepada al-Qur’an dan sunnah. Dengan bahasa yang
lebih ringan, kita tidak pernah mendapati mereka menuliskan dalam
kitab-kitab mereka “ini pendapat yang shahih dan benar menurut al-Qur’an
dan sunnah”. Tidak pernah kita dapati itu. Sama sekali tidak pernah.
Yang kita dapati adalah, bahwa mereka dalam masalah-masalah fiqih yang
mereka ijtihad-kan mereka menisbatkan pendapat mereka itu kepada diri
mereka atau madzhab mereka.
Itu tentu bukan karena para salaf dan ulama madzhab serta imam-imam
mulia mereka tidak mengambil hukum dari al-Qura’an dan sunnah. Bukan itu
tentunya. Keliru jika ada yang beranggapan seperti ini. Toh para
imam-imam itu beserta ulamanya, adalah orang yang memang sangat mengerti
dengan dalam maksud teks syariah, baik ayat atau juga hadits. Baik itu
yang manthuq atau juga yang mafhum-nya. Apa yang mereka lakukan dengan
tidak menisbatkan pendapat mereka kepada al-Qur’an dan sunnah, itu bukti
kedalaman kepahaman mereka terhadap teks-teks al-Quran dan sunnah.
Syariah dan Fiqih
Yang mesti kita tahu terlebih dahulu, bahwa dalam al-Qur’an dan sunnah
yang merupakan 2 sumber utama dalam syariat Islam ini ada di dalamnya
teks yang bersifat qath’iy (pasti), dan juga yang sifatnya Dzanniy
(duga-duga). Yang Qath’iy itu adalah teks yang tidak punya makna
berbilang dan sudah tidak mungkin ditafsirkan lagi, serta tidak perlu
dilakukan didalamnya ijtihad. Itu yang disebut dengna istilah Nash.
Seperti wajibnya shalat, haramnya berjudi, mencuri juga berzina. Kesemua
itu syariah yang menghukumi.
Jadi wajibnya shalat itu bukan
perkara ijtihadiy, maka tidak bisa dikatakan “shalat itu wajib menurut
madzhab fulan...”, tidak bisa. Harus dikatakan bahwa “shalat itu wajib
menurut syariat islam!”.
Di samping Qath’iy, ada bahkan banyak
teks syariah yang sifatnya dznniy; karena memang ini yang menjadi porsi
terbesar dalam teks syariah, baik itu ayat al-Qur’an atau juga Hadits
nabi s.a.w.. dzanniy itu teks yang masih multi tafsir, mana tidak bisa
digali hukum dari teks tersebut kalau hanya berdiri sendiri karena
memang masih bias kandungannya. Yang membuat teks syariah itu menjadi
dzanniy banyak sebabnya, bisa karena memang dari sisi bahasa, teks
tersebut punya arti yang lebih dari satu dan kesemua punya kekuatan dari
segi pemakaian.
Atau mungkin karena memang kandungannya
berseinggungan atau berselisih denga teks syariah lainnya. Atau bisa
juga karena sumbernya yang masih diragukan; seperti hadits Ahad. Pada
intinya, teks-teks syariah yang sifatnya dzanniy ini tidak mungkin bisa
difahami dan tidak bisa digali hukum dari akndungannya kecuali dengan
upaya penelitian yang lebih mendalam. Itu yang dinamakan dengan ijithad.
Fiqih = Teks Dzanniy = Ijtihad
Nah, di teks-teks dzanniy inilah para imam madzhab dan ulamanya
bekerja. Artinya mereka memang bekerja menggali hukum dari teks-teks
yang syariah itu sendiri tidak memberikan hukum secara pasti, karena
memang sifatnya yang dzanniy. Kalau dibiarkan, tentu akan ada kekosongan
hukum yang jelas sangat tidak membantu bagi orang awam. Maka dari itu,
mereka; para imam beserta ulama madzhab meneliti, menelaah apa yang
sejatinya dimaksud oleh Allah s.w.t. dan juga Rasul-Nya s.a.w. dari ayat
dan juga hadits, untuk kemudian dihasilkan dari penelitian tersebut
sebuah hukum. Itu yang disebut dengan ijtihad.
Itu yang disebut
perkara ijtihadiy. Lapangannya adalah teks-teks dzanniy, yang bekerja di
dalamnya adalah imam dan ulama madzhab. Pekerjaan disebut ijtihad, dan
hasilnya dinamakan fiqih.
Contohnya ijtihad ulama madzhab dalam
hal menghitung masa iddah wanita yang tertalak oleh suaminya; apakah 3
kali masa hadih, atau 3 kali masa suci? Disebutkan dalam ayat dengan
redaksi “Quru’”; yang dalam bahasa arab, bisa berarti masa suci, bisa
berarti juga masa haidh. Atau juga ijtihad ulama madzhab terkait
bismillah dalam shalat sebelum membaca al-Fatihah, disebabkan karena
karena memang banyak dalil yang bersinggungan. Satu riwayat mengatakan
baca, riwayat lain justru tidak. ini lapangan ijtihad yang mana ulama
bekerja di dalamnya untuk kita; orang awam agar mudah memahami.
Maka dalam 2 hal di atas, atau lebih luasnya dalam hal fiqih, karena
memang medan kerjanya adalah teks-teks dzanniy yang butuh Ijtihad, tidak
bisa seseorang –siapapun itu- mengatakan bahwa masa Iddah wanita itu 3
masa haidh menurut syariat. Tidak! yang benar itu menurut madzhab fulan.
Tidak juga kita katakan, membaca bismillah dikeraskan dalam shalat itu
adalah yang benar menurut syariat. Tidak bisa! Itu benar menurut
ijtihadnya imam fulan atau madzhab fulan; Karena memang syariah sendiri
memberi peluang untuk diadakan ijtihad di dalamnya.
Ijtihad = Hasil Otak Bukan Wahyu
Dan yang namanya ijtihad itu kebenaran tidak mutlak dan tidak
ditentukan pada ijtihad siapa. Yang benar-benar tahu di ijtihad mana
kebenran itu berada hanyalah Allah s.w.t.. Ulama hanya menjalankan
perintah, bahwa teks yang masih bias harus dijalankan ijtihad, tentu
yang melaksanakan mereka yang kompeten. Maka kalimat yang masyhur dari
kalangan imam mazdhab itu adalah “qouliy shawab, yahtamilu al-khatha’.
Qoulu Ghairy Khatha’, Yahtamilu shawab” = “pendapatku benar, tapi bisa
jadi salah. Pendapat selainku salah, tapi bisa jadi benar”.
Karena memang yang namanya ijihad itu hasilnya bisa jadi benar, bisa
jadi salah. Tapi jika memamng dilakukan oleh pihak yang kompeten dan
otoritatif, kesalahanya tidak berdosa akan justru mendapat pahala.
Karena memang kebenarannya tidak pasti, tidak ada ulama yang berani
menisbatkan pendapatnya kepada al-Qur’an dan sunnah Nabi s.a.w.. Mungkin
sampai sini bisa dipahami mengapa tidak ada ulama yang mengatakan dalam
masalah fiqih “ini pendapat yang benar menurut al-Qur’an dan sunnah!”.
Tidak ada!
Hukum fiqih yang dihasilkan adalah hasil kerja otaknya
sendiri, yang bisa jadi salah bisa jadi benar. Dan otaknya itu
terbatas, juga bukanlah patokan kebenaran dalam syariah. Meraka selalu
mengatakan: “ini pendapatku, jika benar ini dari Allah. Jika salah ini
dari diriku dan juga setan!. Sama sekali tidak ada dari mereka yang
mematok kebenaran. Dan yang menyelisihnya salah, keliru, serta telah
menyelisih syariah.
Kalau mereka menisbatkan pendapatnya itu
kepada al-Quran dan sunnah, itu artinya ia menisbatkan sesuatu yang
kebenarannya belum dipastikan kepada Allah s.w.t. dan Rasul s.a.w.. Itu
artinya ia merasa bahwa otaknya itu adalah representasi dari apa yang
diinginkan oleh Allah s.w.t dan Rasul-Nya s.a.w.. artinya, jika
pendapatnya salah berarti ia telah menisbatkan kesalahan kepada Allah
s.w.t. yang maha benar dan kepada Rasul s.a.w.. Dosa apa yang lebih
besar dibanding menisbatkan kesalahan kepada Allah dan Rasul-Nya? Ini
pelecehan kepada al-Quran dan sunnah namanya.
Allah Maha Benar Tidak Mungkin Salah
Jadi, para ulama madzhab menisbatkan pendapat ijtihadnya kepada diri
mereka dan madzhab mereka sendiri tidak kepada al-Qur’an dan sunnah
bukan mereka tidak berhukum dengan al-Quran dan sunnah. Tapi Khawatir
kalau apa yang mereka ijtihadkan itu bukanlah sebuah kebenenaran yang
Allah swt dan Rasul-Nya inginkan. Mereka hanya menjalankan tugas
ijtihad, tapi tidak bertugas untuk mengaku-ngaku bahwa ijtihadnya yang
paling benar. Karena itu mereka tidak mengatakan: “ini pendapat yang
sesuai Kitab dan Sunnah!”.
Tapi justru dengan tegas mereka
mengatakan bahwa hasil ijtihadnya itu adalah pendapatnya sendiri.
Kalimat yang masyhur seperti ini: “ini adalah pendapatku, kalau ini
benar maka itu dari (anugerah) Allah dan kalau salah maka itu dari aku
sendiri dan dari setan. Dan Allah serta Rasul-Nya terbebas dari
(ijtihad)-ku ini.”
Dan ini adalah kebiasaan ulama salaf yang
benar-benar salaf yang memang diwarisi dari para sahabat Nabi s.a.w..
Ini juga terekam oleh Imam Ibn Taimiyyah dalam banyak halaman di kitab
beliau Majmu’ al-Fatawa, salah satunya di Bab 10, hal. 450:
وَقَدْ قَالَ أَبُو بَكْرٍ وَابْنُ مَسْعُوْدٍ وَغَيْرُهُمَا مِنَ
الصَّحَابَةِ فِيْمَا يُفْتُوْنَ فِيْهِ بِاجْتِهَادِهِمْ: إِنْ يَكُنْ
صَوَابًا فَمِنَ اللهِ وَإِنْ يَكُنْ خَطَأً فَهُوَ مِنِّي وَمِنَ
الشَّيْطَانِ وَاللهُ وَرَسُوْلُهُ بَرِيئَانِ مِنْهُ
“dan Abu Bakr
serta Ibnu Mas’ud serta sahabat lainnya telah berkata dalam setiap
fatwa yang merekaijtihadkan: ini adalah pendapatku, kalau ini benar maka
itu dari (anugerah) Allah dan kalau salah maka itu dari aku sendiri dan
dari setan. Dan Allah serta Rasul-Nya terbebas dari (ijtihad)-ku ini.”
Jadi, tidak gampang mengatakan: “ini yang benar sesuai quran dan
sunnah!”. Sebagaimana juga para sahabat mengajarkan itu. Karena bisa
saja ijtihadnya itu salah, akhirnya ia menisbatkan pendapat yang salah
kepada Allah dan Nabi saw. Naudzubillah.
Dan lebih jauh lagi,
kalau menisbatkan pendapat pribadi kepada sunnah, itu berarti menjual
nama Nabi s.a.w. agar pendapatnya ‘laku’, padahal sama sekali itu bukan
Nabi yang mengatakan, nyatanya itu hasil dari otaknya yang terbatas,
ingat bahwa berdusta atas nama Nabi s.a.w., hadiahnya adalah nereka.
وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“siapa yang berbohong atasku, maka hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di neraka” (Muttafaq ‘alayh)
Jadi, masih mau mencatut nama Allah s.w.t., dan Rasul-Nya s.a.w. agar
pendapat pribadi dari otak yang dangkal ini ‘laku’ di depan khalayak
awam? Silahkan jika memang mampu menandingi para sahabt juga ulama-ulama
madzhab.
Wallahu a’lam.