Thursday, June 16, 2016

KH Abdul Hamid Pasuruan





Oleh KH A. Mustofa Bisri

Mungkin banyak orang yang tidak tahu bahwa shahabat Umar Ibn Khatthab (40 S.H. – 23 H.) itu “faqih” mujtahid dan fatwa-fatwanya dibukukan orang dan dikenal sebagai fiqh Umar. Mungkin juga tak  banyak yang  tahu bahwa khalifah kedua ini muhdats (gampangnya, wali besar menurut istilah di kita sekarang). 
Beliau pernah mengomando pasukan muslimin yang berada di luar negeri cukup dari mimbar mesjid di Madinah; pernah menyurati dan mengancam sungai Nil di Mesir yang banyak tingkah, hingga ‘nurut’ –memberi manfaat manusia tanpa minta imbalan korban perawan seperti semula-- sampai sekarang ini; sering dengan firasatnya, shahabat Umar menyelamatkan orang. Bahkan khalifah yang pertama-tama dijuluki Amirul mukminin ini, pendapatnya sering selaras dengan wahyu yang turun kemudian kepada Rasulullah SAW (Misalnya pendapat beliau tentang tawanan Badr, tentang pelarangan khamr, tentang adzan, dsb.). 
Namun manaqibnya jarang atau mungkin malah tidak pernah dibaca orang. Umumnya orang hanya mengenal beliau sebagai pemimpin yang al-Qawwiyul Amien, yang kuat dan amanah. Pemimpin kelas dunia (bahkan Michael Hart memasukkan beliau dalam 100 tokoh paling berpengaruh di dunia) yang sering di elu-elukan sebagai Bapak Demokrasi yang penuh toleransi. 

Boleh jadi juga banyak yang tidak tahu bahwa sahabat Abu Bakar Siddieq (51 S.H. – 13 H.) adalah waliyullah paling besar sepanjang zaman. Kebesarannya tampak sekali saat Rasulullah SAW wafat.  Ketika semua orang, bahkan shahabat Umar yang perkasa, terpukul dan panik penuh ketidakpercayaan, Sahabat Abu Bakar –yang pasti paling sedih dan paling merasa kehilangan dengan wafatnya sang  kekasih agung itu—sedikit pun tidak kelihatan guncang, apalagi kehilangan keseimbangan. 
Sahabat nomor wahid itu bahkan masih sempat mengingatkan shahabat Umar dan yang lain tentang firman Allah, Wamaa Muhammadun illa Rasuul qad khalat min qablihir rusul …yaitu bahwa betapa pun besarnya Muhammad SAW dia tetap manusia yang bisa mati. Hanya Allah yang hidup dan tak mati. “Man kaana ya’budu Muhammadan fainna Muhammadan qad maat; waman ya’buduLlaaha fainnaLlaha Hayyun la yamuut;” kata beliau saat itu menyadarkan shahabat Umar dan yang lain. 
Wali mana yang lebih besar dari orang yang disebut Rasulullah SAW sebagai kekasihnya, Abu Bakar Shiddiq ini?  Sebagaimana shahabat Umar, juga jarang yang mengingat bahwa shahabat Abu Bakar juga mujtahid dalam arti yang sesungguhnya. Umumnya orang hanya mengenal shahabat abu Bakar sebagai shahabat yang mulia budi bahasanya, negarawan dan khalifah pertama Khulafa-ur Rasyidien.
Demikian pula shahabat-shahabat besar yang lain seperti sayyidina Utsman Ibn ‘Affan (47 S.H. – 35 H.) dan sayyidina Ali Ibn Abi Thalib (W. 40 H.), kebanyakan orang hanya mengenal sebagian dari sosok mereka yang paling menonjol; sehingga sisi-sisi kelebihan yang lain bahkan sering terlupakan. Dalam kitabnya Thabaqaat al-Fuqahaa, imam Abu Ishaq as-Syairazy menempatkan Khulafa-ur Rasyidien –secara berurutan-- di deretan pertama tokoh-tokoh faqih dunia. Tapi siapakah yang tersadar bahwa tokoh-tokoh khulafa itu ‘ahli fiqh’ juga? 
 
Hal yang sama, dengan pencitraan yang berbeda-beda, terjadi pada tokoh-tokoh berikutnya. Imam Syafi’i (150 H.- 204 H.) misalnya, karena sudah terlanjur beken di bidang fiqh, apalagi  menciptakan kaidah fiqh yang sangat jenius dan spektakuler, banyak orang yang lupa bahwa beliau sebenarnya juga menguasai ilmu hadis dan sastrawan yang handal; beliau mempunyai antologi puisi yang kemudian dikenal dengan Diewan Asy-Syafi’i. Lebih sedikit lagi yang tahu bahwa Muhammad Ibn Idris ini juga mengerti tentang musik. Setiap orang berbicara tentang imam Syafi’i boleh dikata hanya sebagai sosok faqih mujtahid belaka.

Lebih malang lagi adalah imam Ibn Taimiyah yang hanya gara-gara kemononjolannya dalam hal menentang tawassul, oleh sebagian banyak orang –khususnya pengagum Imam Ghazaly—ditolak seluruh pemikirannya dan tidak dianggap sebagai imam yang alim dan mumpuni.  

Syeikh Abdul Qadir Jailany (atau Jiely atau Kailany, 470-561 H. ) yang dijuluki Sulthaanul ‘Auliyaa, Raja Para Wali, barangkali tak banyak yang mengetahui bahwa beliau sebenarnya menguasai tidak kurang dari 12 ilmu. Beliau  mengajar ilmu-ilmu Qira'ah, Tafsir, Hadis, Perbandingan madzhab, Ushuluddin, Ushul Fiqh, Nahwu, dlsb. Belia berfatwa menurut madzhab Syafi’i dan Hanbali. Namun karena orang melihat sosok akhlaknya yang sangat menonjol, maka orang pun hanya melihatnya sebagai seorang sufi atau wali besar.

Demikianlah umumnya tokoh besar, sering ‘divonis’ harus menjadi ‘hanya sebagai’ atau ‘dikurangi’ kebesarannya oleh citra kebesarannya sendiri yang menonjol. Masyarakat tentu sulit diharapkan akan dapat melihat kebesaran seseorang tokoh secara utuh, paripurna; karena justru masyarakatlah yang pertama-tama terperangkap dalam sisi kebesaran yang menonjol dari sang tokoh dan kemudian tidak bisa melepaskan diri. Karena bagi mereka cukuplah apa yang mereka ketahui dari sang tokoh itu sebagai keutuhan kebesarannya. Barangkali disinilah pentingnya buku biografi seperti yang sekarang ada di tangan Anda. Biografi Almarhum wal maghfurlah Kiai Haji Abdul Hamid yang dikenal dengan Kiai Hamid Pasuruan ini.
***
Saya ‘mengenal’ secara pribadi sosok Kiai Abdul Hamid, ketika saya masih tergolong remaja, sekitar tahun 60-an. Ketika  itu saya dibawa ayah saya, KH Bisri Mustofa, ke suatu acara di Lasem. Memang sudah menjadi kebiasaan ayah, bila bertemu atau akan bertemu kiai-kiai, sedapat mungkin mengajak anak-anaknya untuk diperkenalkan dan dimintakan doa-restu. Saya kira ini memang merupakan kebiasaan setiap kiai tempo doeloe. 
Waktu itu, di samping Kiai Hamid, ada Mbah Baidlawi, Mbah Maksum, dan kiai-kiai sepuh lain. Dengan mbah Baidlawi dan mbah Maksum, saya sudah sering ketemu, ketika beliau-beliau itu tindak Rembang, atau saya dibawa ayah sowan ke Lasem. Dengan kiai Hamid baru ketika itulah saya melihatnya. Wajahnya sangat rupawan. Seperti banyak kiai, ada rona ke-Arab-an dalam wajah rupawan itu. Matanya yang teduh bagai telaga dan mulutnya yang seperti senantiasa tersenyum, menebarkan pengaruh kedamaian kepada siapa pun yang memandangnya.
Ayah saya berkata kepada Kiai Hamid, “Ini anak saya Mustofa, Sampeyan suwuk!” Dan tanpa terduga-duga, tiba-tiba, kiai kharismatik itu mencengkeram dada saya sambil mengulang-ulang dengan suara lembut: “Waladush-shalih, shalih! Waladush-shalih, shalih!”. Telinga saya menangkap ucapan itu bukan sebagai suwuk, tapi cambuk yang terus terngiang; persis seperti tulisan ayah saya sendiri di notes saya: “Liyakun waladul asadi syiblan laa hirratan.” (“Anak singa seharusnya singa, bukan kucing!”). Apalagi dalam beberapa kali petemuan selanjutnya, cengkeraman pada dada dan ucapan lembut itu selalu beliau ulang-ulang. Tapi dalam hati, diam-diam saya selalu berharap cambuk itu  benar-benar mengandung suwuk, doa restu.   

Kemudian ketika saya sering berjumpa dalam berbagai kesempatan, apalagi setelah saya mulai mengenal putera-putera beliau –Gus Nu’man, Gus Nasih, dan Gus Idris— , Kiai Hamid pun menjadi salah satu tokoh idola saya yang istimewa. Pengertian idola ini, boleh jadi tidak sama persis dengan apa yang dipahami kebanyakan orang yang mengidolakan beliau. Biasanya orang hanya membicarakan dan mengagumi karomah beliau lalu dari sana, mereka mengharap berkah. Seolah-olah kehadiran Kiai Hamid –Allah yunawwir dhariihah— hanyalah sebagai ‘pemberi berkah’ kepada mereka yang menghajatkan berkah. Lalu beliau pun dijadikan inspirasi banyak santri muda yang –melihat dan mendengar karomah beliau-- ingin menjadi wali dengan jalan pintas. Padahal berkah beliau, paling tidak menurut saya –dengan alasan-alasan yang akan saya kemukakan melalui kisah-kisah di belakang—lebih dari itu. 

Pernah suatu hari saya sowan ke kediaman beliau di Pasuruan. Berkat ‘kolusi’ dengan Gus Nu’man, saya bisa menghadap langsung empat mata di bagian dalam ndalem. Saya melihat manusia yang sangat manusia yang menghargai manusia sebagai manusia. Bayangkan saja; waktu itu ibaratnya beliau sudah merupakan punjer-nya tanah Jawa, dan beliau mentasyjie’ saya agar tidak sungkan duduk sebangku dengan beliau. 
Ketawaduan, keramahan, dan kebapakan beliau, membuat kesungkanan saya sedikit demi sedikit mencair. Beliau bertanya tentang Rembang dan kabar orang-orang Rembang yang beliau kenal. Tak ada fatwa-fatwa atau nasihat-nasihat secara langsung, tapi saya mendapatkan banyak fatwa dan nasihat dalam pertemuan hampir satu jam itu, melalui sikap dan cerita-cerita beliau. Misalnya, beliau menghajar nafsu tamak saya dengan terus menerus merogoh saku-saku beliau dan mengeluarkan uang seolah-olah siap memberikannya kepada saya (Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa salah satu ‘hoby’ Kiai Hamid adalah membagi-bagikan uang). Atau ketika beliau bercerita tentang kawan Rembang-nya yang dapat saya tangkap intinya: setiap manusia mempunyai kelebihan di samping kekurangannya.

Ketika ‘krisis’ melanda NU di tahun 80-an, saya nderekke para rais NU Wilayah Jawa Tengah, Almarhum Kiai Ahmad Abdul Hamid Kendal, Almarhum Kiai A. Malik Demak, dan Kiai Sahal Machfudz Kajen, sowan ke kediaman kiai saya, Kiai Ali Maksum Krapyak Yogya –Allah yarhamuh—yang waktu itu Rais ‘Am. Kebetulan pada waktu itu Kiai Hamid sudah ada disana. 
Seperti biasa dengan nada berkelakar, Pak Ali –demikian santri-santri Kiai Ali selalu memanggil beliau—berkata kepada Kiai Hamid: “Iki lho, Mustofa  kandani, seneni!”  (“Ini lho Mustofa dinasihati, marahi!”). Memang ketika itu saya sedang ada ‘polemik’ dengan kiai saya yang ‘liberal’ itu. Sekali lagi saya saksikan Kiai Hamid –dalam memenuhi permintaan sahabat-karibnya itu—dengan kelembutannya yang khas, hanya bercerita. “Saya tidak bisa bernasihat; mau menasihati apa? Tapi saya ingat dulu Syaikhuna …” demikian beliau memulai. Dan, masya Allah, dari cerita beliau, semua yang hadir merasa mendapat petuah yang sangat berharga; khususnya bagi kehidupan berorganisasi dan bermasyarakat. Prinsip-prinsip penting organisasi, beliau sampaikan --dengan metode cerita— sama sekali tanpa nada indoktrinasi atau briefing; apalagi menggurui. Luar biasa!

Sengaja saya ceritakan  beberapa pengalaman pertemuan  saya dengan Kiai Hamid di atas, selain sebagai tahadduts bin-ni’mah, saya ingin menunjukkan bahwa beliau memiliki ‘karomah’ yang lain, yang lain dari yang dipahami banyak orang. Sebenarnya buku yang sekarang ada di tangan Anda, sudah cukup memberikan gambaran agak utuh tentang sosok beliau; khususnya yang berkaitan dengan sifat-sifat keteladanan beliau. Tentang penguasaan ilmu, akhlak, dan perhatian beliau terhadap umat. Pendek kata tentang hal-hal yang di masa kini sudah terbilang langka.

Yang kiranya masih perlu dibeber lebih luas adalah proses yang berlangsung, yang membentuk seorang santri Abdul Mu’thi menjadi Kiai Abdul Hamid. Tentang ketekunan beliau mengasah pikir dengan menimba ilmu; tentang perjuangan beliau mencemerlangkan batin dengan penerapan ilmu dalam amal dan mujahadah; dan kesabaran beliau dalam mencapai kearifan dengan terus belajar dari pergaulan yang luas dan pengalaman yang terhayati. Sehingga menjadi kiai yang mutabahhir, yang karenanya penuh kearifan, pengertian, dan tidak kagetan.  
Kiai Hamid bukanlah ‘Wali Tiban’. ‘Wali Tiban’, kalau memang ada, tentu berpotensi kontroversial dalam masyarakat. Kiai Hamid tidak demikian. Beliau dianggap wali secara ‘muttafaq ‘alaih’. Bahkan  ayah saya, Kiai Bisri Mustofa dan guru saya Kiai Ali Maksum –keduanya adalah kawan-karib Kiai Hamid-- yang paling sulit mempercayai adanya wali di zaman ini, harus mengakui, meskipun sebelumnya sering meledek kewalian kawan-karib mereka ini. 

Banyak orang alim yang tidak mengajarkan secara tekun ilmunya dan tidak sedikit yang bahkan tidak mengamalkan ilmunya. Lebih banyak lagi orang yang tidak secara maksimal mengajarkan dan atau mengamalkan ilmunya. Sebagai contoh, banyak kiai yang menguasai ilmu bahasa dan sastra (Nahwu, sharaf, Balaghah, ‘Arudl, dsb.), namun jarang di antara mereka yang mengamalkannya bagi memproduksi karya sastra. 
Kebanyakan  mereka yang memiliki ilmu bahasa dan sastra itu menggunakannya ‘hanya’ untuk membaca kitab dan mengapresiasi, menghayati keindahan, kitab suci Al-Quran. Tentu tak banyak yang mengetahui bahwa salah satu peninggalan Kiai Hamid –rahimahuLlah—adalah naskah lengkap berupa antologi puisi. 

Banyak kiai yang karena ke-amanah-annya mendidik santri, sering melupakan anak-anak mereka sendiri. Kiai Hamid, seperti bisa dibaca di buku biografi ini, bukan saja mendidik santri dan masyarakat, tapi juga sekaligus keluarganya sendiri. 
    
Dari sosok yang sudah jadi Kiai Hamid, kita bisa menduga bahwa penghayatan dan pengamalan ilmu itu sudah beliau latih sejak masih nyantri. Demikian pula pergaulan luas yang membangun pribadi beliau, sudah beliau jalani sejak muda, sehingga beliau menjadi manusia utuh yang menghargai manusia sebagai manusia; bukan karena atribut tempelannya. Dan kesemuanya itu melahirkan kearifan yang dewasa ini sangat sulit dijumpai di kalangan tokoh-tokoh yang alim.

Waba’du; sebelum saya menulis pengantar ini, saya sudah salat sunah dua raka’at; namun saya masih tetap merasa tidak sopan dan tidak sepantasnya berbicara tentang Kiai Hamid seperti ini dan khawatir kalau-kalau beliau sendiri tidak berkenan. Kelembutan dan kearifan beliau seperti yang saya kenallah yang membuat saya berani menuruti permintaan Gus Idris dan pihak Yayasan Ma’had As-Saafiyah Pasuruan untuk menulis. 
Semoga tulisan saya ini termasuk menuturkan kemuliaan orang salih yang dapat menurunkan rahmat Allah. Idz bidzikrihim tatanazalur rahamaat. Dan mudah-mudahan masyarakat tidak hanya mendapat berkah dari manakib beliau ini, tapi lebih jauh dapat menyerap suri tauladan mulia dari sierah dan perilaku beliau. Allahumma ‘nfa’naa bi’uluumihil qayyimah wa akhlaaqihil kariemah. Amin. 
 
Rembang, 1 Shafar 1424

Saat Habib Luthfi Didatangi Ulama Jin dan Setan Nganggur





Risalah Nabi Muhammad Saw. bukan diperuntukkan bagi manusia saja melainkan juga jin. Di dunia manusia ada para ulama dan wali Allah, maka di dunia jin juga sama. Tapi sehalus-halusnya jin masih jauh lebih kasar dibanding manusia yang paling kasar sekalipun. Hal demikian karena berbeda dimensinya.
Suatu waktu Habib Luthfi bin Yahya didatangi oleh sekelompok kiai atau ulama jin. Nampak di wajah mereka bersinar terang meskipun rupa kaki mereka berbeda-beda menyerupai kaki hewan-hewan. Dalam dunia jin mereka pun punya santri dan murid yang banyak. Kedatangan mereka kala itu meminta sang habib memberikan ijazah atau amalan. 
"Habib, kedatangan kami di sini minta ijazah amalan khusus."
"Lho kalian kan ulama, kiai, kenapa perlu memintanya kepada saya?" Jawab Habib Luthfi.
"Karena kami tak bisa menanganinya, banyak dari kami (kaum jin) yang kesurupan manusia."
Di waktu yang lain Habib Luthfi didatangi sekelompok setan yang jumlahnya cukup banyak. Mereka melakukan demo kepada habib menuntut supaya diberikan pekerjaan. "Banyak dari kami yang jadi pengangguran!" Protes mereka.
"Memangnya kenapa kalian jadi pengangguran?" Tanya Habib Luthfi.
"Kami protes kepada Habib, karena pekerjaan-pekerjaan yang selama ini kami jalankan sekarang sudah dirampas/dilakukan oleh kaummu (manusia)."

Dulu, Amaliyah Muhammadiyah Itu NU Banget!





Tulisan kali ini hendak mempertegas tulisan kami yang telah lalu berjudul“Sejarah Awal Muhammadiyah yang Terlupakan”, dimana banyak dari kita belum tahu atau sengaja melupakan sejarah awal Muhammadiyyah.
Secara ringkas kami katakan bahwa, KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyyah pada 18 November 1912/8 Dzull Hijjah 1330) dengan KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU pada 31 Januari 1926/16 Rajab 1344) adalah satu sumber guru dengan amaliah ubudiyah yang sama. Bahkan keduanya pun sama-sama satu nasab dari Maulana ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri).
Berikut kami kutip kembali ringkasan “Kitab Fiqih Muhammadiyyah”, penerbit Muhammadiyyah Bagian Taman Poestaka Jogjakarta, jilid III, diterbitkan tahun 1343 H/1925 M, dimana hal ini membuktikan bahwa amaliah kedua ulama besar di atas tidak berbeda:
1. Niat shalat memakai bacaan lafadz: “Ushalli Fardha...” (halaman 25).
2. Setelah takbir membaca: “Allahu Akbar Kabiran Walhamdulillahi Katsira...” (halaman 25).
3. Membaca surat al-Fatihah memakai bacaan: “Bismillahirrahmanirrahim”(halaman 26).
4. Setiap shalat Shubuh membaca doa Qunut (halaman 27).
5. Membaca shalawat dengan memakai kata: “Sayyidina”, baik di luar maupun dalam shalat (halaman 29).
6. Setelah shalat disunnahkan membaca wiridan: “Istighfar, Allahumma Antassalam, Subhanallah 33x, Alhamdulillah 33x, Allahu Akbar 33x” (halaman 40-42).
7. Shalat Tarawih 20 rakaat, tiap 2 rakaat 1 salam (halaman 49-50).
8. Tentang shalat & khutbah Jum’at juga sama dengan amaliah NU (halaman 57-60).
KH. Ahmad Dahlan sebelum menunaikan ibadah haji ke tanah suci bernama Muhammad Darwis. Seusai menunaikan ibadah haji, nama beliau diganti dengan Ahmad Dahlan oleh salah satu gurunya, as-Sayyid Abubakar Syatha ad-Dimyathi, ulama besar yang bermadzhab Syafi’i.
Jauh sebelum menunaikan ibadah haji dan belajar mendalami ilmu agama, KH. Ahmad Dahlan telah belajar agama kepada asy-Syaikh KH. Shaleh Darat Semarang. KH. Shaleh Darat adalah ulama besar yang telah bertahun-tahun belajar dan mengajar di Masjidil Haram Makkah.
Di pesantren milik KH. Murtadha (sang mertua), KH. Shaleh Darat mengajar santri-santrinya ilmu agama, seperti kitab al-Hikam, al-Munjiyat karya beliau sendiri, Lathaif ath-Thaharah, serta beragam ilmu agama lainnya. Di pesantren ini, Mohammad Darwis bertemu dengan Hasyim Asy’ari. Keduanya sama-sama mendalami ilmu agama dari ulama besar Syaikh Shaleh Darat.
Waktu itu, Muhammad Darwis berusia 16 tahun, sementara Hasyim Asy’ari berusia 14 tahun. Keduanya tinggal satu kamar di pesantren yang dipimpin oleh Syaikh Shaleh Darat Semarang tersebut. Sekitar 2 tahunan kedua santri tersebut hidup bersama di kamar yang sama, pesantren yang sama dan guru yang sama.
Dalam keseharian, Muhammad Darwis memanggil Hasyim Asy’ari dengan panggilan “Adik Hasyim”. Sementara Hasyim Asy’ari memanggil Muhammad Darwis dengan panggilan “Mas atau Kang Darwis”. 
Selepas nyantri di pesantren Syaikh Shaleh Darat, keduanya mendalami ilmu agama di Makkah, dimana sang guru pernah menimba ilmu bertahun-tahun lamanya di Tanah Suci itu. Tentu saja, sang guru sudah membekali akidah dan ilmu fikih yang cukup. Sekaligus telah memberikan referensi ulama-ulama mana yang harus didatangi dan diserap ilmunya selama di Makkah.
Puluhan ulama-ulama Makkah waktu itu berdarah Nusantara. Praktik ibadah waktu itu seperti wiridan, tahlilan, manaqiban, maulidan dan lainnya sudah menjadi bagian dari kehidupan ulama-ulama Nusantara. Hampir semua karya-karya Syaikh Muhammad Yasin al-Faddani, Syaikh Muhammad Mahfudz at-Turmusi dan Syaikh Khaathib as-Sambasi menuliskan tentang madzhab Syafi’i dan Asy’ariyyah sebagai akidahnya. Tentu saja, itu pula yang diajarkan kepada murid-muridnya, seperti KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, Syaikh Abdul Qadir Mandailing dan selainnya.
Seusai pulang dari Makkah, masing-masing mengamalkan ilmu yang telah diperoleh dari guru-gurunya di Makkah. Muhammad Darwis yang telah diubah namanya menjadi Ahmad Dahlan mendirikan persarikatan Muhammadiyyah. Sedangkan Hasyim Asy’ari mendirikan NU (Nahdlatul 'Ulama'). 
Begitulah persaudaraan sejati yang dibangun sejak menjadi santri Syaikh Shaleh Darat hingga menjadi santri di Tanah Suci Makkah. Keduanya juga membuktikan, kalau dirinya tidak ada perbedaan di dalam urusan akidah dan madzhabnya.
Saat itu, di Makkah memang mayoritas bermadzhab Syafi’i dan berakidahkan Asy’ari. Wajar, jika praktek ibadah sehari-hari KH. Ahmad Dahlan persis dengan guru-gurunya di Tanah Suci. Seperti yang sudah dikutipkan di awal tulisan, semisal shalat Shubuh KH. Ahmad Dahan tetap menggunakan Qunut, dan tidak pernah berpendapat bahwa Qunut sholat subuh Nabi Muhammad Saw adalah Qunut Nazilah. Karena beliau sangat memahami ilmu hadits dan juga memahami ilmu fikih.
Begitupula Tarawihnya, KH. Ahmad Dahlan praktek shalat Tarawihnya 20 rakaat. Penduduk Makkah sejak berabad-abad lamanya, sejak masa Khalifah Umar bin Khattab Ra., telah menjalankan Tarawih 20 rakaat dengan 3 witir hingga sekarang. Jumlah ini telah disepakati oleh sahabat-sahabat Nabi Saw. Bagi penduduk Makkah, Tarawih 20 rakaat merupakan ijma’ (konsensus kesepakatan) para sahabat Nabi Saw.
Sedangkan penduduk Madinah melaksanakan Tarawih dengan 36 rakaat. Penduduk Makkah setiap pelaksanaan Tarawih 2 kali salaman, semua beristirahat. Pada waktu istirahat, mereka mengisi dengan thawaf sunnah. Nyaris pelaksanaan shalat Tarawih hingga malam, bahkan menjelang Shubuh.
Di sela-sela Tarawih itulah keuntungan penduduk Makkah, karena bisa menambah pahala ibadah dengan thawaf. Maka bagi penduduk Madinah untuk mengimbangi pahala dengan yang di Makkah, mereka melaksanakan Tarawih dengan jumlah lebih banyak.
Jadi, baik KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari tidak pernah ada perbedaan di dalam pelaksanaan ubudiyah. Ketua PP. Muhammdiyah, Yunahar Ilyas pernah menuturkan: “KH. Ahmad Dahlan pada masa hidupnya banyak menganut fiqh madzhab Syafi’i, termasuk mengamalkan Qunut dalam shalat Shubuh dan shalat Tarawih 23 rakaat. Namun, setelah berdirinya Majelis Tarjih pada masa kepemimpinan KH. Mas Manshur, terjadilah revisi-revisi, termasuk keluarnya Putusan Tarjih yang menuntunkan tidak dipraktekkannya doa Qunut di dalam shalat Shubuh dan jumlah rakaat shalat Tarawih yang sebelas rakaat.”
Sedangkan jawaban enteng yang dikemukan oleh dewan tarjih saat ditanyakan: “Kenapa ubudiyyah (praktek ibadah) Muhammadiyyah yang dulu dengan sekarang berbeda?” Alasan mereka adalah karena “Muhammadiyyah bukan Dahlaniyyah”.
Masihkah di antara kita yang gemar mencela dan mengata-ngatai amaliah-amaliah Ahlussunnah wal Jama’ah Nahdlatul Ulama' sebagai amalan bid’ah, musyrik dan sesat?

Wednesday, June 15, 2016

Guyonan disek Ker....................





Pengadilan Negeri Bangkalan - Madura
Hakim: "Anda kenal dgn 'terdakwa.?"
Saksi: "Tidak Pak."
Hakim (mengulang): "Anda tdk kenal dgn orang ini.?"
Saksi: "Kalau orang ini saya kenal, namanya Kadir"
Hakim: tadi Anda sampaikan tidak mengenal 'terdakwa'?
Saksi: iya Pak, saya taunya namanya Kadir bukan ' terdakwa'....
Hakim (mulai jengkel): "Jadi Anda kenal dgn Saudara Kadir?"
Saksi: "Tidak Pak"
Hakim (marah): "Lho! tadi katanya kenal !!!"
Saksi: "Sama Kadir kenal, sama saudaranya tidak, Pak"
Hakim: sy tegaskan, jadi anda kenal dengan Bapak Kadir.
Saksi: apalagi dgn Bapaknya, sama saudaranya saja tdk kenal
Sidaang di tutupp👻👻 Hakimnya langsung setroooookkkkkk

Keberkahan Bulan Ramadhan







Di ceritakan bahwa ada orang majusi ( penyembah api ) melihat anaknya asyi memukul anaknya lantas bilang
k makan dipasar pada bulan Romadlon , lalu si majusi
" kenapa kau tak mengindahkan untuk menghormati para muslimin di bulan romadlon ? "
Dikemudian hari majusi tersebut meninggal dunia , suatu hari orang alim bermimpi melihat si majusi berada diatas ranjang mulia di surga , lalu orang alim bertanya
" Bukankah engkau orang majusi ? "
Majusi menjawab
" Iya, saya memang majusi tapi waktu aku mau meninggal,aku mendengar seruan dari atas , Wahai para malaikatku janganlah kalian meninggalkannya dalam keadaan majusi, mulyakanlah ia dengan islam karena rasa hormatnya pada bulan Romadlon "
Ini adalah isyarah bahwa orang majusi di karenakan ia menghormati bulan romadlon saja bisa menemukan sebuah iman , Bagaimana bagi orang yang dengan senang hati mau menjalankan puasa serta menghormati bulan itu ?
حكى أن مجوسيا رأى إبنه فى رمضان يأكل فى السوق فضربه وقال لم لم تحفظ حرمة المسلمين فى رمضان ؟ فمات المجوسى فرآه عالم فى المنام على سرير العزة فى الجنة فقال ألست مجوسيا ؟ فقال بلى ولكن سمعت وقت الموت نداء من فوق يا ملائكتى لا تتركوه مجوسيا فأكرموه بالإسلام بحرمته لرمضان

Syeikh Dr Said Ramadan Al Buti





Pada suatu hari, di bulan Ramadhan, Syeikh Dr Said Ramadan al Buti berhajat ingin ke pasar. Lalu Syeikh mengenakan pakaian serba putih, berjubah dan berkopiah putih, pakaian bagi seorang ulama'. .
Ketika Syeikh berjalan ke kawasan pasar, datang lah seorang lelaki di hadapan Syeikh, yg berpakaian agak tidak sopan. Lantas lelaki tersebut mengeluarkan sebatang rokok dari poket seluarnya dan menghisap hembus asap rokoknya tepat2 di hadapan Syeikh. .
Muka Syeikh menjadi merah, api kemarahan nya mula menyala-nyala tapi tidak sempat Syeikh hendak menegur lelaki tersebut, terdetik satu perasaan di dalam hati Syeikh. .
Apakah asbab aku ingin memarahi lelaki tersebut, apakah yg menjadi kayu api yg menyemarakkan kemarahanku, adakah kerana aku benar-benar membenci kemungkaran yang lelaki itu lakukan di hadapanku, atau kerana aku berpakaian jubah dan berkopiah, lantas aku marah dengan tindak tanduk lelaki tersebut yang langsung tidak menghormati statusku sebagai seorang ulama'.Astaghfirullah...... Lalu, Syeikh pulang ke rumah dan memuhasabahkan dirinya. .
Begitulah Ulama' Rabbani, yang begitu teliti dalam setiap amalannya. Bagaimana pula dengan kita? Apakah sebab utama kita berdakwah dan menegur kesilapan orang lain, adakah kerana kita benar-benar ingin menunaikan perintah Ilahi atau ingin sekadar mementingkan kepentingan dan maruah peribadi? Perhatikanlah hati masing-masing, dan binalah niat berdakwah yang suci. .
Sayangilah mad`u anda.. Benci lah kemaksiatan yang mereka lakukan, bukan membenci kepada mereka.
Gambar Suatu ketika Dahulu As Syahid Mimbar Al Marhum, Al-‘Allamah Syaikh Dr. Muhammad Sa‘id Ramadan al-Buti ketika di Bumi Tarim.
____________________
Allahuma sholii alaa sayyidina muhammad wa alaa aalihi wa shohbihi wa salim ~
Pada suatu hari, di bulan Ramadhan, Syeikh Dr Said Ramadan al Buti berhajat ingin ke pasar. Lalu Syeikh mengenakan pakaian serba putih, berjubah dan berkopiah putih, pakaian bagi seorang ulama'. .
Ketika Syeikh berjalan ke kawasan pasar, datang lah seorang lelaki di hadapan Syeikh, yg berpakaian agak tidak sopan. Lantas lelaki tersebut mengeluarkan sebatang rokok dari poket seluarnya dan menghisap hembus asap rokoknya tepat2 di hadapan Syeikh. .
Muka Syeikh menjadi merah, api kemarahan nya mula menyala-nyala tapi tidak sempat Syeikh hendak menegur lelaki tersebut, terdetik satu perasaan di dalam hati Syeikh. .
Apakah asbab aku ingin memarahi lelaki tersebut, apakah yg menjadi kayu api yg menyemarakkan kemarahanku, adakah kerana aku benar-benar membenci kemungkaran yang lelaki itu lakukan di hadapanku, atau kerana aku berpakaian jubah dan berkopiah, lantas aku marah dengan tindak tanduk lelaki tersebut yang langsung tidak menghormati statusku sebagai seorang ulama'.Astaghfirullah...... Lalu, Syeikh pulang ke rumah dan memuhasabahkan dirinya. .
Begitulah Ulama' Rabbani, yang begitu teliti dalam setiap amalannya. Bagaimana pula dengan kita? Apakah sebab utama kita berdakwah dan menegur kesilapan orang lain, adakah kerana kita benar-benar ingin menunaikan perintah Ilahi atau ingin sekadar mementingkan kepentingan dan maruah peribadi? Perhatikanlah hati masing-masing, dan binalah niat berdakwah yang suci. .
Sayangilah mad`u anda.. Benci lah kemaksiatan yang mereka lakukan, bukan membenci kepada mereka.
Gambar Suatu ketika Dahulu As Syahid Mimbar Al Marhum, Al-‘Allamah Syaikh Dr. Muhammad Sa‘id Ramadan al-Buti ketika di Bumi Tarim.
____________________
Allahuma sholii alaa sayyidina muhammad wa alaa aalihi wa shohbihi wa salim ~