Thursday, June 30, 2016

Jangan terkecoh dengan penampilan

Dikisahkan bahwa Abu Nawas menemui sang raja bersama seorang lelaki yang membawa berbagai bejana arak / miras
Sang raja berkata
" Hukumlah lelaki itu dengan hukuman bagi pemabuk "
Lelaki tersebut bertanya
" kenapa bisa begitu wahai sang raja ? "
Raja menjawab
" Karena kamu membawa peralatan miras "
Abu Nawas ikut angkat bicara
" Kalau begitu hukum saya juga dengan hukuman kasus perzinahan "
Raja bertanya
" kenapa? "
Abu Nawas menjawab
" Karena saya membawa alat zina "
Sang raja pun tertawa lalu berkata
" ya udah, lepaskan dia "
-------------------
حكى أنه أتى إلى أمير برجل ومعه آنية الخمر فقال حدوه حد الشراب فقال له لماذا يا أيها الأمير ؟ فقال لأن معك آلة الخمر فقال حدنى حد الزنا أيضا فقال لماذا ؟ لأن معى آلة الزنا فضحك منه الأمير وقال خلوا سبيله
Sumber : An-nawadir hal 222

Jangan terkecoh dengan penampilan

Dikisahkan bahwa Abu Nawas menemui sang raja bersama seorang lelaki yang membawa berbagai bejana arak / miras
Sang raja berkata
" Hukumlah lelaki itu dengan hukuman bagi pemabuk "
Lelaki tersebut bertanya
" kenapa bisa begitu wahai sang raja ? "
Raja menjawab
" Karena kamu membawa peralatan miras "
Abu Nawas ikut angkat bicara
" Kalau begitu hukum saya juga dengan hukuman kasus perzinahan "
Raja bertanya
" kenapa? "
Abu Nawas menjawab
" Karena saya membawa alat zina "
Sang raja pun tertawa lalu berkata
" ya udah, lepaskan dia "
-------------------
حكى أنه أتى إلى أمير برجل ومعه آنية الخمر فقال حدوه حد الشراب فقال له لماذا يا أيها الأمير ؟ فقال لأن معك آلة الخمر فقال حدنى حد الزنا أيضا فقال لماذا ؟ لأن معى آلة الزنا فضحك منه الأمير وقال خلوا سبيله
Sumber : An-nawadir hal 222

APA ITU BAROKAH

APA ITU BAROKAH

Barokah adalah bertambahnya nilai" kebaikan.
Barokah bukanlah cukup & mencukupi saja, tapi barokah ialah bertambahnya ketaatanmu kepada الله dg segala keadaan yg ada, baik berlimpah atau sebaliknya.
Barokah itu: "albarokatu tuziidukum fi thoah" ~ barokah menambah taatmu kepada الله.
Hidup yg barokah bukan hanya sehat, tapi kadang sakit itu justru barokah sebagaimana Nabi Ayyub عليه السلام, sakitnya menambah taatnya kepada الله.
Barokah itu tak selalu panjang umur, ada yg umurnya pendek tapi dahsyat taatnya layaknya Musab ibn Umair.
Tanah yg barokah itu bukan karena subur & panoramanya indah, karena tanah yg tandus seperti Makkah punya keutamaan di hadapan الله tiada yg menandingi.
Makanan barokah itu bukan yg komposisi gizinya lengkap, tapi makanan itu mampu mendorong pemakannya menjadi lebih taat setelah makan.
Ilmu yg barokah itu bukan yg banyak riwayat & catatan kakinya, tapi yg barokah ialah yg manfaat untuk agama Allah,bangsa dan negara
Penghasilan barokah juga bukan gaji yg besar & bertambah, tapi sejauh mana ia bisa jadi jalan rizqi bagi yg lainnya & semakin banyak orang yg terbantu dg penghasilan tersebut.
Anak² yg barokah bukanlah saat kecil mereka lucu & imut atau setelah dewasa mereka sukses bergelar & mempunyai pekerjaan & jabatan hebat, tapi anak yg barokah ialah yg senantiasa taat kepada Rabb-Nya & kelak di antara mereka ada yg lebih shalih & tak henti²nya mendo'akan kedua Orang tuanya.
Barang siapa yg mengajarkan satu ilmu dan org tsb mengamalkannya maka pahala bagi org yg memberikan ilmu tsb tanpa mengurangi pahala org yg mengamalkan nya. (HR.Bukhori Muslim)

*Drs K.H Nur Ali Ahmad

Tuesday, June 28, 2016

IHSAN KEPADA ORANG TUA





IHSAN KEPADA ORANG TUA



Ihsan berarti memperlakukan pihak lain lebih baik dari perlakuannya terhadap kita, memberi lebih banyak dari pada yang harus kita beri. Dan mengambil lebih sedikit dari yang seharusnya kita ambil. Jadi, dalam ihsan terdapat nilai tambah yang melampaui kadar pemenuhan kewajiban.
Implementasi ihsan ini bisa kita ambil dari surah Ali ‘Imran ayat 134. Mula-mula anda harus memberi nafkah, baik ketika lapang maupun sempit, kemudian jika dizalimi, anda menahan amarah, lalu memaafkan kesalahan orang lain yang menzalimi anda, dan kemudian berbuat baik kepada orang lain tersebut dengan cara sebaik-baiknya, misalnya dengan mendoakan kebaikan untuknya.
Dalam konteks berbakti kepada orang tua, seorang anak harus memberi sesuatu yang lebih baik dan lebih banyak dari pada yang telah diberikan orang tua. Kriteria ‘baik’ disini tentu meliputi aspek material maupun mental. Misalnya, anak menunjukkan ekspresi senang dan berkata dengan santun ketika mendengar orang tua memanggilnya atau mengatakan sesuatu kepadanya. Ia tidak hanya menjawab atau menanggapi sekedarnya saja, tetapi memberi respon yangg lebih baik dari pada yang dilakukan orang tua.
Dalam contoh lain, orang tua memberi ongkos kepada anak untuk belajar diluar kota maka sang anak harus menjaga pemberian tersebut (sebagai amanah) sebaik mungkin dengan cara belajar secara maksimal dan mempersembahkan segala yang ia peroleh untuk orang tuanya tersebut.
Ketika sudah sukses dan memperoleh pekerjaan, anak juga harus lebih pengertian dalam memperhatikan kebutuhan orang tua, baik dari segi nafkah lahir maupun batin. Jangan sampai pemberian kepada orang tua didahului oleh permintaan maupun penderitaan orang tua.
Jika orang tua berbuat zalim, anak tidak boleh membalas kezaliman tersebut. Ia harus sabar dan tetap menjaga perasaan orang tua. Sabar disini tentu bukan hanya berdiam diri saja, melainkan juga melakukan usaha agar orang tua terbebas dari sikap zalim tersebut.
Berbakti kepada orang tua berarti menjalin hubungan baik dengan orang tua dengan didasari cinta dan rendah diri, bukan didasari rasa takut mendapat ancaman atau takut tidak dipenuhi kebutuhannya. Jadi, perbuatan bakti tersebut harus benar-benar tulus untuk kedua orang tua, tidak disertai motif-motif mencari keuntungan atau keterpaksaan.

ISLAM DI KAMPUNG, ISLAM DI KAMPUS, KETEMU DI FACEBOOK






Sejak usia masih tujuh tahun, anak kampung diwajibkan pakai sarung setiap habis maghrib. Mereka diperintah berangkat ke musholla untuk belajar mengaji al Qur'an, Ilmu Tajwid, Fiqh dan Aqidah dasar. Dan ilmu ilmu ini menjadi ssangat akrab pada mereka. Begitu pula ketika nyantri, mereka perdalam ilmu agama yang dasar dasarnya sudah dipelajari sejak di kampung.
Maka wajar, ketika mereka kuliah, mereka tertarik dengan perbincangan yang lebih
menantang semacam Kritik Nalar Islam Mohammed Arkoun, Kiri Islam dari Hassan Hanafi, Formasi Nalar Arab dari Abed Al Jabiri, Filsafat Dekonstruksi dari Jaqcues Derrida, Kritik Sejarah ala Michael Foucault, dan lain lain.
Sementara di sisi lain, ada yang baru belajar ilmu agama di kampus melalui Roudhohan, daurohan, liqoan dsb yang digelar oleh kalangan Wahabi.
Bagi mereka, ilmu Tajwid, Ilmu Fiqh, Aqidah, menjadi ilmu yang mewah, karena baru mereka kenal.
Maka ketika berjumpa di Facebook dan sosial media lainnya, anak orang NU heran mengapa ilmu ilmu dasar seperti sifat dua puluh, lafadz Usholli, do'a qunut, dan sebagainya lantas menjadi bahan perdebatan favorit dikalangan Islam Kampus
tersebut. Padahal itu sesuatu yang telah dianggap sebagai ilmu yang semua orang
sudah tahu oleh anak anak Islam Kampung.
Anak anak Islam kampus ini begitu bersemangat dengan ilmu agama yang baru
mereka pelajari. Dan ilmu itu lantas diacungkan ke langit untuk mengkritik tradisi
beragama masyarakat Indonesia, terutama NU.
Anak orang NU luput memotret hal ini karena bagi mereka ilmu ilmu tersebut sangat dasar dan menganggap semua orang Islam pasti tahu. Padahal kenyataanya, anak anak Islam kampus tersebut sama sekali tak paham ilmu
ilmu dasar.
Ketika belajar dikampus, mereka langsung disuguhi wacana kritik tradisi untuk
membid'ahkan semua amaliyah orang lain yang tidak sejalan dengan pemikiran kaum puritan terutama Wahabi.

Meletakkan AlQuran Di Lantai HARAMKAH?






Meletakkan AlQuran Di Lantai HARAMKAH?
(Novel Bin Muhammad Alaydrus)
AlQuran adalah Kalamullah, maka setiap Mukmin wajib memuliakan Kalamullah. Allah Ta'ala mewahyukan:
Demikianlah (perintah Allah). dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, Maka Sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. (QS. Al-Hajj, 22:32)
Sesungguhnya Al-Quran Ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada Kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (QS. Al-Waqia'ah, 56:77-79)
Memuliakan dan mengagungkan Mushaf AlQuran merupakan salah satu bentuk pengagungan terhadap syiar-syiar Allah, dan sekaligus bukti keimanan dan ketakwaan seseorang. Oleh karena itu kita wajib memperlakukan Mushaf AlQuran dengan penuh adab, sopan santun yang tinggi. Dan hendaknya kita juga mendidik anak-anak kita agar tidak meletakkan AlQuran secara langsung di lantai tanpa alas apa pun yang mengangkatnya agak tinggi dari atas lantai.
Karena, barang siapa meletakkan Mushaf secara langsung di lantai dengan niat untuk menghinakannya, maka DIA MENJADI MURTAD DAN KUFUR, keluar dari Islam, semoga Allah melindungi kita semua dari perbuatan semacam ini.
Dan jika seseorang meletakkan Mushaf AlQuran di lantai secara langsung tanpa niat menghinakan AlQuran, kendati TIDAK MENJADI MURTAD, akan tetapi ia SANGAT TIDAK BERADAB KEPADA ALQURAN, telah memperlakukan Kitabullah dengan sangat buruk. (Diasarikan dari Fatwa Habib Umar bin Hafidz)
Syaikh Sulaiman bin Muhammad Al-Bujairimi dalamkitab Tuhfatul Habib menyatakan:
وَ يَحْرُمُ وَضْعُ الْمُصْحَفِ عَلَى اْلأَرْضِ بَلْ لاَ بُدَّ مِنْ رَفْعِهِ عُرْفاً وَلَوْ قَلِيْلاً
Haram hukumnya meletakkan mushaf di lantai, akan tetapi Mushaf tersebut harus diangkat, meskipun hanya sedikit.
Rasulullah saw tidak pernah meletakkan lembaran-lembaran Mushaf di lantai, bahkan ketika sejumlah Yahudi memberikan kepada beliau kitab Taurat, Rasulullah saw meletakkan Taurat tersebut di atas bantal

FUTUHUL GHAIB Risalah ke-55





FUTUHUL GHAIB Risalah ke-55
[Menyingkap Rahasia Ilahi]
Mutiara karya Syeikh Abdul Qodir Al-Jailany ra


Kesenangan hidup ini dibuang sebanyak tiga kali.
Pada mulanya, seorang hamba Allah berada dalam kegelapan kejahilannya dan dalam keadaan yang yang tidak tentu arah, ia bertindak sewenang-wenang dalam seluruh tindak-tanduk hidupnya dengan menuruti hawa nafsu kebinatangannya semata-mata, tanpa mau mengabdikan dirinya kepada Allah dan tanpa pegangan agama yang mengawal dirinya.

Dalam keadaan seperti ini, Allah melihatnya dengan penuh kasih sayang. Oleh karena itu, Allah mengutus seorang penasehat kepadanya dari orang-orang yang termasuk dalam golongannya yang juga seorang hamba Allah yang baik, dan satu penasehat lagi yang terdapat dalam dirinya sendiri.
Kemudian, kedua penasehat ini mempengaruhi dirinya. Sehingga, hamba itu dapat melihat cacad yang ada pada dirinya seperti mengikuti hawa nafsu saja dan tidak mengikuti yang haq (benar). Dengan demikian, ia cenderung untuk mengikuti peraturan-peraturan atau hukum-hukum Allah di dalam semua tindak-tanduknya.
Kemudian hamba itu menjadi seorang Muslim yang berdiri tegak di dalam hukum-hukum Allah, keluar dari keadaannya yang jahil dan meninggalkan hal-hal yang haram dan meragukan.
Hamba itu hanya mengambil perkara-perkara yang halal saja seperti makan, minum, bepergian, kawin dan lain sebagainya yang kesemuanya diperlukan untuk menjaga kesehatan dan kekuatan untuk patuh kepada Allah, asalkan ia menerima sepenuhnya apa yang diberikan Allah kepadanya dan tidak boleh melampaui batas serta tidak boleh keluar dari kehidupan dunia ini sebelum ia pergi mendapatkannya dan menyempurnakannya.
Maka berjalanlah ia di dalam hal-hal yang halal dalam seluruh keadaan hidupnya ini, sehingga ia mencapai peringkat kewalian (wilayah) dan masuk ke dalam golongan orang-orang yang membenarkan hakekat dan orang-orang pilihan Allah yang menghendaki berdampingan dengan Allah SWT.
Setelah itu, iapun hanya berjalan di dalam perintah Allah saja, dan di dalam dirinya ia mendengar firman Allah yang maksudnya kurang lebih, “Buanglah dirimu sendiri dan marilah ke mari; buanglah kelezatan dan kemewahan mahluk, jika kamu menghendaki Allah. Buanglah dunia dan akhirat serta kosongkanlah diri dari segala-galanya. Merasa senanglah dengan ke-Esa-an Allah. Buanglah syirik dan bersikap ikhlaslah. Kemudian, masuklah ke dalam majlis ke-Tuhan-an dan mendekatlah kepada-Nya dengan bersujud dan menghinakan diri serta tidak lagi mempedulikan hal-hal keduniaan dan keakhiratan, atau mahluk atau kemewahan hidup.”
Apabila ia telah sampai kepada peringkat ini dan telah teguh di dalamnya, maka ia akan menerima pakaian kemuliaan dan kehormatan dari Allah, dan Allah akan melimpahkan nur dan berbagai karunia.
Lalu dikatakan kepadanya, “Pergunakanlah rahmat dan nikmat-Ku, dan janganlah bersikap angkuh serta jangan pula membuang kehendak atau kemauan, karena menolak pemberian-Ku itu bisa memberatkan Aku dan memperkecil kekuasaan-Ku”.
Kemudian, iapun diberi pakaian yang mulia dan terhormat itu, tanpa ia sendiri memainkan peranan di dalam perkara tersebut. Sebelum itu, ia diselimuti oleh kemauan hawa nafsunya sendiri saja, lalu dikatakanlah kepadanya, “Selimutilah dirimu dengan rahmat dan karunia Allah.”
Jadi, bagi dia, ada empat peringkat di dalam mencapai kebahagiaan dan bagiannya.
Peringkat pertama, ialah kehendak hawa nafsu kebinatangan semata dan ini adalah diharamkan.
Peringkat kedua, ialah menuruti hukum dan undang-undang Allah, dan ini diperbolehkan.
Peringkat ketiga adalah peringkat-peringkat batin, dan ini adalah peringkat kewalian (wilayah) dan membuang hawa nafsu kebinatangan.
Peringkat keempat adalah peringkat keridhaan dan karunia Illahi, di sini lenyaplah kehendak dan maksud diri. Inilah peringkat Badaliyyat.
Hamba itu masuk ke dalam majlis ke-Tuhan-an Yang Maha Tinggi, ia berserah bulat kepada Allah dan menuruti perbuatan Allah semata-mata. Inilah peringkat di mana ia terus mendapatkan ilmu Allah dan mempunyai sifat-sifat yang baik.
Seorang hamba tidak boleh dikatakan benar dan baik, jika ia belum mencapai peringkat ini.
Ini sesuai dengan firman Allah yang maksudnya lebih kurang, “Sesungguhnya kawanku ialah Allah yang menurunkan Al Qur’an dan Dia menolong orang-orang yang baik.”
Oleh karena itu, hamba yang telah mencapai peringkat keempat ini tidak lagi mempergunakan apa-apa yang memberikan manfaat kepada dirinya dan tidak pula menghindarkan apa-apa yang memberikan mudharat kepada dirinya.
Ia seperti bayi di pangkuan ibunya atau seperti mayat di tangan orang-orang yang sedang memandikannya. Ia hanya bergantung kepada qadha’ dan qadar Allah semata-mata, tanpa memilih dan tanpa berusaha apa-apa.
Ia kembali kepada Allah untuk melakukan apa saja karena-Nya.
Ia tidak mempunyai apa-apa lagi. Kadang-kadang Allah memberinya kesusahan dan kadang-kadang memberinya kesenangan. Kadang-kadang ia kaya dan kadang-kadang ia miskin papa. Ia tidak mau memilih atau menginginkan suatu posisi atau pertukaran posisi. Sebaliknya, ia ridha dan senang hati kepada apa saja yang diperbuat Allah terhadapnya.
Inilah peringkat terakhir dalam pengembaraan kerohanian yang dicapai oleh para Abdal dan Aulia.
المقالة الخامسة والخمسون
فــي تــرك الـحــظــوظ
قـال رضـي الله تـعـالى عـنـه و أرضـاه : ترك الحظوظ ثلاث مرات: الأولى يكون العبد ماراً في عشواه متخبطاً فيه متصرفاً بطبعه في جميع أحواله من غير تعبد لربه و لازم في الشرع يرده و لا جده من جدود ينتهي إليه عن حكمه، فبينما هو على ذلك ينظر الله إليه يعنى يرحمه، فيبعث الله إليه واعظاً من خلقه من عباده الصالحين فينبهه، و يثنيه بواعظ من نفسه، فيتضافر الواعظان على نفسه و طبعه، فتعمل الموعظة عملها، فتبين عندها عيب ما هي فيه من ركوب مطية الطبع و المخافة فتميل إلى الشرع في جميع تصرفاتها فيصير العبد مسلماً قائماً مع الشرع فانياً عن الطبع، فيترك حرام الدنيا و شبهاتها و منن الخلق، فيأخذ مباح الحق عز و جل و حلال الشرع في مأكله و مشربه و ملبسه و منكحه و جميع ما لابد منه، لتحتفظ البنية و يتقوى على طاعة الرب عز و جل، و ليستوفى قسمه المقسوم له الذي لا يتجاوزه و لا سبيل إلى الخروج من الدنيا قبل تناوله و التلبس به و استيفائه فيسير على مطية المباح و الحلال في الشرع في جميع أحواله تنتهي به هذه المطية إلى عتبة الولاية و الدخول في زمرة المحققين و الخواص أهل العزيمة مريدي الحق، فيأكل بالأمر، فحينئذ يسمع نداء من قبل الحق عز و جل من باطنه: أترك نفسك و تعال، أترك الحظوظ و الخلق إن أردت الخالق، و أخلع نعليك، و دنياك و آخرتك، و تجرد عن الأكوان و الموجودات و ما سيوجد و الأماني بأسرها، و تعر عن الجميع وافن عن الكل و تطيب بالتوحيد و أترك الشرك و صدق الإرادة. ثم وطء البساط بالأدب مطرقاً، لا تنظر يميناً إلى الآخرة و لا شمالاً إلى الدنيا و لا إلى الخلق و لا إلى الحظوظ، فإذا دخل في هذا المقام، و تحقق الوصول جاءت الخلعة من قبل الحق عز و جل، و غشيته أنواع المعارف و العلوم و أنواع الفضل، فيقال له: تلبس بالنعم و الفضل و لا تسئ الأدب بالرد وترك التلبس، لأن رد نعم الملك افتئاتا على الملك و استخفافاً بحضرته و حينئذ يتلبس بالفضل و القسمة بالله من غير أن يكون هو فيه و من قبل كأن يتلبس بهواه و نفسه فله أربع حالات في تناول الحظوظ و الأقسام:
الأولى بالطبع هو الحرام. و الثانية بالشرع و هو المباح و الحلال. و الثالثة بالأمر و هي حالة الولاية و ترك الهوى. و الرابعة بالفضل و هي حالة زوال الإرادة و حصول البدلية و كونه مراداً قائماً مع القدر الذي هو فعل الحق و هي حالة العلم و الاتصاف بالصلاح، فلا يسمى صالحاً على الحقيقة إلا وصل إلى هذا المقام، و هو قوله تعالى:
إِنَّ وَلِيِّـيَ اللّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ الأعراف196. فهو العبد الذي كفت يده عن جلب مصالحه و منافعه و عن رد مضاره و مفاسده، كالرضيع مع الظئر، و الميت الغسيل مع الغاسل، فتتولى يد القدر تربيته من غير أن يكون له اختيار و تدبير، فان عن جميع ذلك لا حالاً و لا مقاماً و لا إرادة، بل القيام مع القدرة، تارة يبسط و تارة يغنى و تارة يفقر، و يختار و لا يتمنى زوال ذلك و تغيره، بل الرضى الدائم و الموافقة الأبدية، فهو آخر ما تنتهي أحوال الأولياء قدست أسرارهم.
و الله أعلم.