Tuesday, June 28, 2016

ISLAM DI KAMPUNG, ISLAM DI KAMPUS, KETEMU DI FACEBOOK






Sejak usia masih tujuh tahun, anak kampung diwajibkan pakai sarung setiap habis maghrib. Mereka diperintah berangkat ke musholla untuk belajar mengaji al Qur'an, Ilmu Tajwid, Fiqh dan Aqidah dasar. Dan ilmu ilmu ini menjadi ssangat akrab pada mereka. Begitu pula ketika nyantri, mereka perdalam ilmu agama yang dasar dasarnya sudah dipelajari sejak di kampung.
Maka wajar, ketika mereka kuliah, mereka tertarik dengan perbincangan yang lebih
menantang semacam Kritik Nalar Islam Mohammed Arkoun, Kiri Islam dari Hassan Hanafi, Formasi Nalar Arab dari Abed Al Jabiri, Filsafat Dekonstruksi dari Jaqcues Derrida, Kritik Sejarah ala Michael Foucault, dan lain lain.
Sementara di sisi lain, ada yang baru belajar ilmu agama di kampus melalui Roudhohan, daurohan, liqoan dsb yang digelar oleh kalangan Wahabi.
Bagi mereka, ilmu Tajwid, Ilmu Fiqh, Aqidah, menjadi ilmu yang mewah, karena baru mereka kenal.
Maka ketika berjumpa di Facebook dan sosial media lainnya, anak orang NU heran mengapa ilmu ilmu dasar seperti sifat dua puluh, lafadz Usholli, do'a qunut, dan sebagainya lantas menjadi bahan perdebatan favorit dikalangan Islam Kampus
tersebut. Padahal itu sesuatu yang telah dianggap sebagai ilmu yang semua orang
sudah tahu oleh anak anak Islam Kampung.
Anak anak Islam kampus ini begitu bersemangat dengan ilmu agama yang baru
mereka pelajari. Dan ilmu itu lantas diacungkan ke langit untuk mengkritik tradisi
beragama masyarakat Indonesia, terutama NU.
Anak orang NU luput memotret hal ini karena bagi mereka ilmu ilmu tersebut sangat dasar dan menganggap semua orang Islam pasti tahu. Padahal kenyataanya, anak anak Islam kampus tersebut sama sekali tak paham ilmu
ilmu dasar.
Ketika belajar dikampus, mereka langsung disuguhi wacana kritik tradisi untuk
membid'ahkan semua amaliyah orang lain yang tidak sejalan dengan pemikiran kaum puritan terutama Wahabi.

Meletakkan AlQuran Di Lantai HARAMKAH?






Meletakkan AlQuran Di Lantai HARAMKAH?
(Novel Bin Muhammad Alaydrus)
AlQuran adalah Kalamullah, maka setiap Mukmin wajib memuliakan Kalamullah. Allah Ta'ala mewahyukan:
Demikianlah (perintah Allah). dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, Maka Sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. (QS. Al-Hajj, 22:32)
Sesungguhnya Al-Quran Ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada Kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (QS. Al-Waqia'ah, 56:77-79)
Memuliakan dan mengagungkan Mushaf AlQuran merupakan salah satu bentuk pengagungan terhadap syiar-syiar Allah, dan sekaligus bukti keimanan dan ketakwaan seseorang. Oleh karena itu kita wajib memperlakukan Mushaf AlQuran dengan penuh adab, sopan santun yang tinggi. Dan hendaknya kita juga mendidik anak-anak kita agar tidak meletakkan AlQuran secara langsung di lantai tanpa alas apa pun yang mengangkatnya agak tinggi dari atas lantai.
Karena, barang siapa meletakkan Mushaf secara langsung di lantai dengan niat untuk menghinakannya, maka DIA MENJADI MURTAD DAN KUFUR, keluar dari Islam, semoga Allah melindungi kita semua dari perbuatan semacam ini.
Dan jika seseorang meletakkan Mushaf AlQuran di lantai secara langsung tanpa niat menghinakan AlQuran, kendati TIDAK MENJADI MURTAD, akan tetapi ia SANGAT TIDAK BERADAB KEPADA ALQURAN, telah memperlakukan Kitabullah dengan sangat buruk. (Diasarikan dari Fatwa Habib Umar bin Hafidz)
Syaikh Sulaiman bin Muhammad Al-Bujairimi dalamkitab Tuhfatul Habib menyatakan:
وَ يَحْرُمُ وَضْعُ الْمُصْحَفِ عَلَى اْلأَرْضِ بَلْ لاَ بُدَّ مِنْ رَفْعِهِ عُرْفاً وَلَوْ قَلِيْلاً
Haram hukumnya meletakkan mushaf di lantai, akan tetapi Mushaf tersebut harus diangkat, meskipun hanya sedikit.
Rasulullah saw tidak pernah meletakkan lembaran-lembaran Mushaf di lantai, bahkan ketika sejumlah Yahudi memberikan kepada beliau kitab Taurat, Rasulullah saw meletakkan Taurat tersebut di atas bantal

FUTUHUL GHAIB Risalah ke-55





FUTUHUL GHAIB Risalah ke-55
[Menyingkap Rahasia Ilahi]
Mutiara karya Syeikh Abdul Qodir Al-Jailany ra


Kesenangan hidup ini dibuang sebanyak tiga kali.
Pada mulanya, seorang hamba Allah berada dalam kegelapan kejahilannya dan dalam keadaan yang yang tidak tentu arah, ia bertindak sewenang-wenang dalam seluruh tindak-tanduk hidupnya dengan menuruti hawa nafsu kebinatangannya semata-mata, tanpa mau mengabdikan dirinya kepada Allah dan tanpa pegangan agama yang mengawal dirinya.

Dalam keadaan seperti ini, Allah melihatnya dengan penuh kasih sayang. Oleh karena itu, Allah mengutus seorang penasehat kepadanya dari orang-orang yang termasuk dalam golongannya yang juga seorang hamba Allah yang baik, dan satu penasehat lagi yang terdapat dalam dirinya sendiri.
Kemudian, kedua penasehat ini mempengaruhi dirinya. Sehingga, hamba itu dapat melihat cacad yang ada pada dirinya seperti mengikuti hawa nafsu saja dan tidak mengikuti yang haq (benar). Dengan demikian, ia cenderung untuk mengikuti peraturan-peraturan atau hukum-hukum Allah di dalam semua tindak-tanduknya.
Kemudian hamba itu menjadi seorang Muslim yang berdiri tegak di dalam hukum-hukum Allah, keluar dari keadaannya yang jahil dan meninggalkan hal-hal yang haram dan meragukan.
Hamba itu hanya mengambil perkara-perkara yang halal saja seperti makan, minum, bepergian, kawin dan lain sebagainya yang kesemuanya diperlukan untuk menjaga kesehatan dan kekuatan untuk patuh kepada Allah, asalkan ia menerima sepenuhnya apa yang diberikan Allah kepadanya dan tidak boleh melampaui batas serta tidak boleh keluar dari kehidupan dunia ini sebelum ia pergi mendapatkannya dan menyempurnakannya.
Maka berjalanlah ia di dalam hal-hal yang halal dalam seluruh keadaan hidupnya ini, sehingga ia mencapai peringkat kewalian (wilayah) dan masuk ke dalam golongan orang-orang yang membenarkan hakekat dan orang-orang pilihan Allah yang menghendaki berdampingan dengan Allah SWT.
Setelah itu, iapun hanya berjalan di dalam perintah Allah saja, dan di dalam dirinya ia mendengar firman Allah yang maksudnya kurang lebih, “Buanglah dirimu sendiri dan marilah ke mari; buanglah kelezatan dan kemewahan mahluk, jika kamu menghendaki Allah. Buanglah dunia dan akhirat serta kosongkanlah diri dari segala-galanya. Merasa senanglah dengan ke-Esa-an Allah. Buanglah syirik dan bersikap ikhlaslah. Kemudian, masuklah ke dalam majlis ke-Tuhan-an dan mendekatlah kepada-Nya dengan bersujud dan menghinakan diri serta tidak lagi mempedulikan hal-hal keduniaan dan keakhiratan, atau mahluk atau kemewahan hidup.”
Apabila ia telah sampai kepada peringkat ini dan telah teguh di dalamnya, maka ia akan menerima pakaian kemuliaan dan kehormatan dari Allah, dan Allah akan melimpahkan nur dan berbagai karunia.
Lalu dikatakan kepadanya, “Pergunakanlah rahmat dan nikmat-Ku, dan janganlah bersikap angkuh serta jangan pula membuang kehendak atau kemauan, karena menolak pemberian-Ku itu bisa memberatkan Aku dan memperkecil kekuasaan-Ku”.
Kemudian, iapun diberi pakaian yang mulia dan terhormat itu, tanpa ia sendiri memainkan peranan di dalam perkara tersebut. Sebelum itu, ia diselimuti oleh kemauan hawa nafsunya sendiri saja, lalu dikatakanlah kepadanya, “Selimutilah dirimu dengan rahmat dan karunia Allah.”
Jadi, bagi dia, ada empat peringkat di dalam mencapai kebahagiaan dan bagiannya.
Peringkat pertama, ialah kehendak hawa nafsu kebinatangan semata dan ini adalah diharamkan.
Peringkat kedua, ialah menuruti hukum dan undang-undang Allah, dan ini diperbolehkan.
Peringkat ketiga adalah peringkat-peringkat batin, dan ini adalah peringkat kewalian (wilayah) dan membuang hawa nafsu kebinatangan.
Peringkat keempat adalah peringkat keridhaan dan karunia Illahi, di sini lenyaplah kehendak dan maksud diri. Inilah peringkat Badaliyyat.
Hamba itu masuk ke dalam majlis ke-Tuhan-an Yang Maha Tinggi, ia berserah bulat kepada Allah dan menuruti perbuatan Allah semata-mata. Inilah peringkat di mana ia terus mendapatkan ilmu Allah dan mempunyai sifat-sifat yang baik.
Seorang hamba tidak boleh dikatakan benar dan baik, jika ia belum mencapai peringkat ini.
Ini sesuai dengan firman Allah yang maksudnya lebih kurang, “Sesungguhnya kawanku ialah Allah yang menurunkan Al Qur’an dan Dia menolong orang-orang yang baik.”
Oleh karena itu, hamba yang telah mencapai peringkat keempat ini tidak lagi mempergunakan apa-apa yang memberikan manfaat kepada dirinya dan tidak pula menghindarkan apa-apa yang memberikan mudharat kepada dirinya.
Ia seperti bayi di pangkuan ibunya atau seperti mayat di tangan orang-orang yang sedang memandikannya. Ia hanya bergantung kepada qadha’ dan qadar Allah semata-mata, tanpa memilih dan tanpa berusaha apa-apa.
Ia kembali kepada Allah untuk melakukan apa saja karena-Nya.
Ia tidak mempunyai apa-apa lagi. Kadang-kadang Allah memberinya kesusahan dan kadang-kadang memberinya kesenangan. Kadang-kadang ia kaya dan kadang-kadang ia miskin papa. Ia tidak mau memilih atau menginginkan suatu posisi atau pertukaran posisi. Sebaliknya, ia ridha dan senang hati kepada apa saja yang diperbuat Allah terhadapnya.
Inilah peringkat terakhir dalam pengembaraan kerohanian yang dicapai oleh para Abdal dan Aulia.
المقالة الخامسة والخمسون
فــي تــرك الـحــظــوظ
قـال رضـي الله تـعـالى عـنـه و أرضـاه : ترك الحظوظ ثلاث مرات: الأولى يكون العبد ماراً في عشواه متخبطاً فيه متصرفاً بطبعه في جميع أحواله من غير تعبد لربه و لازم في الشرع يرده و لا جده من جدود ينتهي إليه عن حكمه، فبينما هو على ذلك ينظر الله إليه يعنى يرحمه، فيبعث الله إليه واعظاً من خلقه من عباده الصالحين فينبهه، و يثنيه بواعظ من نفسه، فيتضافر الواعظان على نفسه و طبعه، فتعمل الموعظة عملها، فتبين عندها عيب ما هي فيه من ركوب مطية الطبع و المخافة فتميل إلى الشرع في جميع تصرفاتها فيصير العبد مسلماً قائماً مع الشرع فانياً عن الطبع، فيترك حرام الدنيا و شبهاتها و منن الخلق، فيأخذ مباح الحق عز و جل و حلال الشرع في مأكله و مشربه و ملبسه و منكحه و جميع ما لابد منه، لتحتفظ البنية و يتقوى على طاعة الرب عز و جل، و ليستوفى قسمه المقسوم له الذي لا يتجاوزه و لا سبيل إلى الخروج من الدنيا قبل تناوله و التلبس به و استيفائه فيسير على مطية المباح و الحلال في الشرع في جميع أحواله تنتهي به هذه المطية إلى عتبة الولاية و الدخول في زمرة المحققين و الخواص أهل العزيمة مريدي الحق، فيأكل بالأمر، فحينئذ يسمع نداء من قبل الحق عز و جل من باطنه: أترك نفسك و تعال، أترك الحظوظ و الخلق إن أردت الخالق، و أخلع نعليك، و دنياك و آخرتك، و تجرد عن الأكوان و الموجودات و ما سيوجد و الأماني بأسرها، و تعر عن الجميع وافن عن الكل و تطيب بالتوحيد و أترك الشرك و صدق الإرادة. ثم وطء البساط بالأدب مطرقاً، لا تنظر يميناً إلى الآخرة و لا شمالاً إلى الدنيا و لا إلى الخلق و لا إلى الحظوظ، فإذا دخل في هذا المقام، و تحقق الوصول جاءت الخلعة من قبل الحق عز و جل، و غشيته أنواع المعارف و العلوم و أنواع الفضل، فيقال له: تلبس بالنعم و الفضل و لا تسئ الأدب بالرد وترك التلبس، لأن رد نعم الملك افتئاتا على الملك و استخفافاً بحضرته و حينئذ يتلبس بالفضل و القسمة بالله من غير أن يكون هو فيه و من قبل كأن يتلبس بهواه و نفسه فله أربع حالات في تناول الحظوظ و الأقسام:
الأولى بالطبع هو الحرام. و الثانية بالشرع و هو المباح و الحلال. و الثالثة بالأمر و هي حالة الولاية و ترك الهوى. و الرابعة بالفضل و هي حالة زوال الإرادة و حصول البدلية و كونه مراداً قائماً مع القدر الذي هو فعل الحق و هي حالة العلم و الاتصاف بالصلاح، فلا يسمى صالحاً على الحقيقة إلا وصل إلى هذا المقام، و هو قوله تعالى:
إِنَّ وَلِيِّـيَ اللّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ الأعراف196. فهو العبد الذي كفت يده عن جلب مصالحه و منافعه و عن رد مضاره و مفاسده، كالرضيع مع الظئر، و الميت الغسيل مع الغاسل، فتتولى يد القدر تربيته من غير أن يكون له اختيار و تدبير، فان عن جميع ذلك لا حالاً و لا مقاماً و لا إرادة، بل القيام مع القدرة، تارة يبسط و تارة يغنى و تارة يفقر، و يختار و لا يتمنى زوال ذلك و تغيره، بل الرضى الدائم و الموافقة الأبدية، فهو آخر ما تنتهي أحوال الأولياء قدست أسرارهم.
و الله أعلم.

Kisah Nyata : Mbah Moen Rembang





Dawuhe yai :
"Nggolek bojo kui nek iso seng ngerti ngaji kitab,ojo seng apal alqur.an didisekke"
Perempuan yang pernah ngaji kitab, itu tau unggah ungguh kepada suami carane ngormati bojone piye..
Dan tidak semua orang hafal alquran (hafidhoh) itu solekhah bahkan sebaliknya..
na'udzubillah..
ada cerita seorang santri sowan mbah yai, dan dia pengen pamitan boyong untuk menikah. dia di tangkleti yai ;
"Calon bojomu apal qur.an po ngaji kitab?"
Dia jawab: "ngapalaken qur an yai"
Mbah yai : "nggolek'o seng ngaji kitab!!!." ( dengan nada tegas)
Langsung kang santri tersebut nggolek seng ngaji kitab...
Dawuh Mbah Maemun
" alamat ilmu iku entek nek wong seng apal quran mek gawe sima'an karo deresan thok".
*****
Menanggapi hal itu, itu sebenarnya adalah kurang pahamnya memahami dawuh.
Dawuh yang semestinya dan saya terjemahkan dengan bahasa indonesia dan dengan bahasa saya adalah:
Termasuk tanda dari akhir zaman adalah banyaknya orang yang menghafal Al-Qur'an. Ini diisyaratkan dengan kata Tsumma (ثم) yang berarti kemudian. Kata ثم dalam ilmu nahwu mempunyai faidah: للترتيب والتراخي tartib dan tarokhi (ada waktu senjang yang lumayan lama).
ثم أورثنا الكتاب الذين اصطفينا من عبادنا....
Kemudian Kami Waristkan Kitab ini kepada orang-orang yang Kami Pilih dari hamba-hamba-KAMI.
Akan tetapi sebagian dari orang yang menghafal itu ada yang dlolim kepada diri sendiri, sehingga Al-Quran bukan dijadikan sebagai imam, tetapi hanya sebagai bacaan dan bahan sima'an saja, sedangkan Kita diajarkan untuk menjadikan Al-Qur'an sebagai Imam dan petunjuk. Seperti dalam bacaan berikut:
رضيت بالله ربا وبالإسلام دينا وبمحمد نبيا ورسولا وبالقرآن إماما ودليلا.
Walaupun dlolim, tetapi tidak boleh diejek, karena mereka pasti hamba pilihan (الذين اصطفينا من عبادنا), sehingga Alloh akan memasukkan surga orang-orang yang mewarisi kitab Al-Qur'an baik itu golongan:
فمنهم ظالم لنفسه
ومنهم مقتصد
ومنهم سابق بالخيرات بإذن الله
* ada yang menganiaya diri mereka sendiri
* diantara mereka ada yang pertengahan
* diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah.
Bisa mewarisi kitab merupakan fadl dari ALLOH:
ذلك هو الفضل الكبير.
Dan bagaimana pun golongan itu, dijamin ALLOH Masuk surga
جنة عدن يدخلونها....
Tetapi di akhir zaman banyak orang terkena penyakit setruk sehingga hapalannya menjadi hilang, sehingga tidak menjadi hamba pilihan lagi.
***
Untuk yang mengatakan bahwa Yai mengatakan: kowe golek bojo pinter kitab iku luweh apek katimbang sing apal qur'an.
Yang dimaksud adalah wanita yang hanya hafal Al-Qur'an tanpa tahu hukum agama.
***
Ada juga sebagian yang diwejangi seperti itu, karena beratnya menjaga Hapalan itu, dan santri yang akan menikah itu kurang mampu secara ekonomi, sehingga dikhawatirkan akan lupa dengan hapalannya karena membantu mencari nafkah sang suami.
***
Beliau juga mengatakan: Mencari Ilmu agama itu fardlu ain, sedangkan menghafal Al-Qur'an itu fardlu kifayah.
Fardlu ain dengan dasar:
طلب العلم فريضة على كل مسلم.
Sedangkan fardlu kifayah karena diantara sahabat yang banyak, hanya 6 yang hafal al-qur'an secara menyeluruh.
****

Kisah Nyata : Mbah Moen Rembang





Dawuhe yai :
"Nggolek bojo kui nek iso seng ngerti ngaji kitab,ojo seng apal alqur.an didisekke"
Perempuan yang pernah ngaji kitab, itu tau unggah ungguh kepada suami carane ngormati bojone piye..
Dan tidak semua orang hafal alquran (hafidhoh) itu solekhah bahkan sebaliknya..
na'udzubillah..
ada cerita seorang santri sowan mbah yai, dan dia pengen pamitan boyong untuk menikah. dia di tangkleti yai ;
"Calon bojomu apal qur.an po ngaji kitab?"
Dia jawab: "ngapalaken qur an yai"
Mbah yai : "nggolek'o seng ngaji kitab!!!." ( dengan nada tegas)
Langsung kang santri tersebut nggolek seng ngaji kitab...
Dawuh Mbah Maemun
" alamat ilmu iku entek nek wong seng apal quran mek gawe sima'an karo deresan thok".
*****
Menanggapi hal itu, itu sebenarnya adalah kurang pahamnya memahami dawuh.
Dawuh yang semestinya dan saya terjemahkan dengan bahasa indonesia dan dengan bahasa saya adalah:
Termasuk tanda dari akhir zaman adalah banyaknya orang yang menghafal Al-Qur'an. Ini diisyaratkan dengan kata Tsumma (ثم) yang berarti kemudian. Kata ثم dalam ilmu nahwu mempunyai faidah: للترتيب والتراخي tartib dan tarokhi (ada waktu senjang yang lumayan lama).
ثم أورثنا الكتاب الذين اصطفينا من عبادنا....
Kemudian Kami Waristkan Kitab ini kepada orang-orang yang Kami Pilih dari hamba-hamba-KAMI.
Akan tetapi sebagian dari orang yang menghafal itu ada yang dlolim kepada diri sendiri, sehingga Al-Quran bukan dijadikan sebagai imam, tetapi hanya sebagai bacaan dan bahan sima'an saja, sedangkan Kita diajarkan untuk menjadikan Al-Qur'an sebagai Imam dan petunjuk. Seperti dalam bacaan berikut:
رضيت بالله ربا وبالإسلام دينا وبمحمد نبيا ورسولا وبالقرآن إماما ودليلا.
Walaupun dlolim, tetapi tidak boleh diejek, karena mereka pasti hamba pilihan (الذين اصطفينا من عبادنا), sehingga Alloh akan memasukkan surga orang-orang yang mewarisi kitab Al-Qur'an baik itu golongan:
فمنهم ظالم لنفسه
ومنهم مقتصد
ومنهم سابق بالخيرات بإذن الله
* ada yang menganiaya diri mereka sendiri
* diantara mereka ada yang pertengahan
* diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah.
Bisa mewarisi kitab merupakan fadl dari ALLOH:
ذلك هو الفضل الكبير.
Dan bagaimana pun golongan itu, dijamin ALLOH Masuk surga
جنة عدن يدخلونها....
Tetapi di akhir zaman banyak orang terkena penyakit setruk sehingga hapalannya menjadi hilang, sehingga tidak menjadi hamba pilihan lagi.
***
Untuk yang mengatakan bahwa Yai mengatakan: kowe golek bojo pinter kitab iku luweh apek katimbang sing apal qur'an.
Yang dimaksud adalah wanita yang hanya hafal Al-Qur'an tanpa tahu hukum agama.
***
Ada juga sebagian yang diwejangi seperti itu, karena beratnya menjaga Hapalan itu, dan santri yang akan menikah itu kurang mampu secara ekonomi, sehingga dikhawatirkan akan lupa dengan hapalannya karena membantu mencari nafkah sang suami.
***
Beliau juga mengatakan: Mencari Ilmu agama itu fardlu ain, sedangkan menghafal Al-Qur'an itu fardlu kifayah.
Fardlu ain dengan dasar:
طلب العلم فريضة على كل مسلم.
Sedangkan fardlu kifayah karena diantara sahabat yang banyak, hanya 6 yang hafal al-qur'an secara menyeluruh.
****

Saturday, June 25, 2016

Ketika Habib Luthfi di tanya tentang keistimewaan ziarah kubur


 


Saya pernah ditanya:
“Bib, keistimewaannya ziarah walisongo apa?”,
saya jawab: “Isin!”
Jawaban saya masih dikejar:
“Lho, bukannya istimewanya ada pada berkah”.

“Bukan. Terlalu tinggi itu buat saya.”
Tandas saya. Anda lihat, Sunan Ampel misalnya, sudah berapa ratus orang yang berdzikir di makam beliau tiap hari?
Makam Sunan Kalijaga, berapa ratus orang yang sudah menyebut nama Allah di sana tiap malam?
Sunan Muria, sudah berapa ribu orang yang membaca Qur'an dan membaca shalawat di sana (Muria)?
Saya sendiri saja masih susah mengajak anak-anak sehabis maghrib untuk berkumpul dan memperkenalkan ajdad (leluhur), berdoa, berdzikir, dan membaca Quran.
Bagaimana bisa seramai di makam para auliya` Allah Walisongo?
Padahal mereka sudah wafat ratusan tahun yang lalu, dan saya masih hidup.
Berziarah, selain melahirkan budaya malu seperti tadi, seharusnya berfungsi memperkenalkan siapa yang ada di makam tersebut kepada anak-anak kita. Seharusnya bukan Walisongo saja, tapi perkenalkan juga siapa Kiai Sentot Prawirodirjo, siapa Kiai Diponegoro, siapa Jenderal Sudirman, karena kita semakin lupa dengan para pahlawan negeri ini. Lihatlah bendera kita, merah putih, ia berdiri tegak bukan secara gratis! Ada darah dan nyawa para pahlawan yang harus dibayar untuk “membeli” bendera itu.
Coba kita kenalkan para pahwalan itu setiap habis maghrib.
Ibarat kita sudah merdeka ini, seperti ada hidangan di meja di depan kita dan kita tinggal melahapnya saja. Tapi bukannya melahap, eh malah sibuk ribut sendiri, saling sikut, mau diadu domba.
Makam Sunan Ampel saja, yang sudah wafat ratusan lalu, masih sanggup mempersatukan masyarakat sekarang yang masih hidup.
Pintu makam selalu dibuka, semua orang dapat menziarahi, apapun warna kulitnya, apapun partainya, dan di kanan-kiri banyak orang berjualan, pendapatan mereka bertambah, ada pekerjaan yang dapat menyambung hidup mereka. Muka kita mau ditaruh dimana, wong orang yang sudah mati saja masih bisa begini, tapi kita yang masih hidup tidak bisa apa-apa.
Haul Agung Sunan Ampel.
Sumber FB:
Habib Muhammad Luthfi bin Yahya

Pembayaran Fidyah Sebulan dan Memberikannya kepada Satu Orang


Pertanyaan:
1. Bolehkah memberikan fidyah puasa Ramadhan kepada fakir miskin dibayar sekaligus satu bulan?
2. Bolehkah semuanya diberikan kepada satu orang fakir/miskin saja?
FN Hafidz, Blitar
Jawaban:
1. Pembayaran fidyah boleh dilakukan secara sepaket satu bulan (beberapa fidyah masing-masing hari dikumpulkan di akhir), asalkan tidak mendahului puasa yang difidyahinya. Sebab kewajiban pembayaran fidyah bersifat tarakhi (tidak harus segera dilakukan).
2. Fidyah puasa Ramadhan juga boleh diberikan kepada satu orang saja. Sebab, fidyah masing-masing hari bersifat terpisah dengan selainnya, sebagaimana masing-masing puasa yang diganti dengannya.
Referensi:
شرح المحلي وحاشية قليوبي، ٢/ ٨٦:
(وَالْأَظْهَرُ وُجُوبُ الْمُدِّ) لِكُلِّ يَوْمٍ. (عَلَى مَنْ أَفْطَرَ) فِي رَمَضَانَ. (لِلْكِبَرِ) بِأَنْ لَمْ يُطِقْ الصَّوْمَ وَكَذَا مَنْ لَا يُطِيقُهُ لِمَرَضٍ لَا يُرْجَى بُرْؤُهُ. قَالَ تَعَالَى: {وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ} [البقرة: ١٨٤] الْمُرَادُ لَا يُطِيقُونَهُ
قَوْلُهُ: (وُجُوبُ الْمُدِّ) أَيْ لَا عَلَى الْفَوْرِ كَمَا قَالَ إلَيْهِ شَيْخُنَا ...
قَوْلُهُ: (لِكُلِّ يَوْمٍ) وَلَهُ إخْرَاجُهُ مِنْ أَوَّلِ لَيْلَتِهِ وَلَا يَصِحُّ الْإِخْرَاجُ عَنْ الْمُسْتَقْبَلِ.
شرح المحلي وحاشية قليوبي، ٢/ ٨٨:
(وَمَصْرِفُ الْفِدْيَةِ الْفُقَرَاءُ وَالْمَسَاكِينُ) خَاصَّةً لِأَنَّ الْمِسْكِينَ ذُكِرَ فِي الْآيَةِ وَالْحَدِيثِ وَالْفَقِيرُ أَسْوَأُ حَالًا مِنْهُ. (وَلَهُ صَرْفُ أَمْدَادٍ) مِنْهَا (إلَى شَخْصٍ وَاحِدٍ) وَلَا يَجُوزُ صَرْفُ مُدٍّ مِنْهَا إلَى شَخْصَيْنِ.
قَوْلُهُ: (وَلَهُ صَرْفُ أَمْدَادٍ إلَخْ) وَذَلِكَ لِأَنَّ الْأَمْدَادَ بَدَلٌ عَنْ أَيَّامِ الصَّوْمِ وَهُوَ يَصِحُّ فِيهِ أَنْ يَصُومَ الْوَاحِدُ أَيَّامًا مُتَعَدِّدَةً عَنْ الْمُكَفِّرِ بَعْدَ مَوْتِهِ عَلَى الْقَدِيمِ الرَّاجِحِ وَفِي حَيَاتِهِ لَوْ قِيلَ بِهِ وَبِذَلِكَ فَارَقَ الزَّكَاةَ وَلَيْسَتْ الْأَمْدَادُ فِي الْحَيِّ فِي الْكَفَّارَةِ بَدَلًا عَنْ الْأَيَّامِ لِأَنَّهَا خَصْلَةٌ مُسْتَقِلَّةٌ فَلَمْ يَجْرِ فِيهَا مَا ذُكِرَ فَتَأَمَّلْ هَذَا، فَإِنَّهُ يُغْنِيك عَمَّا أَطَالُوا بِهِ هُنَا فِي الْجَوَابِ مِمَّا لَا يُجْدِي نَفْعًا. قَوْلُهُ: (وَلَا يَجُوزُ صَرْفُ مُدْمِنِهَا إلَى شَخْصَيْنِ) وَكَذَا لَا يَجُوزُ صَرْفُ ثَلَاثَةِ أَمْدَادٍ إلَى شَخْصَيْنِ لِأَنَّ كُلَّ مُدٍّ بَدَلُ صَوْمِ يَوْمٍ وَهُوَ لَا يَتَبَعَّضُ، وَلَا يُتَصَوَّرُ هُنَا وُجُوبُ بَعْضِ مُدٍّ. وَبِذَلِكَ فَارَقَ فِدْيَةَ نَحْوِ الْأَذَى فِي الْحَجِّ.