Kiai Sahal, Pesantren, dan Kebangsaan
Seluruh anak bangsa
seyogianya termotivasi untuk mengikuti dan mengembangkan jejak langkah
perjuangan Kiai Sahal yang berhasil mengukir tinta emas dalam sejarah
kehidupan umat dan bangsa.
Salah satu tokoh pesantren yang sangat
besar pengaruhnya dalam mendinamisir paradigma keilmuan pesantren dan
pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah KH. MA. Sahal Mahfudh. Sebagai
seorang yang lahir, tumbuh, dan berkembang di pesantren, Kiai Sahal
adalah sosok pembaharu pesantren yang berjuang menjadikan pesantren
sebagai lembaga pendidikan yang mampu menghasilkan kader-kader terbaik
bangsa yang mampu mengubah keterbelakangan menjadi keunggulan.
Kiai Sahal tidak menerima jika pesantren dianggap sebagai lembaga
pendidikan tradisional yang ortodoks, stagnan, dan tidak kompatibel
dengan tantangan kekinian. Untuk mengubah stigma negatif tersebut, Kiai
Sahal memosisikan diri sebagai lokomotif pembaharuan pesantren.
Ada beberapa langkah yang dilakukan Kiai Sahal untuk mendinamisir
pesantren. Pertama, menjadikan kitab kuning yang menjadi referensi utama
keilmuan pesantren sebagai solusi persoalan sosial. Hal ini dilakukan
Kiai Sahal dalam forum bahtsul masail. Ketika kembali dari Pesantren
Bendo Kediri asuhan KH. Muhajir dan Pesantren Sarang asuhan KH. Zubair
Dahlan, Kiai Sahal menghidupkan kembali tradisi bahtsul masail di
kecamatan Margoyoso dalam wadah Raudlatul Musyawarah.
Forum
bahtsul masail tersebut dijadikan forum untuk mendiskusikan
persoalan-persoalan sosial dalam perspektif kitab kuning. Kiai Sahal
mendorong bahtsul masail tidak hanya memutuskan status hukum persoalan
sosial secara hitam putih, halal atau haram, tapi juga memberikan solusi
sebagai konsekwensi logis dari keputusan yang diambil. Jika diputuskan
haram, maka bagaimana solusinya bagi yang melakukan dan jika diputuskan
halal maka bagaimana melakukannya. Keputusan yang diambil tidak sekadar
keputusan tanpa aplikasi di lapangan.
Kedua, pesantren dijadikan
sebagai poros gerakan transformasi sosial secara sistematis, gradual,
akuntabel, dan professional. Kiai Sahal membentuk BPPM (Biro
Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) untuk melakukan identifikasi
problem-problem sosial secara komprehensif, merancang program kerja yang
strategis dan efektif, dan merumuskan langkah-langkah taktis aplikatif.
Kiai Sahal membentuk struktur organisasi BPPM yang terdiri dari kaum
professional dengan manajemen modern. Struktur tersebut langsung terjun
di masyarakat untuk membentuk TPM (Tim Penggerak Masyarakat) yang
bertugas membentuk komunitas-komunitas kecil dalam masyarakat.
Komunitas-komunitas inilah yang dibimbing dan dilatih secara intensif
tentang pentingnya kemandirian ekonomi, kewirausahaan, manajemen
finansial, teknologi, dan masa depan yang harus diperjuangkan, baik masa
depan dunia maupun akhirat. Menurut Kiai Sahal, tugas manusia di muka
bumi ada dua, yaitu ibadatullah (menyembah Allah) dan imaratul ardli
(meramaikan bumi).
Keduanya tidak bisa dipisahkan karena tugas
manusia ada dua, yaitu sebagai abdullah (hamba Allah) yang selalu patuh
dan taat kepada Allah dan sebagai khalifatullah (mandataris Allah) yang
bertugas menegakkan keadilan dan mewujudkan kesejahteraan sosial.
Sebagai abdullah, manusia harus mempunyai orientasi spiritual dalam
segala sepak terjangnya, sehingga ada dimensi keikhlasan yang terpancar
dalam hati. Sebagai khalifatullah, manusia membutuhkan banyak kompetensi
untuk menegakkan keadilan sosial dan menumpas korupsi, kolusi, dan
manipulasi.
Ketiga, Kiai Sahal mengembangkan paradigma berpikir
pesantren yang biasanya berkutat kepada teks-teks fikih ansich menuju
pemahaman yang berorientasi kepada maqasidus syariah, yaitu
tujuan-tujuan aplikasi syariat, menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga
harta, menjaga akal, dan menjaga keturunan. Maqasidus syariah yang
jumlahnya lima ini menjadi parameter teks-teks fikih dalam merespons
dinamika zaman. Dengan teori maqasidus syariah ini, fikih mampu
mewujudkan kemaslahatan substansial (maslahah muhaqqaqah), yaitu
mendatangkan kemanfaatan dan menolak kerusakan (jalb al-manafi’ wa dar’u
al-mafasid) bagi kehidupan manusia.
Paradigma berpikir yang baru
ini kemudian dikenal dengan nama fikih sosial. Fikih sosial mempunyai
lima ciri utama, yaitu memahami teks-teks fikih secara kontekstual,
beralih dari madzhab qauli ke madzhab manhaji, verifikasi mana ajaran
yang ushul (fundamental) dan mana ajaran yang furu’ (instrumental),
menjadikan fikih sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara, dan
mengenalkan pemikiran filosofis, khususnya dalam masalah sosial budaya.
Kiai Sahal mampu menggerakkan tiga langkah di atas karena kapasitas
pribadinya yang luar biasa. Di samping anak dan cucu kiai besar (ayah:
KH. Mahfudh Salam, kakek: KH. Abdussalam) yang mempunyai garis keturunan
sampai kepada Syekh Ahmad Mutamakkin yang menjadi pioner dakwah Islam
di Kajen dan sekitarnya, Kiai Sahal juga mempunyai kapasitas personal
yang komplit.
Kiai Sahal adalah pakar fikih dan ushul fikih,
bahkan kepakarannya di bidang ushul fikih diakui oleh ulama dunia lewat
dua karyanya, yaitu Thariqatul Husul yang menjelaskan kitab Lubbul Ushul
dan kitab al-Bayanul Mulamma’ yang menjelaskan kitab Al-Luma’. Lebih
dari itu, Kiai Sahal adalah sosok organisator ulung yang mempunyai
skills kepemimpinan dan manajemen handal. Kemampuan komunikasi dan
membangun relasi dari bawah sampai atas yang dilakukan dengan sabar dan
gigih menempatkan Kiai Sahal dalam posisi terhormat dan akhirnya
mendapat kepercayaan besar sebagai pucuk pimpinan dua organisasi besar,
yaitu NU dan MUI.
Setelah Kiai Sahal menyelesaikan visi dan
misinya memberdayakan pesantren, Kiai Sahal kemudian melangkahkan
kakinya ke medan perjuangan yang lebih besar, yaitu NU, organisasi
sosial keagamaan terbesar dunia dengan jumlah pengikut sekitar 85 juta,
dan MUI yang pengurusnya tersebar di seluruh nusantara.
Dalam
medan perjuangan yang lebih luas ini, Kiai Sahal menampakkan pemikiran
progresif dan aksi-aksi sosial yang dinamis dan kontekstual. Kiai Sahal
mendukung program KB (Keluarga Berencana) yang dimotori oleh Prof. Dr.
Haryono Suyono. Selain itu, Kiai Sahal juga mendorong kerukunan antar
sesama umat Islam dan antar sesama umat beragama. Kerukunan menjadi
modal penting menjaga persatuan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Primordialisme dan sektarianisme harus dibuang
karena membuat seseorang menjadi eksklusif, subyektif, dan fanatik
sehingga sulit menerima masukan dan pandangan dari kelompok lain. Peran
besar Kiai Sahal, baik baik di ranah pengembangan pesantren maupun dalam
konteks kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi sumber inspirasi dan
motivasi anak bangsa untuk meneladani dan mengembangkannya di masa-masa
yang akan datang.