MEMBELA HABAIB DAN NU (NAHDLATUL ULAMA)
Oleh: KH. Muhajir Madad Salim
A. Membela Habaib
Di sebuah dusun kecil, serombongan habaib muda ('alaihimussalam) sowan
kepada seorang kiai sepuh. Dengan nada penuh kegelisahan cucu-cucu
Baginda Nabi Saw. yang dimuliakan Tuhan itu berkata, "Kiai, bagaimana NU
ini? Semuanya pada berangkat ke jakarta NU malah menahan diri. Malah
kabarnya akan kirim Banser untuk Demo tandingan?"
Sesudah
menghela nafasnya yang dalam Kiai menjawab, "Yiiik...", begitu biasanya
beliau memanggil mereka. 'Antum di dusun ini jangan sekali-kali
merendahkan NU nggih? Karena di dusun ini hanya orang-orang NU saja yang
mau bershalawat kepada Kanjeng Nabi beserta Ahli Baitnya. Kalau antum
memusuhi mereka, saya takut di dusun ini tidak akan ada lagi ada ummat
Islam yang bershalawat untuk antum para Ahlul Bait."
Sebuah jawaban tidak terduga, yang sontak membuat para saadah muda itu tertegun. Bahkan tertegun cukup lama .
Kiai meneruskan, "Orang-orang dusun sini, adalah orang-orang awam yang
tidak mengerti membalas kebaikan para Ahlul Bait kecuali dengan cara
bershalawat untuk mereka. Janganlah antum berbuat sesuatu yang
menyebabkan mereka meninggalkan satu-satunya kebaikan yang mereka
punya!"
Sebuah kisah nyata, dari sebuah perkampungan kecil yang
jauh dari hiruk-pikuk kita sekalian selama ini. Tetapi begitu mendengar
kisah tersebut, saya berfikir ada banyak kata-kata yang mesti
diungkapkan untuk dapat tetap "Mbelani NU" dan sekaligus tetap
"Memuliakan Habaib".
Ketua Umum PBNU Kiai Said Aqil Siraj
menyatakan bahwa memuliakan para habaib itu bagi kaum Nahdliyin adalah
sebuah keyakinan agama mereka. Tetapi jauh sebelum Kiai Said berkata
seperti itu, salah satu ulama kebanggaan kaum Nahdliyin yang merupakann
mahaguru para kiai Jawa yang mayoritas kaum Nahdliyin banyak berhutang
ilmu kepada beliau, yakni Syaikhul Haramain Syaikh Nawawi Banten,
berkata dalam kitab kecil beliau Qami’ ath-Thughyan: “ …bahwa patut bagi
setiap Muslim untuk berkeyakinan apa yang dilakukan oleh para Ahli
Bait, Allah telah menganpuni mereka. Tidak boleh bagi kita merendahkan
seseorang, terlebih merendahkan para Ahli Bait."
Mari berbicara
tentang kemuliaan. Kemuliaan derajat seorang Muslim itu bisa disebabkan
oleh banyak hal. Yang paling mudah menyebutkannya adalah kemuliaan
karena "ketaqwaan". Jika seorang Muslim hidupnya penuh dengan ketaqwaan,
maka dia akan mulia disisi Allah Ta’ala.
Selain ketaqwaan, ada
juga sebab yang lainnya yaitu "kedekatan". Maksud kedekatan ini adalah
kedekatan Muhammadiyyah. Seorang Muslim jika mempunyai kedekatan dengan
Baginda Nabi Saw., maka dia akan mulia disisi Allah dibanding yang
tidak.
Para sahabat Rasulullah Saw. memperoleh kemuliaan itu
karena sebab ini. Mereka hidup sebagai sahabat Nabi, hidup bersama Nabi,
ada dalam satu zaman dengan Nabi. Maka dikatakan: "Sebaik-baiknya
tabi’in (setaqwa-taqwanya para tabi’in) tidak akan dapat mengungguli
kemuliaan dari serendah-rendahnya seorang sahabat Nabi." Sebaik-baiknya
tabi’in itu contohnya seperti Sayyidina Said bin Musayyib, Sayyidina
Umar bin Abdul Aziz, Sayyidina Hasan al-Bashri, Sayyidina Abi Hanifah
dan masih banyak yang lain. Mereka semua tingkat ketaqwaannya sudah
sebegitu tingginya setaraf “Dewa”. Tetapi di sisi Allah mereka tidak
mampu mengungguli kemuliaan golongan terendah dari para sahabat seperti
Sayyidina Wahsyi.
Sayyidina Wahsyi ini sahabat Nabi Saw. Tetapi
beliau adalah shahabiy yang tingkat ketaqwaannya ada pada level
terendahnya. Selain ada “bayang-bayang” kelam dirinya yang sebelum Islam
telah membunuh Sayyidina Hamzah, seorang paman yang sangat dicintai
Baginda Nabi, beliau Sayyidina Wahsyi ini selama hidupnya tenggelam
dalam pengaruh buruk alkohol. Bahkan beliau meninggal dunia dalam
keadaan dihukum cambuk karena kebiasaan buruknya itu.
Meskipun
demikian, sebagai seorang sahabat sebagaimana sahabat-sahabat Nabi yang
lainnya, beliau itu "maghfurun lahum", orang-orang yang dosa-dosanya
diampuni oleh Allah Ta’ala.
Jika diukur dengan ketaqwaan, para
Sayyidut Tabi’in itu jauh mengungguli Sayyidina Wahsyi. Tidak selevel.
Namun di akhirat, kedudukan Sayyidina Wahsyi lebih tinggi disisi Allah
dibanding mereka. Bukan karena ketaqwaan Wahsyi mendapatkan
keunggulannya itu, tetapi beliau mendapatkan keutamaannya karena sebab
kedekatan Muhammadiyyahnya (keshahabiyannya).
Mulia karena dekat
dengan seorang yang mulia, yakni Baginda Nabi al-Mushthafa. Dalam
hal-hal serupa ini para ulama menerangkannya dalam sebuah analog ini:
"Seorang pelayan yang memijit tubuh seorang Raja, dia dimuliakan
sehingga berdiri di tempat yang lebih tinggi dibanding para Mentri.
Mereka para mentri duduk di bawah, sementara pelayan tersebut tempatnya
di atas di samping Raja. Bukan berarti pelayan dimuliakan karena
kepandaiannya sebagaimana para mentri. Para mentri jauh lebih pandai dan
jauh lebih memahami dan berkhidmat kepada urusan rakyat dibanding
dirinya. Tetapi pelayan itu dimuliakan tempatnya karena kedekatannya
dengan Raja saja."
Para pemerhati sejarah Islam akan dengan mudah
menempatkan Sayyidina Umar bin Abdul Aziz sebagai slah satu tokoh
protagonis. Lalu dalam banyak hal mereka akan mudah menempatkan
Sayyidina Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai tokoh antagonisnya.
Tetapi mereka akan terkesima jika menyimak apa keyakinan Sayyidina Umar
bin Abdul Aziz sendiri dalam hal ini. Suatu saat, Sayyidina Umar bin
Abdul Aziz ditanya seseorang, "Siapakah yang lebih mulia, diri Tuan
ataukah Muawiyah?"
Dengan nada kesal beliau menjawab, "Sungguh,
seonggok debu yang masuk di dalam rongga hidung kuda yang ditunggangi
Muawiyyah saat dirinya berjihad di samping Rasulullah Saw. itu, jauh
lebih mulia dibanding Umar bin Abdul Aziz!"
Kemuliaan Sayyidina
Muawiyah tersebut bukan dari sebab ketaqwaannya, tetapi sebab kedekatan
Muhammadiyyah yang dimilikinya. Sehingga seorang yang telah paripurna
ketaqwaannya seperti Umar bin Abdul Aziz pun tidak dapat melampauinya.
Sampai di sini, sudah dapat ditarik natijah bahwa "ketaqwaan" itu tidak
satu-satunya mizan/parameter kemuliaan seorang Muslim disisi Allah
Ta’ala. Tetapi masih ada sebab yang lain yang dapat membuat seorang
Muslim mulia disisi Allah, yaitu sebab "Anshoriyyah Nabawiyyah".
Seseorang yang mempunyai unsur-unsur genetik Rasulullah, yang dalam
dirinya mengalir darah dan daging Rasulullah Saw., yakni mereka adalah
para anak-cucu Rasulullah. Mereka semua akan dimuliakan di sisi Allah
Ta’ala karenanya. Kemuliaan yang Allah berikan melalui ayat Tath-hir
(QS. al-Ahzab ayat 33):
ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
Kemuliaan yang membuat semua anak cucu keturunan Nabi Saw. adalah
"maghfurun lahum", orang-orang yang diampuni dosa-dosanya oleh Allah
Ta’ala persis kemuliaan serupa yang dimiliki oleh golongan shahabiy.
Orang yang shaleh dari mereka ataupun orang yang thaleh (jahat) dari
mereka, semuanya oleh Allah akan diampuni. Mereka diampuni bukan karena
ketqwaan/amal mereka. Tetapi ampunan itu mereka dapatkan murni
"pemberian" Allah belaka.
Berkata Syaikh an-Nabhaniy dalam sebuah
kitabnya: "…Para Syarif itu termasuk juga sebagai anak cucu Sayyidah
Fathimah, Radhiyallahu 'anhum, mereka semua sampai hari kiamat
mendapatkan anugerah hukum ayat ini (yakni) mendapatkan ampunan Tuhan.
Mereka adalah orang-orang yang disucikan (almuthahharun) yang khusus
mereka terima dari Allah sebagai sebuah inayah untuk mereka dikarenakan
(maziyyah) kemuliaan Baginda Nabi Muhammad Saw. Kekhususan ini juga
merupakan inayah Allah untuk Baginda Nabi Muhammad Saw. pula."
Sampai di sini, natijah tersebut semakin menguat bahwa ketaqwaan bukan
satu-satunya ukuran kemuliaan seseorang. Karena kedekatan zaman (seperti
yang dimiliki oleh para Sahabat) dan kedekatan jasad (seperti yang
dimiliki oleh para Ahlul Bait) juga dapat menjadi sebab sebuah kemuliaan
disisi Tuhan.
Hal sedemikian ini yang mendasari pernyataan Kiai
Said Aqil Siraj dan mahaguru para kiai Jawa, Syaikh Nawawi al-Bantani,
tentang kedudukan Ahlul Bait di awal tulisan ini. Orang-orang NU yang
mempunyai kecintaan kelas “Dewa” kepada para habaib ternyata bukan
akal-akalan atau emosionalisme mereka belaka. Ternyata mereka mempunyai
imam panutannya, dalam masalah ini yaitu Syaikh Nawawi al-Bantani .
Sehingga tidak perlu terjadi sesungguhnya, beberapa pemuda Nahdliyin
dengan gaya ala Koboy menantang-nantang duel ala carok dengan para
habaib. Jika belum dapat menghormati para sayyid, semestinya mereka
menghormati keyakinan kiai-kiai mereka atau syaikh-syaikh mereka seperti
Syaikh Nawawi ini.
Hanya saja saya memaklumi perbuatannya itu,
karena saya husnudzan mereka melakukannya atas dasar ketidaktahuan
mereka akan Rutbah (kedudukan tinggi) para Sayyid. Namanya saja tidak
tahu, maklumi saja. Jikalau mereka sudah mengetahui, mereka tidak
mungkin melakukannya.
Atau bisa saja mereka mengenal Rutbah para
Sayyid itu dengan bahasa, ajaran serta stigma-stigma yang salah yang
diajarkan oleh orang-orang “terpelajar” di sekitar mereka. Sehingga
keyakinan yang tertanam dalam diri mereka berbeda dengan keyakinan ala
Qami’ ath-Thughyan-nya Syaikh Nawawi Banten 
Tulisan berikut
adalah bagian tentang yang ketidaktahuan/kesalahtahuan tersebut. Karena
di bagian ini harus menjelentrehkant entang kewajiban membela NU-nya.
Dan pengetahuan yang komprehensif atas serba-serbi kemuliaan seperti di
atas akan menjauhkan seseorang bersikap berlebihan dalam mengungkapkan
ketidaksukaannya terhadap perbuatan "oknum-oknum" dari para Sayyid yang
dianggapnya keliru/jahat.
B. Membela NU
Sebagaimana
membela Habaib itu diniati menjalankan perintah agama yaitu membela dan
mencintai para Ahlul Bait Baginda Nabi, maka membela NU juga kudu
diniati untuk membela para Ulama para pewaris Nabi. Ini perintah agama
juga.
Ulama sebagai salah satu bentuk Sya’airillah (tanda-tanda
kemuliaan Allah) di muka bumi, maka menghormatinya hukumnya wajib.
Bahkan dihitung sebagai amal terbaik, ketaqwaan terbaik. Jika demikian,
membela, memuliakan rumah-rumah para ahli ilmu ini seperti Nahdlatul
Ulama, sama halnya memuliakan penghuninya yakni mereka para ulama. Tidak
akan mengingkari hal-hal seperti ini kecuali orang-orang yang
benar-benar tertutup mata hatinya.
Menghormati ulama bahkan tidak
mesti melihat keshalehan atau tidaknya sang ulama itu sendiri.
Disebabkan ilmu-ilmu yang ada dalam otak mereka, yang tersimpan di dalam
dada mereka, adalah makhluk-makhluk Tuhan yang dzatiyahnya sudah mulia
dan patut untuk dihormati .
Hal ini ditekankan betul oleh
guru-guru kita, agar para pencari ilmu mesti memahami hakekat kemuliaan
ilmu. Dia (ilmu itu sendiri) adalah mahluk yang mulia, dan manusia yang
di dalam dirinya membawa ilmu-ilmu menjadi mulia karenanya. Jika manusia
yang berilmu itu dapat mengamalkan ilmu-ilmunya, maka ini adalah "mulia
di atas mulia".
Habib Salim bin Abdullah asy-Syathiriy pernah
berkata, "Seorang alim seyogyanya dihormati meskipun engkau lihat dia
tidak mengamalkan sendiri ilmunya, atau meskipun engkau lihat dia kurang
mengamalkannya. Penghormatan ini dilakukan untuk menghormati ilmunya,
yang mana ilmu itu sendiri adalah sesuatu yang mulia. Dalam Nadzam Zubad
dikatakan:
العلم اسنى سـائر الاعمال ÷ وهو دليل الخير والافضـال
"Dari sekalian amal, ilmu adalah yang terbaik. Dan ilmu itu pertanda sebuah kebaikan dan keutamaan." Seorang shalihin berkata:
انظر لعلمى ولا تنظر الى عملى ÷ ينفعك علمى ولا يضرّك تقصيرى
ان العلوم كالاشجر على ثمر ÷ فشلّ الثمـار وخلّ العود للنار
"Lihatlah ilmuku, jangan lihat amalku. Niscaya ilmuku akan bermanfaat
untukmu dan kekuranganku tidak akan merugikanmu. Sungguh ilmu-ilmu itu
laksana pepohonan yang berbuah. Ambil buahnya dan biarkan kayunya
terbakar di perapian." Sebuah syair dikatakan:
خذ العلوم ولا تنظر لقائلها ÷ حيث كانت فان العلم ممدوح
كمثل جوهرة وسط مزبلة ÷ اليت تأخذهـا والزبل مطروح ؟
"Ambil saja banyak ilmu bagaimanapun keadaannya, jangan perdulikan
siapa yang menyampaikannya. Sesungguhnya ilmu itu sendiri sesuatu yang
terpuji. Bagaikan mutiara yang terjatuh di kubangan kotoran. Bukankah
engkau tetap ambil mutiaranya, sementara kotorannya engkau buang?" Dalam
sebuah hadits, Nabi Saw. bersabda:
الحكمة ضـالّة المؤمن يأخذهـا اينمـا وجدهـا
"Hikmah itu (laksana) harta yang hilang milik seorang mukmin, dimanapun ditemukan, diambillah ia."
Mutiara nasihat Habib Salim tersebut sudah cukup mewakili sebagai
landasan untuk siapapun supaya tetap menghormati para ulama meskipun
dalam beberapa hal mungkin tidak dalam satu pendapat yang sama atau
dalam satu gerakan yang sama.
Tidak patut bagi seorang yang
terpelajar, secara terbuka menyudutkan dan merendahkan seorang ulama.
Meskipun di dalam pandangan matanya ulama tersebut ia anggap bukan ulama
yang baik. Beberapa waktu lalu, sangat disayangkan terjadi seorang
terpelajar memperolok Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus) melalui medsos
miliknya, dengan bahasa yang jauh dari sopan santun.
Bukankah
beliau adalah seorang ulama, bahkan salah satu pimpinan yang disepuhkan
dalam Nahdlatul Ulama? Jika tidak ingin menghormati dirinya Gus Mus,
bukankah mesti menghormati keulamaannya? Bahkan menghormati institusi
besar yang ada dibelakangnya?
Kesimpulan yang paling sederhana
dari uraian-uraian ini adalah: "Menjadi seorang Muhibbin harus tetap
dapat memuliakan Ulama, menghormati Nahdlatul Ulama. Menjadi Nahdliyyin
harus selalu memuliakan dan menghormati para Habaib."
Apalagi NU
itu mengikat secara emosional ke dalam jiwa banyak orang. Sejarah
panjang hidupnya, hidup orangtua serta kakek-kakeknya bersinggungan
langsung dengannya. NU sudah menjadi bagian hidup yang tidak
terpisahkan. Sehingga jika dimuliakan, rasanya seperti kehidupan dirinya
yang dimuliakan. Sebaliknya jika direndahkan, rasa-rasanya seperti
dirinyalah yang direndahkan. Sebuah ikatan emosional dan sentimental.
Nahdlatul Ulama bagi banyak orang (termasuk saya) adalah bagaikan benda
keramat warisan keluarga. Warisan orang-orang tua terdahulu. NU itu
laksana kanz/gudang kemuliaan yang banyak orang seperti saya berhutang
banyak dengan "harta-harta" yang tersimpan didalamnya.
Saya ingat
nasihat yang selalu diulang-ulang oleh salah satu Syaikh saya, KH. Aniq
Muhammadun, "Hendaklah kalian sepulangnya dari belajar di pesantren,
saat sudah berkecimpung di tengah-tengah masyarakat agar ikut memikirkan
Aswaja melalui wadah Nahdlatul Ulama. Jamiyyah ini didirikan dengan
penuh ketulusan oleh Kiai-kiai terdahulu, dan sampai sekarang terhitung
yang masih memegang teguh ajaran-ajaran ulama salafus shalih
terdahulu..."
Pesan-pesan semacam itulah yang membuat NU bagi
banyak kalangan, terutama bagi para santri pesantren, melebur menjadi
bagian kehidupan mereka. Mereka senantiasa mengingat-ingat janji
Hadhratus Syaikh Kiai Hasyim Asy’ari: "Siapa yang mau ikut mengurusi NU,
saya doakan ia masuk surga."
Soal perbedaan sikap antara NU
dengan banyak kalangan habaib dalam kasus "Bela Agama" selama ini,
menurut saya masuk di dalam tataran Ijtihadiyyah mereka masing-masing.
Saya sangat yakin keduanya sama-sama membela agama, tetapi hasil ijtihad
mereka membuat yang terlihat adalah sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang
seperti tampak bertentangan di antara keduanya, dan sudah sedari dahulu
perbedaan di antara ulama itu biasa.
Tetapi sikap NU yang berbeda
itu jangan dijadikan jalan untuk merendahkan ulama dan institusinya.
Perbedaan jika masih dalam satu koridor yang sama, aqidahnya masih sama,
rujukan serta manhajnya masih sama, maka sikap yang diambil di dalam
mengutarakan perbedaan tersebut adalah dalam bentuknya yang konstruktif
dengan bahasa-bahasa yang santun serta tetap saling menta'dzimi antara
satu dengan lainnya.
Jika diamati dengan rasa penuh inshaf
(terbuka), dapat dilihat bahwa di sisi para habaib dan di sisi lain para
kiai NU kedua-duanya masih; "Sama-sama Asy’ariyyin-Maturidiyyin.
Sama-sama Syafi’iyyin. Sama-sama Shufiyyin Ghozaliyyin. Dan masih
seabrek kesamaan-kesamaan yang lain".
Kalau benar begitu, mengapa
harus ada rendah-merendahkan satu dengan yang lain? Tentu yang seperti
ini tidak diharapkan terjadi.
Anak-anak muda Nahdliyin haram
hukumnya merendahkan para jamaah yang berangkat berdemo menyertai habaib
mereka. Sementara para Muhibbin tidak sepatutnya menyudutkan atau
merendahkan kaum Nahdliyin yang menahan dirinya tidak turut berdemo ke
jalan sebagaimana mereka. Bukankah masing-masing mengikuti "perintah"
pemimpinnya?
Para Muhibbin bergerak dengan komando pemimpinnya,
yakni para habaib. Para Nahdliyin menahan diri juga atas perintah
pemimpin mereka, yakni para Kiai. Dan Habaib serta Kiai sama-sama wajib
dihormati. Keduanya mempunyai landasan terhadap manhaj gerakan yang
dipilih.
Boleh sekadar mengadu hujjah/dalil mereka, tetapi tidak
sepatutnya saling merendahkan lawan hujjahnya. Syukur jika dapat
ditarik satu kesimpulan yang sama, atau dicari solusi jalan tengahnya.
Jika tidak dapat dijami’kan, maka tetap menghormati pilihannya
masing-masing.
No comments:
Post a Comment