Thursday, September 15, 2016

Mentaati Orang Tua dan Guru

Sesuatu yang pada mulanya adalah mubah, akan naik tingkat menjadi wajib apabila itu diperintahkan oleh orang tua untuk dilaksanakan. Salah satu bentuk berbuat baik kepada orang tua (birrul walidain) adalah mejalankan semua perintah mereka selama perintah tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Contohnya seperti pagi hari yang agak dingin merona di kota madiun tercinta ini, ketika ibu sudah membikinkan kopi hitam panas dan dihantarkan padaku sambil berkata “Ini kopinya diminum” maka pada saat itu, meminum kopi adalah wajib bagiku, menolaknya adalah sebuah kemaksiatan kepada Allah Ta’ala sekaligus bentuk kedurhakaan kepada orang tua….wal iyadzu billah.
Imam Taqiyyuddin as-Subki memberikan contoh di dalam kitab Risalah Birrul walidain, apabila seorang anak laki-laki yang telah menikah, kemudian orang tuanya memerintahkannya untuk menceraikan istrinya, maka ia harus melaksanakan perceraian itu, tidak boleh tidak.
Dalam sebuah hadits Nabi shalallahu’alaihi wasallam disebutkan, terdapat seorang laki-laki yang medatangi Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam, mengadukan bahwa hartanya diambil oleh bapaknya, mendengar hal itu Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda
انت ومالك لأبيك
Kamu dan hartamu itu adalah milik bapakmu
Salah satu dosa besar, yang azabnya tidak hanya akan dirasakan nanti di akherat, tetapi akan langsung dirasakan di dunia sebelum kematian datang menjemput adalah dosa sebab durhaka kepada orang tua, sudah banyak contoh kisah mengenai hal ini…na’udzubillah
Guru adalah orang tua kedua bagi anak, mentaati perintahnya adalah sebuah kewajiban sebagaimana mentaati perintah orang tua. Sebagian ulama menyatakan bahwa mentaati dan menghormati guru lebih diutamakan dari mentaati orang tua, sebagaimana yang disebutkan dalam syair

أقدم أستاذى على نفس والدى** وان نالنى من والدى الفضل والشرف
Aku lebih mengutamakan ustadzku dari orang tua kandungku, meskipun aku mendapatkan dari orang tuaku keutamaan dan kemulyaan

فذاك مرب الروح والروح جوهر** وهذا مرب الجسم والجسم كالصدف
Ustadzku adalah pengasuh jiwaku dan jiwa adalah bagaikan mutiara, sedangkan orang tuaku adalah pengasuh badanku dan badan bagaikan kerangnya

Sebelum menentukan pilihan untuk belajar, seorang harus berhati-hati dan benar-benar menimbang dengan seksama, kepada siapa ia akan belajar. Jika sudah memantapkan hati untuk belajar kepada seorag guru, maka ia harus rela terhadap semua betuk tarbiyyah yang disampaikan oleh gurunya, semuanya. Mentaati perintahnya, tidak menentangnya, menghormatinya, tidak berprasangka buruk kepadanya, dsb.
Wajibnya taat tersebut, termasuk pula dalam hal-hal yang bersifat pribadi, seperti harta benda dan diri. Dalam sebuah ungkapan yang cukup terkenal, sayyidina Ali bin Abi Thalib karomallahu wajhah menyampaikan: “Aku adalah hamba sahaya bagi seseorang yang telah mengajariku meskipun satu huruf.”
Di dalam kitab al-Anwar al-Qudsiyyah, syaikh Abdul Wahhab asy-Sya’rani menyampaikan
أدب المريد مع شيخه، يلازمه، ويصبر عليه، ويحبه، ويسلم له حاله، ولا يعترض عليه، ولا يتزوج إلا بإذنه، ولا يكتمه شيئا، ويريه فقره إليه، ولا يقول له: لا. يرضى بكل اختياره

Bentuk tatakrama seorang murid kepada gurunya adalah selalu menetapinya, sabar terhadapnya, mencintainya, menyerahkan keadaan dirinya kepadanya, tidak menentangnya, tidak menikah kecuali atas izinnya, tidak menyimpan suatu masalah darinya, tidak berkata “tidak” kepadanya dan ridlo terhadap semua pilihan guru.
Imam Suhrowardi menyampaikan mengenai adab seorang murid kepada guru
وهكذا أدب المريد مع الشيخ أن يكون مسلوب الاختيار لا يتصرف في نفسه وماله إلا بمراجعة الشيخ وأمره
Beginilah tatakrama seorang murid dengan gurunya. Hendaknya seorang murid mengekang keinginannya sendiri, tidak berbuat sesuatu berkaitan dengan diri dan hartanya kecuali atas persetujuan seorang guru atau mendapatkan perintah darinya.
Syaikh Ahmad al-Abyurdi menyampaikan
إياكم والعمل على تغيير قلب شيخكم عليكم فإن من غيّر قلب شيخه عليه، لحقته العقوبة، ولو بعد موت الشيخ
Berhati-hatilah untuk tidak berbuat sesuatu yang bisa merubah hati gurumu kepadamu. Sesungguhnya murid yang merubah kondisi hati gurunya, maka ia akan mendapatkan akibat buruk, meskipun setelah kematian guru
Dalam sebuah kisah disebutkan, bahwa suatu ketika syaikh Abu Turob an-Nakhbasyi dan syaikh Syaqiq al-Balkhi menziarahi syaikh Abu Yazid al-Basthomi. Ketika murid syaikh Abu Yazid datang menghidangkan makanan, dua orang syaikh tersebut berkata; “Makanlah bersama kami wahai anak muda.”
“Tidak, saya sedang puasa,” jawab pemuda itu.
“Makanlah, semoga engkau mendapatkan ganjaran puasa satu bulan!!,” kata syaikh Abu Turob.
Pemuda itu menjawab: “Tidak.”
Syaikh Syaqiq al-Balkhi berkata: “Makanlah, semoga engkau mendapatkan pahala puasa satu tahun!!.”
Pemuda itu menjawab: “Tidak.”
Melihat hal tersebut, syaikh Abu Yazid al-Basthomi yang merupakan guru dari pemuda tadi kemudian berkata: “Biarkanlah ia terperosok jatuh dari penjagaan Allah Azza wa Jall.”
Satu tahun kemudian, diketahui pemuda tersebut mencuri sejumlah harta, ia lalu mendapatkan hukuman potong tangan atas perbuatan yang ia lakukan.
Cerita ini mengajarkan kepada kita tentang akibat seorang murid yang membuat jengkel hati gurunya dan tidak metaatinya.
Syaikh az-Zarnuji di dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim menyampaikan:

من تأذى منه أستاذه يحرم بركة العلم ولا ينتفع بالعلم الا قليلا
Barangsiapa yang menyakiti gurunya, maka tidak akan mendapatkan keberkahan ilmu dan tidak akan bermanfaat ilmunya kecuali sedikit
Semoga kita semua dianugrahi Allah Ta’ala kemudahan untuk bisa taat, hormat dan berbuat baik kepada orang tua dan guru kita semua….amiiin.

اللهم انفعنا بما علمتنا وعلمنا ما ينفعنا اللهم فقهنا في الدين والهمنا علماً نعرف به أوامرك ونجتنب به نواهيك

اللهم ارزق ابي وامي وجميع استاذي الجنة

ADA APA DENGAN MU'JIZAT SUMUR ZAM ZAM??

AMAZING.....SUBHANALLAH....ADA APA DENGAN MU'JIZAT SUMUR ZAM ZAM?????....

Permukaan air ZamZam adalah sekitar 10.6 kaki di bawah permukaan tanah .
Adalah sebuah mukjizat dari Allah SWT bahwa ketika sumur Zam Zam
dipompa terus menerus selama 24 jam tanpa henti dengan tingkat sedotan 8 ribu liter/detik, permukaan sumur akan turun hingga 44 kaki di bawah permukaan tanah.

TETAPI, ketika pemompaan berhenti, permukaan sumur segera kembali pada 13 kaki di bawah permukaan tanah setelah 11 menit.
8 ribu liter/detik
Berarti 8,000 x 60 = 480,000 liter/menit
Berarti 480,000 x 60 = 28.8 juta liter/jam
Berarti 28,800,000 x 24 = 691.2 juta liter/hari
Jadi ada 690 juta liter air ZamZam dipompa dalam 24 jam tetapi sumurnya terisi kembali hanya dalam waktu 11 menit !!!
Ada dua mukjizat di sini.
Pertama, bahwa sumur ZamZam terisi kembali dengan segera, & kedua bahwa Allah SWT memiliki kontrol absolut yang luar biasa untuk tidak mengisi sumur Zam Zam secara berlebihan sebab jika tidak terkontrol, dunia bisa-bisa TENGGELAM oleh luapan air Zam Zam yang demikian besar!
Kejadian ini sesungguhnya adalah terjemahan dari kata Zam Zam, yang berarti "Stop !!!!!!!!!!!!Stop !!!!!!!!!!!!!!!", demikian kata Hajirah Alaih As Salaam.
Silahkan share ini ke sebanyak mungkin orang agar diketahui bahwa Zam Zam adalah salah satu bukti otentik kebesaran Allah SWT
Allohu A'lam

Wednesday, September 14, 2016

DAWUH KH. MAIMOEN ZUBAIR

28 DAWUH KH. MAIMOEN ZUBAIR

Berikut adalah sebagian dawuh
Mbah K.H. Maimoen Zubair yang beliau sampaikan pada beberapa kesempatan :
1. "Sampeyan sekolah model apapun, seng penting ojo ninggalno ngaji." (Anda sekolah yang bagaimanapun, terpenting jangan tinggalkan ngaji).
2. "Dzurriyatur Rasul kebanyakan tak terlihat, maka jangan menjelek-jelekkan orang Islam."
3. "Kulo gadah (punya) guru namine (namanya) KH. Abdullah bin Nuh. Beliau kalau mau mengajar harus muthalaah dahulu, padahal beliau sangat alim."
4. "Wong koq neng omah terus kaprahe ora sehat, mulane sekali-kali refreshing." (Umumnya orang yang kebanyakan di rumah itu tidak sehat, maka sesekali perlu refreshing).
5. "Kelompok yang menguasai dataran tinggi Golan maka akan menguasai dunia. Seperti yang terjadi saat ini, Yahudi sekarang yang menguasai dataran itu."
6. "Wong iku kudu duwe jiwa Nasionalis." (Orang itu harus punya jiwa Nasionalis).
7. "Jangan mengatakan negara Uni Soviet itu komunis. Pemerintahannya saja yang komunis. Karena dulu Uni Soviet itu terdiri dari banyak daerah seperti Uzbekistan, Turkmenistan, dll. yang mayoritas Muslim. Dan banyak ulama besar lahir di sana seperti Imam Bukhari, Imam Samarkandi, dll. Cuma Rusia yang non-Muslim."
8. "Setelah shalat Shubuh jangan tidur lagi, karena bisa menyebabkan faqir."
9. "Kalau kamu ditanya alamat oleh seseorang jawablah dengan alamat desamu, jangan kotamu dulu. Karena ulama-ulama itu bangga dengan desanya."
10. "Kiai iku kudu iso moco kitab kosongan." (Kiai itu harus bisa membaca kitab kuning gundul).
11. "Ora kudu pinter bercakap-cakap bahasa Arab. Seng kudu iku biso moco tulisan Arab lan paham." (Tidak harus pandai bercakap bahasa Arab. Yang harus adalah bisa membaca tulisan Arab dan paham).
12. "Syaikh Ihsan Jampes iku ngalim, iso ngarang kitab Sirajut Thalibin. Ngalime koyo ngono tapi ngomong-ngomong Arab gak patek lancar." (Syaikh Ihsan Dahlan Jampes Kediri itu alim, mampu mengarang kitab Siraj ath-Thalibin. Beliau yang begitu alimnya saja dalam percakapan bahasa Arab kurang begitu lancar).
13. "Wong wareg iku angel ngalime." (Orang yang kenyang itu sulit menjadi alim).
14. "Gusti Allah ojo mbok tuntun." (Allah Swt. jangan didikte).
15. "Wong seng apik iku wong seng ora berubah waktu seneng utowo susah." (Orang yang baik itu orang yang tidak berubah sewaktu suka ataupun susah).
16. "Al-Quran keterangane kadang dibolan-baleni. Mulane wong koq bosen karo al-Quran berarti lemah imane." (Al-Quran keterangannya terkadang diulang-ulang. Maka, jika ada orang yang bosan terhadap al-Quran pertanda lemah imannya).
17. خير الامور وسط # حب التناهي غلط . "Yang terbaik dalam segala sesuatu adalah yang moderat (pertengahan) # Sedangkan suka pada penghinaan adalah suatu kesalahan."
18. "Nek arep ngomong ojo waktu jengkel." (Kalau mau berbicara jangan di saat marah).
19. "Orang yang kamu ikuti itu kudu seng pinter agomo (harus yang pandai agama/seorang ulama).
20. "Kanjeng Nabi walaupun sebagian paman-pamane kafir lan mungsuhi (memusuhi), tetapi Beliau (Saw.) tetap bersilaturahim pada mereka."
21. "Kudu biso moco (harus bisa baca kitab) Fathul Mu'in lan Fathul Qarib."
22. "Biso parek karo Allah iku dengan bil ilmi wattaqwa." (Bisa dekat dengan Allah itu dengan ilmu dan ketakwaan).
23. "Ora do iso moco kitab koq arep gawe Khilafah." (Tidak bisa baca kitab kuning koq mau membuat/mendirikan Khilafah!).
24. "Ora usah sombong, seng kurikulum ben kurikulum, pancen wes wayahe. Seng penting Sampeyan ngaji." (Tidak usah sombong, yang memakai sistem kurikulum biarkan saja dipakai, memang sudah waktunya. Yang penting Anda ngaji).
25. "Wong-wong sholeh walaupun faqir mereka tetep nyaman seperti Syaikh Abil Hasan asy-Syadzili."
26. "Apik-apike ke-futuh iku melek dalu karo moco kitab kerono Allah Ta'ala." (Terbukanya hati (futuh) itu paling baiknya terjaga di malam hari sambil baca kitab dengan ikhlas).
27. "Omah nek dinggoni sholat sunnah jembar rizqine." (Rumah jika dipakai untuk shalat sunnah maka rizkinya luas).
28. "Duwe anak iku apike jumlahe sedengan, yo ora akeh yo ora sitik. Mergo Kanjeng Nabi pernah ditakoi sahabat tentang urip susah. Nabi jawabe: كثرت العيال وقلة المال. (Punya anak sebaiknya berjumlah yang cukup/sedang, tidak banyak juga tidak sedikit. Karena Nabi pernah ditanya oleh sahabat tentang hidup susah, maka jawab Nabi Saw.: "Banyak anak sedikit rizki/harta.").

Tuesday, September 13, 2016

Qur'an dan Sunnah

Mencatut Nama Qur'an dan Sunnah, Bukan Pekerjaan Ulama Salaf!

Kita tidak mendapati –sejak dulu- ulama salaf yang beneran salaf juga ulama madzhab, yang dalam masalah-masalah fiqih, mereka menisbatkan pendapat hasil ijtihad mereka kepada al-Qur’an dan sunnah. Dengan bahasa yang lebih ringan, kita tidak pernah mendapati mereka menuliskan dalam kitab-kitab mereka “ini pendapat yang shahih dan benar menurut al-Qur’an dan sunnah”. Tidak pernah kita dapati itu. Sama sekali tidak pernah. Yang kita dapati adalah, bahwa mereka dalam masalah-masalah fiqih yang mereka ijtihad-kan mereka menisbatkan pendapat mereka itu kepada diri mereka atau madzhab mereka.
Itu tentu bukan karena para salaf dan ulama madzhab serta imam-imam mulia mereka tidak mengambil hukum dari al-Qura’an dan sunnah. Bukan itu tentunya. Keliru jika ada yang beranggapan seperti ini. Toh para imam-imam itu beserta ulamanya, adalah orang yang memang sangat mengerti dengan dalam maksud teks syariah, baik ayat atau juga hadits. Baik itu yang manthuq atau juga yang mafhum-nya. Apa yang mereka lakukan dengan tidak menisbatkan pendapat mereka kepada al-Qur’an dan sunnah, itu bukti kedalaman kepahaman mereka terhadap teks-teks al-Quran dan sunnah.
Syariah dan Fiqih
Yang mesti kita tahu terlebih dahulu, bahwa dalam al-Qur’an dan sunnah yang merupakan 2 sumber utama dalam syariat Islam ini ada di dalamnya teks yang bersifat qath’iy (pasti), dan juga yang sifatnya Dzanniy (duga-duga). Yang Qath’iy itu adalah teks yang tidak punya makna berbilang dan sudah tidak mungkin ditafsirkan lagi, serta tidak perlu dilakukan didalamnya ijtihad. Itu yang disebut dengna istilah Nash. Seperti wajibnya shalat, haramnya berjudi, mencuri juga berzina. Kesemua itu syariah yang menghukumi.
Jadi wajibnya shalat itu bukan perkara ijtihadiy, maka tidak bisa dikatakan “shalat itu wajib menurut madzhab fulan...”, tidak bisa. Harus dikatakan bahwa “shalat itu wajib menurut syariat islam!”.
Di samping Qath’iy, ada bahkan banyak teks syariah yang sifatnya dznniy; karena memang ini yang menjadi porsi terbesar dalam teks syariah, baik itu ayat al-Qur’an atau juga Hadits nabi s.a.w.. dzanniy itu teks yang masih multi tafsir, mana tidak bisa digali hukum dari teks tersebut kalau hanya berdiri sendiri karena memang masih bias kandungannya. Yang membuat teks syariah itu menjadi dzanniy banyak sebabnya, bisa karena memang dari sisi bahasa, teks tersebut punya arti yang lebih dari satu dan kesemua punya kekuatan dari segi pemakaian.
Atau mungkin karena memang kandungannya berseinggungan atau berselisih denga teks syariah lainnya. Atau bisa juga karena sumbernya yang masih diragukan; seperti hadits Ahad. Pada intinya, teks-teks syariah yang sifatnya dzanniy ini tidak mungkin bisa difahami dan tidak bisa digali hukum dari akndungannya kecuali dengan upaya penelitian yang lebih mendalam. Itu yang dinamakan dengan ijithad.
Fiqih = Teks Dzanniy = Ijtihad
Nah, di teks-teks dzanniy inilah para imam madzhab dan ulamanya bekerja. Artinya mereka memang bekerja menggali hukum dari teks-teks yang syariah itu sendiri tidak memberikan hukum secara pasti, karena memang sifatnya yang dzanniy. Kalau dibiarkan, tentu akan ada kekosongan hukum yang jelas sangat tidak membantu bagi orang awam. Maka dari itu, mereka; para imam beserta ulama madzhab meneliti, menelaah apa yang sejatinya dimaksud oleh Allah s.w.t. dan juga Rasul-Nya s.a.w. dari ayat dan juga hadits, untuk kemudian dihasilkan dari penelitian tersebut sebuah hukum. Itu yang disebut dengan ijtihad.
Itu yang disebut perkara ijtihadiy. Lapangannya adalah teks-teks dzanniy, yang bekerja di dalamnya adalah imam dan ulama madzhab. Pekerjaan disebut ijtihad, dan hasilnya dinamakan fiqih.
Contohnya ijtihad ulama madzhab dalam hal menghitung masa iddah wanita yang tertalak oleh suaminya; apakah 3 kali masa hadih, atau 3 kali masa suci? Disebutkan dalam ayat dengan redaksi “Quru’”; yang dalam bahasa arab, bisa berarti masa suci, bisa berarti juga masa haidh. Atau juga ijtihad ulama madzhab terkait bismillah dalam shalat sebelum membaca al-Fatihah, disebabkan karena karena memang banyak dalil yang bersinggungan. Satu riwayat mengatakan baca, riwayat lain justru tidak. ini lapangan ijtihad yang mana ulama bekerja di dalamnya untuk kita; orang awam agar mudah memahami.
Maka dalam 2 hal di atas, atau lebih luasnya dalam hal fiqih, karena memang medan kerjanya adalah teks-teks dzanniy yang butuh Ijtihad, tidak bisa seseorang –siapapun itu- mengatakan bahwa masa Iddah wanita itu 3 masa haidh menurut syariat. Tidak! yang benar itu menurut madzhab fulan. Tidak juga kita katakan, membaca bismillah dikeraskan dalam shalat itu adalah yang benar menurut syariat. Tidak bisa! Itu benar menurut ijtihadnya imam fulan atau madzhab fulan; Karena memang syariah sendiri memberi peluang untuk diadakan ijtihad di dalamnya.
Ijtihad = Hasil Otak Bukan Wahyu
Dan yang namanya ijtihad itu kebenaran tidak mutlak dan tidak ditentukan pada ijtihad siapa. Yang benar-benar tahu di ijtihad mana kebenran itu berada hanyalah Allah s.w.t.. Ulama hanya menjalankan perintah, bahwa teks yang masih bias harus dijalankan ijtihad, tentu yang melaksanakan mereka yang kompeten. Maka kalimat yang masyhur dari kalangan imam mazdhab itu adalah “qouliy shawab, yahtamilu al-khatha’. Qoulu Ghairy Khatha’, Yahtamilu shawab” = “pendapatku benar, tapi bisa jadi salah. Pendapat selainku salah, tapi bisa jadi benar”.
Karena memang yang namanya ijihad itu hasilnya bisa jadi benar, bisa jadi salah. Tapi jika memamng dilakukan oleh pihak yang kompeten dan otoritatif, kesalahanya tidak berdosa akan justru mendapat pahala. Karena memang kebenarannya tidak pasti, tidak ada ulama yang berani menisbatkan pendapatnya kepada al-Qur’an dan sunnah Nabi s.a.w.. Mungkin sampai sini bisa dipahami mengapa tidak ada ulama yang mengatakan dalam masalah fiqih “ini pendapat yang benar menurut al-Qur’an dan sunnah!”. Tidak ada!
Hukum fiqih yang dihasilkan adalah hasil kerja otaknya sendiri, yang bisa jadi salah bisa jadi benar. Dan otaknya itu terbatas, juga bukanlah patokan kebenaran dalam syariah. Meraka selalu mengatakan: “ini pendapatku, jika benar ini dari Allah. Jika salah ini dari diriku dan juga setan!. Sama sekali tidak ada dari mereka yang mematok kebenaran. Dan yang menyelisihnya salah, keliru, serta telah menyelisih syariah.
Kalau mereka menisbatkan pendapatnya itu kepada al-Quran dan sunnah, itu artinya ia menisbatkan sesuatu yang kebenarannya belum dipastikan kepada Allah s.w.t. dan Rasul s.a.w.. Itu artinya ia merasa bahwa otaknya itu adalah representasi dari apa yang diinginkan oleh Allah s.w.t dan Rasul-Nya s.a.w.. artinya, jika pendapatnya salah berarti ia telah menisbatkan kesalahan kepada Allah s.w.t. yang maha benar dan kepada Rasul s.a.w.. Dosa apa yang lebih besar dibanding menisbatkan kesalahan kepada Allah dan Rasul-Nya? Ini pelecehan kepada al-Quran dan sunnah namanya.
Allah Maha Benar Tidak Mungkin Salah
Jadi, para ulama madzhab menisbatkan pendapat ijtihadnya kepada diri mereka dan madzhab mereka sendiri tidak kepada al-Qur’an dan sunnah bukan mereka tidak berhukum dengan al-Quran dan sunnah. Tapi Khawatir kalau apa yang mereka ijtihadkan itu bukanlah sebuah kebenenaran yang Allah swt dan Rasul-Nya inginkan. Mereka hanya menjalankan tugas ijtihad, tapi tidak bertugas untuk mengaku-ngaku bahwa ijtihadnya yang paling benar. Karena itu mereka tidak mengatakan: “ini pendapat yang sesuai Kitab dan Sunnah!”.
Tapi justru dengan tegas mereka mengatakan bahwa hasil ijtihadnya itu adalah pendapatnya sendiri. Kalimat yang masyhur seperti ini: “ini adalah pendapatku, kalau ini benar maka itu dari (anugerah) Allah dan kalau salah maka itu dari aku sendiri dan dari setan. Dan Allah serta Rasul-Nya terbebas dari (ijtihad)-ku ini.”
Dan ini adalah kebiasaan ulama salaf yang benar-benar salaf yang memang diwarisi dari para sahabat Nabi s.a.w.. Ini juga terekam oleh Imam Ibn Taimiyyah dalam banyak halaman di kitab beliau Majmu’ al-Fatawa, salah satunya di Bab 10, hal. 450:
وَقَدْ قَالَ أَبُو بَكْرٍ وَابْنُ مَسْعُوْدٍ وَغَيْرُهُمَا مِنَ الصَّحَابَةِ فِيْمَا يُفْتُوْنَ فِيْهِ بِاجْتِهَادِهِمْ: إِنْ يَكُنْ صَوَابًا فَمِنَ اللهِ وَإِنْ يَكُنْ خَطَأً فَهُوَ مِنِّي وَمِنَ الشَّيْطَانِ وَاللهُ وَرَسُوْلُهُ بَرِيئَانِ مِنْهُ
“dan Abu Bakr serta Ibnu Mas’ud serta sahabat lainnya telah berkata dalam setiap fatwa yang merekaijtihadkan: ini adalah pendapatku, kalau ini benar maka itu dari (anugerah) Allah dan kalau salah maka itu dari aku sendiri dan dari setan. Dan Allah serta Rasul-Nya terbebas dari (ijtihad)-ku ini.”
Jadi, tidak gampang mengatakan: “ini yang benar sesuai quran dan sunnah!”. Sebagaimana juga para sahabat mengajarkan itu. Karena bisa saja ijtihadnya itu salah, akhirnya ia menisbatkan pendapat yang salah kepada Allah dan Nabi saw. Naudzubillah.
Dan lebih jauh lagi, kalau menisbatkan pendapat pribadi kepada sunnah, itu berarti menjual nama Nabi s.a.w. agar pendapatnya ‘laku’, padahal sama sekali itu bukan Nabi yang mengatakan, nyatanya itu hasil dari otaknya yang terbatas, ingat bahwa berdusta atas nama Nabi s.a.w., hadiahnya adalah nereka.
وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“siapa yang berbohong atasku, maka hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di neraka” (Muttafaq ‘alayh)
Jadi, masih mau mencatut nama Allah s.w.t., dan Rasul-Nya s.a.w. agar pendapat pribadi dari otak yang dangkal ini ‘laku’ di depan khalayak awam? Silahkan jika memang mampu menandingi para sahabt juga ulama-ulama madzhab.
Wallahu a’lam.

Sepenggal Kisah : "Syeh abdul qodir al jaelani"

kisahnya ..
Syeh abdul qodir al jaelani mau memasuki kota Baghdad.
zaman itu baghdad sudah penuh dengan alim ulama', cendekiawan, para pakar dan tokoh agama.
Beliau menginap di luar kota, dan berita kedatangannya sudah terdengar oleh telinga mereka yg menganggap bahwa baghdad sudh penuh dengan alim ulama' dan tdk membutuhkan seseorang spt syeh abdul qodir.
Didesak oleh mereka yg menganggap syeh sebagai saingan, para pembesar kota mengirimkan sebuah cawan yg berisi air penuh.
diharapkan cawan tsb sebagai pesan kpd syeh bahwa baghdad sdh penuh dengan orang alim dan pakar agama, jadi tdk membutuhkan beliau.
Syeh menerima kiriman tsb, dan memahami maksud kiriman itu. kemudian beliau mengambil sekuntum bunga mawar dan diletakkan diatas cawan berisi air tsb.
beliau berkata kpd kurirnya :
" tolong kembalikan cawan ini kpd pengirimnya"
Melihat cawan itu dikembalikan dan terdapat mawar mengapung diatasnya, mereka baru sadar bahwa kehadiran seorang sufi bagaikan bunga mawar, ia tdk membebani siapapun jg.
ia tdk bersaing dengan siapapun juga, seorang sufi sangat lembut, sangat ringan, bagaikan sekuntum bunga mawar.
Mereka yg berwawasan sempit, mereka yg berfikiran picik, tdk bisa menerima pandangan sufi., sebaliknya, para sufi bisa menerima setiap pandangan, setiap pendapat. Terlepas dari setuju atau tdk setuju, sependapat atau tdk sependapat, mereka bisa menerima pendapat yg berbeda2.
wallohu a'lam.

Friday, September 9, 2016

MAKNA SUJUD


MAKNA SUJUD

DALAM islam berdo’a memiliki waktu-waktu mustajab, salah satunya berdo’a di waktu sujud terakhir sebelum salam. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu bahwa ...Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.


“Adapun pada waktu sujud, maka bersungguh-sungguhlah berdoa sebab saat itu sangat tepat untuk dikabulkan”. (Shahih Muslim, kitab Shalat bab Nahi An Qiratul Qur’an fi Ruku’ wa Sujud 2/48).

Yang dimaksud adalah sangat tepat dan layak untuk dikabulkan. Karena di waktu itulah seorang hamba akan merasa dekat dengan Rabb-Nya, karena penghambaan seorang hamba merendahkan dirinya di hadapan sang Khalik.

MAKNA SUJUD


MAKNA SUJUD

DALAM islam berdo’a memiliki waktu-waktu mustajab, salah satunya berdo’a di waktu sujud terakhir sebelum salam. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu bahwa ...Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.


“Adapun pada waktu sujud, maka bersungguh-sungguhlah berdoa sebab saat itu sangat tepat untuk dikabulkan”. (Shahih Muslim, kitab Shalat bab Nahi An Qiratul Qur’an fi Ruku’ wa Sujud 2/48).

Yang dimaksud adalah sangat tepat dan layak untuk dikabulkan. Karena di waktu itulah seorang hamba akan merasa dekat dengan Rabb-Nya, karena penghambaan seorang hamba merendahkan dirinya di hadapan sang Khalik.