Oleh KH A. Mustofa Bisri
Mungkin banyak orang yang tidak tahu bahwa shahabat Umar Ibn Khatthab (40 S.H. – 23 H.) itu “faqih” mujtahid dan fatwa-fatwanya dibukukan orang dan dikenal sebagai fiqh Umar. Mungkin juga tak banyak yang tahu bahwa khalifah kedua ini muhdats (gampangnya, wali besar menurut istilah di kita sekarang).
Beliau pernah mengomando pasukan muslimin yang berada di luar negeri
cukup dari mimbar mesjid di Madinah; pernah menyurati dan mengancam
sungai Nil di Mesir yang banyak tingkah, hingga ‘nurut’ –memberi manfaat
manusia tanpa minta imbalan korban perawan seperti semula-- sampai
sekarang ini; sering dengan firasatnya, shahabat Umar menyelamatkan
orang. Bahkan khalifah yang pertama-tama dijuluki Amirul mukminin ini,
pendapatnya sering selaras dengan wahyu yang turun kemudian kepada
Rasulullah SAW (Misalnya pendapat beliau tentang tawanan Badr, tentang
pelarangan khamr, tentang adzan, dsb.).
Namun manaqibnya jarang atau mungkin malah tidak pernah dibaca orang. Umumnya orang hanya mengenal beliau sebagai pemimpin yang al-Qawwiyul Amien,
yang kuat dan amanah. Pemimpin kelas dunia (bahkan Michael Hart
memasukkan beliau dalam 100 tokoh paling berpengaruh di dunia) yang
sering di elu-elukan sebagai Bapak Demokrasi yang penuh toleransi.
Boleh jadi juga banyak yang tidak tahu bahwa sahabat Abu Bakar Siddieq (51 S.H. – 13 H.) adalah waliyullah paling besar sepanjang zaman. Kebesarannya tampak sekali saat Rasulullah SAW wafat. Ketika semua orang, bahkan shahabat Umar yang perkasa, terpukul dan panik penuh ketidakpercayaan, Sahabat Abu Bakar –yang pasti paling sedih dan paling merasa kehilangan dengan wafatnya sang kekasih agung itu—sedikit pun tidak kelihatan guncang, apalagi kehilangan keseimbangan.
Sahabat nomor wahid itu bahkan masih sempat mengingatkan shahabat Umar dan yang lain tentang firman Allah, Wamaa Muhammadun illa Rasuul qad khalat min qablihir rusul …yaitu bahwa betapa pun besarnya Muhammad SAW dia tetap manusia yang bisa mati. Hanya Allah yang hidup dan tak mati. “Man kaana ya’budu Muhammadan fainna Muhammadan qad maat; waman ya’buduLlaaha fainnaLlaha Hayyun la yamuut;” kata beliau saat itu menyadarkan shahabat Umar dan yang lain.
Wali mana yang lebih besar dari orang yang disebut Rasulullah SAW
sebagai kekasihnya, Abu Bakar Shiddiq ini? Sebagaimana shahabat Umar,
juga jarang yang mengingat bahwa shahabat Abu Bakar juga mujtahid dalam
arti yang sesungguhnya. Umumnya orang hanya mengenal shahabat abu Bakar
sebagai shahabat yang mulia budi bahasanya, negarawan dan khalifah
pertama Khulafa-ur Rasyidien.
Demikian pula shahabat-shahabat besar yang lain seperti sayyidina Utsman
Ibn ‘Affan (47 S.H. – 35 H.) dan sayyidina Ali Ibn Abi Thalib (W. 40
H.), kebanyakan orang hanya mengenal sebagian dari sosok mereka yang
paling menonjol; sehingga sisi-sisi kelebihan yang lain bahkan sering
terlupakan. Dalam kitabnya Thabaqaat al-Fuqahaa, imam Abu Ishaq
as-Syairazy menempatkan Khulafa-ur Rasyidien –secara berurutan-- di
deretan pertama tokoh-tokoh faqih dunia. Tapi siapakah yang tersadar
bahwa tokoh-tokoh khulafa itu ‘ahli fiqh’ juga?
Hal yang sama, dengan pencitraan yang berbeda-beda, terjadi pada tokoh-tokoh berikutnya. Imam Syafi’i (150 H.- 204 H.) misalnya, karena sudah terlanjur beken di bidang fiqh, apalagi menciptakan kaidah fiqh yang sangat jenius dan spektakuler, banyak orang yang lupa bahwa beliau sebenarnya juga menguasai ilmu hadis dan sastrawan yang handal; beliau mempunyai antologi puisi yang kemudian dikenal dengan Diewan Asy-Syafi’i. Lebih sedikit lagi yang tahu bahwa Muhammad Ibn Idris ini juga mengerti tentang musik. Setiap orang berbicara tentang imam Syafi’i boleh dikata hanya sebagai sosok faqih mujtahid belaka.
Lebih malang lagi adalah imam Ibn Taimiyah yang hanya gara-gara kemononjolannya dalam hal menentang tawassul, oleh sebagian banyak orang –khususnya pengagum Imam Ghazaly—ditolak seluruh pemikirannya dan tidak dianggap sebagai imam yang alim dan mumpuni.
Syeikh Abdul Qadir Jailany (atau Jiely atau Kailany, 470-561 H. ) yang dijuluki Sulthaanul ‘Auliyaa, Raja Para Wali, barangkali tak banyak yang mengetahui bahwa beliau sebenarnya menguasai tidak kurang dari 12 ilmu. Beliau mengajar ilmu-ilmu Qira'ah, Tafsir, Hadis, Perbandingan madzhab, Ushuluddin, Ushul Fiqh, Nahwu, dlsb. Belia berfatwa menurut madzhab Syafi’i dan Hanbali. Namun karena orang melihat sosok akhlaknya yang sangat menonjol, maka orang pun hanya melihatnya sebagai seorang sufi atau wali besar.
Demikianlah umumnya tokoh besar, sering ‘divonis’ harus menjadi ‘hanya sebagai’ atau ‘dikurangi’ kebesarannya oleh citra kebesarannya sendiri yang menonjol. Masyarakat tentu sulit diharapkan akan dapat melihat kebesaran seseorang tokoh secara utuh, paripurna; karena justru masyarakatlah yang pertama-tama terperangkap dalam sisi kebesaran yang menonjol dari sang tokoh dan kemudian tidak bisa melepaskan diri. Karena bagi mereka cukuplah apa yang mereka ketahui dari sang tokoh itu sebagai keutuhan kebesarannya. Barangkali disinilah pentingnya buku biografi seperti yang sekarang ada di tangan Anda. Biografi Almarhum wal maghfurlah Kiai Haji Abdul Hamid yang dikenal dengan Kiai Hamid Pasuruan ini.
***
Saya ‘mengenal’ secara pribadi sosok Kiai Abdul Hamid, ketika saya masih
tergolong remaja, sekitar tahun 60-an. Ketika itu saya dibawa ayah
saya, KH Bisri Mustofa, ke suatu acara di Lasem. Memang sudah menjadi
kebiasaan ayah, bila bertemu atau akan bertemu kiai-kiai, sedapat
mungkin mengajak anak-anaknya untuk diperkenalkan dan dimintakan
doa-restu. Saya kira ini memang merupakan kebiasaan setiap kiai tempo
doeloe.
Waktu itu, di samping Kiai Hamid, ada Mbah Baidlawi, Mbah Maksum, dan
kiai-kiai sepuh lain. Dengan mbah Baidlawi dan mbah Maksum, saya sudah
sering ketemu, ketika beliau-beliau itu tindak Rembang, atau saya dibawa
ayah sowan ke Lasem. Dengan kiai Hamid baru ketika itulah saya
melihatnya. Wajahnya sangat rupawan. Seperti banyak kiai, ada rona
ke-Arab-an dalam wajah rupawan itu. Matanya yang teduh bagai telaga dan
mulutnya yang seperti senantiasa tersenyum, menebarkan pengaruh
kedamaian kepada siapa pun yang memandangnya.
Ayah saya berkata kepada Kiai Hamid, “Ini anak saya Mustofa, Sampeyan
suwuk!” Dan tanpa terduga-duga, tiba-tiba, kiai kharismatik itu
mencengkeram dada saya sambil mengulang-ulang dengan suara lembut:
“Waladush-shalih, shalih! Waladush-shalih, shalih!”. Telinga saya
menangkap ucapan itu bukan sebagai suwuk, tapi cambuk yang terus
terngiang; persis seperti tulisan ayah saya sendiri di notes saya: “Liyakun waladul asadi syiblan laa hirratan.”
(“Anak singa seharusnya singa, bukan kucing!”). Apalagi dalam beberapa
kali petemuan selanjutnya, cengkeraman pada dada dan ucapan lembut itu
selalu beliau ulang-ulang. Tapi dalam hati, diam-diam saya selalu
berharap cambuk itu benar-benar mengandung suwuk, doa restu.
Kemudian ketika saya sering berjumpa dalam berbagai kesempatan, apalagi setelah saya mulai mengenal putera-putera beliau –Gus Nu’man, Gus Nasih, dan Gus Idris— , Kiai Hamid pun menjadi salah satu tokoh idola saya yang istimewa. Pengertian idola ini, boleh jadi tidak sama persis dengan apa yang dipahami kebanyakan orang yang mengidolakan beliau. Biasanya orang hanya membicarakan dan mengagumi karomah beliau lalu dari sana, mereka mengharap berkah. Seolah-olah kehadiran Kiai Hamid –Allah yunawwir dhariihah— hanyalah sebagai ‘pemberi berkah’ kepada mereka yang menghajatkan berkah. Lalu beliau pun dijadikan inspirasi banyak santri muda yang –melihat dan mendengar karomah beliau-- ingin menjadi wali dengan jalan pintas. Padahal berkah beliau, paling tidak menurut saya –dengan alasan-alasan yang akan saya kemukakan melalui kisah-kisah di belakang—lebih dari itu.
Pernah suatu hari saya sowan ke kediaman beliau di Pasuruan. Berkat ‘kolusi’ dengan Gus Nu’man, saya bisa menghadap langsung empat mata di bagian dalam ndalem. Saya melihat manusia yang sangat manusia yang menghargai manusia sebagai manusia. Bayangkan saja; waktu itu ibaratnya beliau sudah merupakan punjer-nya tanah Jawa, dan beliau mentasyjie’ saya agar tidak sungkan duduk sebangku dengan beliau.
Ketawaduan, keramahan, dan kebapakan beliau, membuat kesungkanan saya
sedikit demi sedikit mencair. Beliau bertanya tentang Rembang dan kabar
orang-orang Rembang yang beliau kenal. Tak ada fatwa-fatwa atau
nasihat-nasihat secara langsung, tapi saya mendapatkan banyak fatwa dan
nasihat dalam pertemuan hampir satu jam itu, melalui sikap dan
cerita-cerita beliau. Misalnya, beliau menghajar nafsu tamak saya dengan
terus menerus merogoh saku-saku beliau dan mengeluarkan uang
seolah-olah siap memberikannya kepada saya (Sudah menjadi pengetahuan
umum bahwa salah satu ‘hoby’ Kiai Hamid adalah membagi-bagikan uang).
Atau ketika beliau bercerita tentang kawan Rembang-nya yang dapat saya
tangkap intinya: setiap manusia mempunyai kelebihan di samping
kekurangannya.
Ketika ‘krisis’ melanda NU di tahun 80-an, saya nderekke para rais NU Wilayah Jawa Tengah, Almarhum Kiai Ahmad Abdul Hamid Kendal, Almarhum Kiai A. Malik Demak, dan Kiai Sahal Machfudz Kajen, sowan ke kediaman kiai saya, Kiai Ali Maksum Krapyak Yogya –Allah yarhamuh—yang waktu itu Rais ‘Am. Kebetulan pada waktu itu Kiai Hamid sudah ada disana.
Seperti biasa dengan nada berkelakar, Pak Ali –demikian santri-santri
Kiai Ali selalu memanggil beliau—berkata kepada Kiai Hamid: “Iki lho,
Mustofa kandani, seneni!” (“Ini lho Mustofa dinasihati, marahi!”).
Memang ketika itu saya sedang ada ‘polemik’ dengan kiai saya yang
‘liberal’ itu. Sekali lagi saya saksikan Kiai Hamid –dalam memenuhi
permintaan sahabat-karibnya itu—dengan kelembutannya yang khas, hanya
bercerita. “Saya tidak bisa bernasihat; mau menasihati apa? Tapi saya
ingat dulu Syaikhuna …” demikian beliau memulai. Dan, masya Allah, dari
cerita beliau, semua yang hadir merasa mendapat petuah yang sangat
berharga; khususnya bagi kehidupan berorganisasi dan bermasyarakat.
Prinsip-prinsip penting organisasi, beliau sampaikan --dengan metode
cerita— sama sekali tanpa nada indoktrinasi atau briefing; apalagi
menggurui. Luar biasa!
Sengaja saya ceritakan beberapa pengalaman pertemuan saya dengan Kiai Hamid di atas, selain sebagai tahadduts bin-ni’mah, saya ingin menunjukkan bahwa beliau memiliki ‘karomah’ yang lain, yang lain dari yang dipahami banyak orang. Sebenarnya buku yang sekarang ada di tangan Anda, sudah cukup memberikan gambaran agak utuh tentang sosok beliau; khususnya yang berkaitan dengan sifat-sifat keteladanan beliau. Tentang penguasaan ilmu, akhlak, dan perhatian beliau terhadap umat. Pendek kata tentang hal-hal yang di masa kini sudah terbilang langka.
Yang kiranya masih perlu dibeber lebih luas adalah proses yang berlangsung, yang membentuk seorang santri Abdul Mu’thi menjadi Kiai Abdul Hamid. Tentang ketekunan beliau mengasah pikir dengan menimba ilmu; tentang perjuangan beliau mencemerlangkan batin dengan penerapan ilmu dalam amal dan mujahadah; dan kesabaran beliau dalam mencapai kearifan dengan terus belajar dari pergaulan yang luas dan pengalaman yang terhayati. Sehingga menjadi kiai yang mutabahhir, yang karenanya penuh kearifan, pengertian, dan tidak kagetan.
Kiai Hamid bukanlah ‘Wali Tiban’. ‘Wali Tiban’, kalau memang ada, tentu
berpotensi kontroversial dalam masyarakat. Kiai Hamid tidak demikian.
Beliau dianggap wali secara ‘muttafaq ‘alaih’. Bahkan ayah saya,
Kiai Bisri Mustofa dan guru saya Kiai Ali Maksum –keduanya adalah
kawan-karib Kiai Hamid-- yang paling sulit mempercayai adanya wali di
zaman ini, harus mengakui, meskipun sebelumnya sering meledek kewalian
kawan-karib mereka ini.
Banyak orang alim yang tidak mengajarkan secara tekun ilmunya dan tidak sedikit yang bahkan tidak mengamalkan ilmunya. Lebih banyak lagi orang yang tidak secara maksimal mengajarkan dan atau mengamalkan ilmunya. Sebagai contoh, banyak kiai yang menguasai ilmu bahasa dan sastra (Nahwu, sharaf, Balaghah, ‘Arudl, dsb.), namun jarang di antara mereka yang mengamalkannya bagi memproduksi karya sastra.
Kebanyakan mereka yang memiliki ilmu bahasa dan sastra itu
menggunakannya ‘hanya’ untuk membaca kitab dan mengapresiasi, menghayati
keindahan, kitab suci Al-Quran. Tentu tak banyak yang mengetahui bahwa
salah satu peninggalan Kiai Hamid –rahimahuLlah—adalah naskah lengkap
berupa antologi puisi.
Banyak kiai yang karena ke-amanah-annya mendidik santri, sering melupakan anak-anak mereka sendiri. Kiai Hamid, seperti bisa dibaca di buku biografi ini, bukan saja mendidik santri dan masyarakat, tapi juga sekaligus keluarganya sendiri.
Dari sosok yang sudah jadi Kiai Hamid, kita bisa menduga bahwa penghayatan dan pengamalan ilmu itu sudah beliau latih sejak masih nyantri. Demikian pula pergaulan luas yang membangun pribadi beliau, sudah beliau jalani sejak muda, sehingga beliau menjadi manusia utuh yang menghargai manusia sebagai manusia; bukan karena atribut tempelannya. Dan kesemuanya itu melahirkan kearifan yang dewasa ini sangat sulit dijumpai di kalangan tokoh-tokoh yang alim.
Waba’du; sebelum saya menulis pengantar ini, saya sudah salat sunah dua raka’at; namun saya masih tetap merasa tidak sopan dan tidak sepantasnya berbicara tentang Kiai Hamid seperti ini dan khawatir kalau-kalau beliau sendiri tidak berkenan. Kelembutan dan kearifan beliau seperti yang saya kenallah yang membuat saya berani menuruti permintaan Gus Idris dan pihak Yayasan Ma’had As-Saafiyah Pasuruan untuk menulis.
Semoga tulisan saya ini termasuk menuturkan kemuliaan orang salih yang dapat menurunkan rahmat Allah. Idz bidzikrihim tatanazalur rahamaat.
Dan mudah-mudahan masyarakat tidak hanya mendapat berkah dari manakib
beliau ini, tapi lebih jauh dapat menyerap suri tauladan mulia dari
sierah dan perilaku beliau. Allahumma ‘nfa’naa bi’uluumihil qayyimah wa akhlaaqihil kariemah. Amin.
Rembang, 1 Shafar 1424