Sesuatu yang pada mulanya adalah mubah, akan naik tingkat menjadi wajib apabila itu diperintahkan oleh orang tua untuk dilaksanakan. Salah satu bentuk berbuat baik kepada orang tua (birrul walidain) adalah mejalankan semua perintah mereka selama perintah tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Contohnya seperti pagi hari yang agak dingin merona di kota madiun tercinta ini, ketika ibu sudah membikinkan kopi hitam panas dan dihantarkan padaku sambil berkata “Ini kopinya diminum” maka pada saat itu, meminum kopi adalah wajib bagiku, menolaknya adalah sebuah kemaksiatan kepada Allah Ta’ala sekaligus bentuk kedurhakaan kepada orang tua….wal iyadzu billah.
Imam Taqiyyuddin as-Subki memberikan contoh di dalam kitab Risalah Birrul walidain, apabila seorang anak laki-laki yang telah menikah, kemudian orang tuanya memerintahkannya untuk menceraikan istrinya, maka ia harus melaksanakan perceraian itu, tidak boleh tidak.
Dalam sebuah hadits Nabi shalallahu’alaihi wasallam disebutkan, terdapat seorang laki-laki yang medatangi Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam, mengadukan bahwa hartanya diambil oleh bapaknya, mendengar hal itu Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda
انت ومالك لأبيك
Kamu dan hartamu itu adalah milik bapakmu
Salah satu dosa besar, yang azabnya tidak hanya akan dirasakan nanti di akherat, tetapi akan langsung dirasakan di dunia sebelum kematian datang menjemput adalah dosa sebab durhaka kepada orang tua, sudah banyak contoh kisah mengenai hal ini…na’udzubillah
Guru adalah orang tua kedua bagi anak, mentaati perintahnya adalah sebuah kewajiban sebagaimana mentaati perintah orang tua. Sebagian ulama menyatakan bahwa mentaati dan menghormati guru lebih diutamakan dari mentaati orang tua, sebagaimana yang disebutkan dalam syair
أقدم أستاذى على نفس والدى** وان نالنى من والدى الفضل والشرف
Aku lebih mengutamakan ustadzku dari orang tua kandungku, meskipun aku mendapatkan dari orang tuaku keutamaan dan kemulyaan
فذاك مرب الروح والروح جوهر** وهذا مرب الجسم والجسم كالصدف
Ustadzku adalah pengasuh jiwaku dan jiwa adalah bagaikan mutiara, sedangkan orang tuaku adalah pengasuh badanku dan badan bagaikan kerangnya
Sebelum menentukan pilihan untuk belajar, seorang harus berhati-hati dan benar-benar menimbang dengan seksama, kepada siapa ia akan belajar. Jika sudah memantapkan hati untuk belajar kepada seorag guru, maka ia harus rela terhadap semua betuk tarbiyyah yang disampaikan oleh gurunya, semuanya. Mentaati perintahnya, tidak menentangnya, menghormatinya, tidak berprasangka buruk kepadanya, dsb.
Wajibnya taat tersebut, termasuk pula dalam hal-hal yang bersifat pribadi, seperti harta benda dan diri. Dalam sebuah ungkapan yang cukup terkenal, sayyidina Ali bin Abi Thalib karomallahu wajhah menyampaikan: “Aku adalah hamba sahaya bagi seseorang yang telah mengajariku meskipun satu huruf.”
Di dalam kitab al-Anwar al-Qudsiyyah, syaikh Abdul Wahhab asy-Sya’rani menyampaikan
أدب المريد مع شيخه، يلازمه، ويصبر عليه، ويحبه، ويسلم له حاله، ولا يعترض عليه، ولا يتزوج إلا بإذنه، ولا يكتمه شيئا، ويريه فقره إليه، ولا يقول له: لا. يرضى بكل اختياره
Bentuk tatakrama seorang murid kepada gurunya adalah selalu menetapinya, sabar terhadapnya, mencintainya, menyerahkan keadaan dirinya kepadanya, tidak menentangnya, tidak menikah kecuali atas izinnya, tidak menyimpan suatu masalah darinya, tidak berkata “tidak” kepadanya dan ridlo terhadap semua pilihan guru.
Imam Suhrowardi menyampaikan mengenai adab seorang murid kepada guru
وهكذا أدب المريد مع الشيخ أن يكون مسلوب الاختيار لا يتصرف في نفسه وماله إلا بمراجعة الشيخ وأمره
Beginilah tatakrama seorang murid dengan gurunya. Hendaknya seorang murid mengekang keinginannya sendiri, tidak berbuat sesuatu berkaitan dengan diri dan hartanya kecuali atas persetujuan seorang guru atau mendapatkan perintah darinya.
Syaikh Ahmad al-Abyurdi menyampaikan
إياكم والعمل على تغيير قلب شيخكم عليكم فإن من غيّر قلب شيخه عليه، لحقته العقوبة، ولو بعد موت الشيخ
Berhati-hatilah untuk tidak berbuat sesuatu yang bisa merubah hati gurumu kepadamu. Sesungguhnya murid yang merubah kondisi hati gurunya, maka ia akan mendapatkan akibat buruk, meskipun setelah kematian guru
Dalam sebuah kisah disebutkan, bahwa suatu ketika syaikh Abu Turob an-Nakhbasyi dan syaikh Syaqiq al-Balkhi menziarahi syaikh Abu Yazid al-Basthomi. Ketika murid syaikh Abu Yazid datang menghidangkan makanan, dua orang syaikh tersebut berkata; “Makanlah bersama kami wahai anak muda.”
“Tidak, saya sedang puasa,” jawab pemuda itu.
“Makanlah, semoga engkau mendapatkan ganjaran puasa satu bulan!!,” kata syaikh Abu Turob.
Pemuda itu menjawab: “Tidak.”
Syaikh Syaqiq al-Balkhi berkata: “Makanlah, semoga engkau mendapatkan pahala puasa satu tahun!!.”
Pemuda itu menjawab: “Tidak.”
Melihat hal tersebut, syaikh Abu Yazid al-Basthomi yang merupakan guru dari pemuda tadi kemudian berkata: “Biarkanlah ia terperosok jatuh dari penjagaan Allah Azza wa Jall.”
Satu tahun kemudian, diketahui pemuda tersebut mencuri sejumlah harta, ia lalu mendapatkan hukuman potong tangan atas perbuatan yang ia lakukan.
Cerita ini mengajarkan kepada kita tentang akibat seorang murid yang membuat jengkel hati gurunya dan tidak metaatinya.
Syaikh az-Zarnuji di dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim menyampaikan:
من تأذى منه أستاذه يحرم بركة العلم ولا ينتفع بالعلم الا قليلا
Barangsiapa yang menyakiti gurunya, maka tidak akan mendapatkan keberkahan ilmu dan tidak akan bermanfaat ilmunya kecuali sedikit
Semoga kita semua dianugrahi Allah Ta’ala kemudahan untuk bisa taat, hormat dan berbuat baik kepada orang tua dan guru kita semua….amiiin.
اللهم انفعنا بما علمتنا وعلمنا ما ينفعنا اللهم فقهنا في الدين والهمنا علماً نعرف به أوامرك ونجتنب به نواهيك
اللهم ارزق ابي وامي وجميع استاذي الجنة