Monday, December 5, 2016
Kisah Syekh Ahmad Tijani ra
Kisah Syekh Ahmad Tijani ra dikunjungi 60 Raja Wali Alloh/Arif Billah/ 300 Raja-raja Jin Islam.
وقال رضى الله عنه إن مقامنا عندالله فى الآخرة لايصله أحدٌ من الأولياء ⚝ وأنّ جميع الأولياء من عصر الصـحابة إلى النفخ فى الصور ليس فيـهم من يصل مقامنا ولا يقاربه ⚝ وقال رضى الله عنه : روحـه صلى الله عليه وسلم وروحي هكذا ⚝ مشيرًا بأصبعيه السبابة والوسطى ⚝ روحـه تمدّ الرسل والأنبياء عليـهم الصلاة والسلام وروحي تمدّ الأقطاب والأولياء والصالحين من الأزل إلى الأبد ⚝ وكل الشيوخ أخذوا عنّى فى الغيب ⚝ وأنّ حميع الأولياء يدخلون زمرتنا ويأْخذون أورادنا ويتـمسّكون بـطريقتنا من أوّل الوجود إلى يوم القيامة
dan Beliau berkata (Syeikh Ahmad Tijany) sesungguhnya kedudukan kami disisi Allah pada hari kiamat tidak ada dari para wali yang memperolehnya . dan sesungguhnya para wali dari masa sahabat sampai di tiupnya sangsakala tidak ada yang sampai pada kedudukan kami dan tidak pula mendekatinya . Beliaupun berkata (Syeikh Ahmad Tijani) :" Jiwa Rosulullah SAW dan Jiwaku seperti ini" . sambil mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah . "Jiwanya memberikan Bantuan pada para Rosul dan Nabi (semoga Allah melimpahkan keselamatan atas mereka semua) sedangkan jiwaku memberi bantuan pada para Quthb, Wali, Sholih, dari zaman azal sampai hari selamanya . setiap Syeikh Thoriqoh mengambil dariku pada zaman Ghoib . dan sesungguhnya para wali masuk dalam golongan kami dan mengambil wirid kami serta berpegangan dengan Thoriqoh kami dari permulaan wujud hingga hari kiamat .
kisahkan sebuah peristiwa ketika Syaikh Ahmad Tijani dikunjungi oleh 300 raja-raja Jin Islam dan 60 raja-raja waliyullah. 300 raja2 jin tersebut mengutarakan keinginan mereka untuk diangkat menjadi murid dari Sayyidi Syaikh. Tetapi Sayyidi Syaikh menjawab bahwa beliau ditugaskan hanya untuk kalangan bangsa manusia. Maka semua raja jin tersebut memohon agar diizinkan mengkhodam / menghamba kepada beliau. Dan beliaupun mengizinkan dengan syarat bahwa para raja jin tsb juga harus mengkhidmat/mengkhodam kepada syaikh/guru yang ditunjuk oleh beliau ra beserta para murid-muridnya. Tentunya yang dimaksud adalah syaikh/guru yang BENAR dan SAH secara ruhaniah. Demikian pula dengan 60 raja2 waliyullah, yang dipimpin oleh Sesepuh Wali Quthub : Syekh Abu Hasan Syadzili, Syekh Ibnu Arabi dan Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani, memohon kepada Sayyidi Syaikh Ahmad Tijani agar diizinkan untuk berguru (alias diangkat sebagai murid) kepada beliau ra. Dan Sayyidi Syaikh pun berkata bahwa bagaimana sekalian berguru kepadaku sementara derajat kalian adalah raja wali Allah. mereka menjawab bahwa kami hanya mengayomi dan mendidik orang-orang yang masih hidup. Sidi Syekh berkata : kalian aku angkat sebagai murid dengan syarat kalian mengkhidmat/mengkhodam kepada syaikh/guru yang ditunjuk oleh beliau ra berserta para murid-murid tijani.
Wednesday, November 30, 2016
MEMBELA HABAIB DAN NU
MEMBELA HABAIB DAN NU (NAHDLATUL ULAMA)
Oleh: KH. Muhajir Madad Salim
A. Membela Habaib
Di sebuah dusun kecil, serombongan habaib muda ('alaihimussalam) sowan kepada seorang kiai sepuh. Dengan nada penuh kegelisahan cucu-cucu Baginda Nabi Saw. yang dimuliakan Tuhan itu berkata, "Kiai, bagaimana NU ini? Semuanya pada berangkat ke jakarta NU malah menahan diri. Malah kabarnya akan kirim Banser untuk Demo tandingan?"
Sesudah menghela nafasnya yang dalam Kiai menjawab, "Yiiik...", begitu biasanya beliau memanggil mereka. 'Antum di dusun ini jangan sekali-kali merendahkan NU nggih? Karena di dusun ini hanya orang-orang NU saja yang mau bershalawat kepada Kanjeng Nabi beserta Ahli Baitnya. Kalau antum memusuhi mereka, saya takut di dusun ini tidak akan ada lagi ada ummat Islam yang bershalawat untuk antum para Ahlul Bait."
Sebuah jawaban tidak terduga, yang sontak membuat para saadah muda itu tertegun. Bahkan tertegun cukup lama .
Kiai meneruskan, "Orang-orang dusun sini, adalah orang-orang awam yang tidak mengerti membalas kebaikan para Ahlul Bait kecuali dengan cara bershalawat untuk mereka. Janganlah antum berbuat sesuatu yang menyebabkan mereka meninggalkan satu-satunya kebaikan yang mereka punya!"
Sebuah kisah nyata, dari sebuah perkampungan kecil yang jauh dari hiruk-pikuk kita sekalian selama ini. Tetapi begitu mendengar kisah tersebut, saya berfikir ada banyak kata-kata yang mesti diungkapkan untuk dapat tetap "Mbelani NU" dan sekaligus tetap "Memuliakan Habaib".
Ketua Umum PBNU Kiai Said Aqil Siraj menyatakan bahwa memuliakan para habaib itu bagi kaum Nahdliyin adalah sebuah keyakinan agama mereka. Tetapi jauh sebelum Kiai Said berkata seperti itu, salah satu ulama kebanggaan kaum Nahdliyin yang merupakann mahaguru para kiai Jawa yang mayoritas kaum Nahdliyin banyak berhutang ilmu kepada beliau, yakni Syaikhul Haramain Syaikh Nawawi Banten, berkata dalam kitab kecil beliau Qami’ ath-Thughyan: “ …bahwa patut bagi setiap Muslim untuk berkeyakinan apa yang dilakukan oleh para Ahli Bait, Allah telah menganpuni mereka. Tidak boleh bagi kita merendahkan seseorang, terlebih merendahkan para Ahli Bait."
Mari berbicara tentang kemuliaan. Kemuliaan derajat seorang Muslim itu bisa disebabkan oleh banyak hal. Yang paling mudah menyebutkannya adalah kemuliaan karena "ketaqwaan". Jika seorang Muslim hidupnya penuh dengan ketaqwaan, maka dia akan mulia disisi Allah Ta’ala.
Selain ketaqwaan, ada juga sebab yang lainnya yaitu "kedekatan". Maksud kedekatan ini adalah kedekatan Muhammadiyyah. Seorang Muslim jika mempunyai kedekatan dengan Baginda Nabi Saw., maka dia akan mulia disisi Allah dibanding yang tidak.
Para sahabat Rasulullah Saw. memperoleh kemuliaan itu karena sebab ini. Mereka hidup sebagai sahabat Nabi, hidup bersama Nabi, ada dalam satu zaman dengan Nabi. Maka dikatakan: "Sebaik-baiknya tabi’in (setaqwa-taqwanya para tabi’in) tidak akan dapat mengungguli kemuliaan dari serendah-rendahnya seorang sahabat Nabi." Sebaik-baiknya tabi’in itu contohnya seperti Sayyidina Said bin Musayyib, Sayyidina Umar bin Abdul Aziz, Sayyidina Hasan al-Bashri, Sayyidina Abi Hanifah dan masih banyak yang lain. Mereka semua tingkat ketaqwaannya sudah sebegitu tingginya setaraf “Dewa”. Tetapi di sisi Allah mereka tidak mampu mengungguli kemuliaan golongan terendah dari para sahabat seperti Sayyidina Wahsyi.
Sayyidina Wahsyi ini sahabat Nabi Saw. Tetapi beliau adalah shahabiy yang tingkat ketaqwaannya ada pada level terendahnya. Selain ada “bayang-bayang” kelam dirinya yang sebelum Islam telah membunuh Sayyidina Hamzah, seorang paman yang sangat dicintai Baginda Nabi, beliau Sayyidina Wahsyi ini selama hidupnya tenggelam dalam pengaruh buruk alkohol. Bahkan beliau meninggal dunia dalam keadaan dihukum cambuk karena kebiasaan buruknya itu.
Meskipun demikian, sebagai seorang sahabat sebagaimana sahabat-sahabat Nabi yang lainnya, beliau itu "maghfurun lahum", orang-orang yang dosa-dosanya diampuni oleh Allah Ta’ala.
Jika diukur dengan ketaqwaan, para Sayyidut Tabi’in itu jauh mengungguli Sayyidina Wahsyi. Tidak selevel. Namun di akhirat, kedudukan Sayyidina Wahsyi lebih tinggi disisi Allah dibanding mereka. Bukan karena ketaqwaan Wahsyi mendapatkan keunggulannya itu, tetapi beliau mendapatkan keutamaannya karena sebab kedekatan Muhammadiyyahnya (keshahabiyannya).
Mulia karena dekat dengan seorang yang mulia, yakni Baginda Nabi al-Mushthafa. Dalam hal-hal serupa ini para ulama menerangkannya dalam sebuah analog ini:
"Seorang pelayan yang memijit tubuh seorang Raja, dia dimuliakan sehingga berdiri di tempat yang lebih tinggi dibanding para Mentri. Mereka para mentri duduk di bawah, sementara pelayan tersebut tempatnya di atas di samping Raja. Bukan berarti pelayan dimuliakan karena kepandaiannya sebagaimana para mentri. Para mentri jauh lebih pandai dan jauh lebih memahami dan berkhidmat kepada urusan rakyat dibanding dirinya. Tetapi pelayan itu dimuliakan tempatnya karena kedekatannya dengan Raja saja."
Para pemerhati sejarah Islam akan dengan mudah menempatkan Sayyidina Umar bin Abdul Aziz sebagai slah satu tokoh protagonis. Lalu dalam banyak hal mereka akan mudah menempatkan Sayyidina Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai tokoh antagonisnya.
Tetapi mereka akan terkesima jika menyimak apa keyakinan Sayyidina Umar bin Abdul Aziz sendiri dalam hal ini. Suatu saat, Sayyidina Umar bin Abdul Aziz ditanya seseorang, "Siapakah yang lebih mulia, diri Tuan ataukah Muawiyah?"
Dengan nada kesal beliau menjawab, "Sungguh, seonggok debu yang masuk di dalam rongga hidung kuda yang ditunggangi Muawiyyah saat dirinya berjihad di samping Rasulullah Saw. itu, jauh lebih mulia dibanding Umar bin Abdul Aziz!"
Kemuliaan Sayyidina Muawiyah tersebut bukan dari sebab ketaqwaannya, tetapi sebab kedekatan Muhammadiyyah yang dimilikinya. Sehingga seorang yang telah paripurna ketaqwaannya seperti Umar bin Abdul Aziz pun tidak dapat melampauinya.
Sampai di sini, sudah dapat ditarik natijah bahwa "ketaqwaan" itu tidak satu-satunya mizan/parameter kemuliaan seorang Muslim disisi Allah Ta’ala. Tetapi masih ada sebab yang lain yang dapat membuat seorang Muslim mulia disisi Allah, yaitu sebab "Anshoriyyah Nabawiyyah". Seseorang yang mempunyai unsur-unsur genetik Rasulullah, yang dalam dirinya mengalir darah dan daging Rasulullah Saw., yakni mereka adalah para anak-cucu Rasulullah. Mereka semua akan dimuliakan di sisi Allah Ta’ala karenanya. Kemuliaan yang Allah berikan melalui ayat Tath-hir (QS. al-Ahzab ayat 33):
ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
Kemuliaan yang membuat semua anak cucu keturunan Nabi Saw. adalah "maghfurun lahum", orang-orang yang diampuni dosa-dosanya oleh Allah Ta’ala persis kemuliaan serupa yang dimiliki oleh golongan shahabiy. Orang yang shaleh dari mereka ataupun orang yang thaleh (jahat) dari mereka, semuanya oleh Allah akan diampuni. Mereka diampuni bukan karena ketqwaan/amal mereka. Tetapi ampunan itu mereka dapatkan murni "pemberian" Allah belaka.
Berkata Syaikh an-Nabhaniy dalam sebuah kitabnya: "…Para Syarif itu termasuk juga sebagai anak cucu Sayyidah Fathimah, Radhiyallahu 'anhum, mereka semua sampai hari kiamat mendapatkan anugerah hukum ayat ini (yakni) mendapatkan ampunan Tuhan. Mereka adalah orang-orang yang disucikan (almuthahharun) yang khusus mereka terima dari Allah sebagai sebuah inayah untuk mereka dikarenakan (maziyyah) kemuliaan Baginda Nabi Muhammad Saw. Kekhususan ini juga merupakan inayah Allah untuk Baginda Nabi Muhammad Saw. pula."
Sampai di sini, natijah tersebut semakin menguat bahwa ketaqwaan bukan satu-satunya ukuran kemuliaan seseorang. Karena kedekatan zaman (seperti yang dimiliki oleh para Sahabat) dan kedekatan jasad (seperti yang dimiliki oleh para Ahlul Bait) juga dapat menjadi sebab sebuah kemuliaan disisi Tuhan.
Hal sedemikian ini yang mendasari pernyataan Kiai Said Aqil Siraj dan mahaguru para kiai Jawa, Syaikh Nawawi al-Bantani, tentang kedudukan Ahlul Bait di awal tulisan ini. Orang-orang NU yang mempunyai kecintaan kelas “Dewa” kepada para habaib ternyata bukan akal-akalan atau emosionalisme mereka belaka. Ternyata mereka mempunyai imam panutannya, dalam masalah ini yaitu Syaikh Nawawi al-Bantani .
Sehingga tidak perlu terjadi sesungguhnya, beberapa pemuda Nahdliyin dengan gaya ala Koboy menantang-nantang duel ala carok dengan para habaib. Jika belum dapat menghormati para sayyid, semestinya mereka menghormati keyakinan kiai-kiai mereka atau syaikh-syaikh mereka seperti Syaikh Nawawi ini.
Hanya saja saya memaklumi perbuatannya itu, karena saya husnudzan mereka melakukannya atas dasar ketidaktahuan mereka akan Rutbah (kedudukan tinggi) para Sayyid. Namanya saja tidak tahu, maklumi saja. Jikalau mereka sudah mengetahui, mereka tidak mungkin melakukannya.
Atau bisa saja mereka mengenal Rutbah para Sayyid itu dengan bahasa, ajaran serta stigma-stigma yang salah yang diajarkan oleh orang-orang “terpelajar” di sekitar mereka. Sehingga keyakinan yang tertanam dalam diri mereka berbeda dengan keyakinan ala Qami’ ath-Thughyan-nya Syaikh Nawawi Banten 
Tulisan berikut adalah bagian tentang yang ketidaktahuan/kesalahtahuan tersebut. Karena di bagian ini harus menjelentrehkant entang kewajiban membela NU-nya. Dan pengetahuan yang komprehensif atas serba-serbi kemuliaan seperti di atas akan menjauhkan seseorang bersikap berlebihan dalam mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap perbuatan "oknum-oknum" dari para Sayyid yang dianggapnya keliru/jahat.
B. Membela NU
Sebagaimana membela Habaib itu diniati menjalankan perintah agama yaitu membela dan mencintai para Ahlul Bait Baginda Nabi, maka membela NU juga kudu diniati untuk membela para Ulama para pewaris Nabi. Ini perintah agama juga.
Ulama sebagai salah satu bentuk Sya’airillah (tanda-tanda kemuliaan Allah) di muka bumi, maka menghormatinya hukumnya wajib. Bahkan dihitung sebagai amal terbaik, ketaqwaan terbaik. Jika demikian, membela, memuliakan rumah-rumah para ahli ilmu ini seperti Nahdlatul Ulama, sama halnya memuliakan penghuninya yakni mereka para ulama. Tidak akan mengingkari hal-hal seperti ini kecuali orang-orang yang benar-benar tertutup mata hatinya.
Menghormati ulama bahkan tidak mesti melihat keshalehan atau tidaknya sang ulama itu sendiri. Disebabkan ilmu-ilmu yang ada dalam otak mereka, yang tersimpan di dalam dada mereka, adalah makhluk-makhluk Tuhan yang dzatiyahnya sudah mulia dan patut untuk dihormati .
Hal ini ditekankan betul oleh guru-guru kita, agar para pencari ilmu mesti memahami hakekat kemuliaan ilmu. Dia (ilmu itu sendiri) adalah mahluk yang mulia, dan manusia yang di dalam dirinya membawa ilmu-ilmu menjadi mulia karenanya. Jika manusia yang berilmu itu dapat mengamalkan ilmu-ilmunya, maka ini adalah "mulia di atas mulia".
Habib Salim bin Abdullah asy-Syathiriy pernah berkata, "Seorang alim seyogyanya dihormati meskipun engkau lihat dia tidak mengamalkan sendiri ilmunya, atau meskipun engkau lihat dia kurang mengamalkannya. Penghormatan ini dilakukan untuk menghormati ilmunya, yang mana ilmu itu sendiri adalah sesuatu yang mulia. Dalam Nadzam Zubad dikatakan:
العلم اسنى سـائر الاعمال ÷ وهو دليل الخير والافضـال
"Dari sekalian amal, ilmu adalah yang terbaik. Dan ilmu itu pertanda sebuah kebaikan dan keutamaan." Seorang shalihin berkata:
انظر لعلمى ولا تنظر الى عملى ÷ ينفعك علمى ولا يضرّك تقصيرى
ان العلوم كالاشجر على ثمر ÷ فشلّ الثمـار وخلّ العود للنار
"Lihatlah ilmuku, jangan lihat amalku. Niscaya ilmuku akan bermanfaat untukmu dan kekuranganku tidak akan merugikanmu. Sungguh ilmu-ilmu itu laksana pepohonan yang berbuah. Ambil buahnya dan biarkan kayunya terbakar di perapian." Sebuah syair dikatakan:
خذ العلوم ولا تنظر لقائلها ÷ حيث كانت فان العلم ممدوح
كمثل جوهرة وسط مزبلة ÷ اليت تأخذهـا والزبل مطروح ؟
"Ambil saja banyak ilmu bagaimanapun keadaannya, jangan perdulikan siapa yang menyampaikannya. Sesungguhnya ilmu itu sendiri sesuatu yang terpuji. Bagaikan mutiara yang terjatuh di kubangan kotoran. Bukankah engkau tetap ambil mutiaranya, sementara kotorannya engkau buang?" Dalam sebuah hadits, Nabi Saw. bersabda:
الحكمة ضـالّة المؤمن يأخذهـا اينمـا وجدهـا
"Hikmah itu (laksana) harta yang hilang milik seorang mukmin, dimanapun ditemukan, diambillah ia."
Mutiara nasihat Habib Salim tersebut sudah cukup mewakili sebagai landasan untuk siapapun supaya tetap menghormati para ulama meskipun dalam beberapa hal mungkin tidak dalam satu pendapat yang sama atau dalam satu gerakan yang sama.
Tidak patut bagi seorang yang terpelajar, secara terbuka menyudutkan dan merendahkan seorang ulama. Meskipun di dalam pandangan matanya ulama tersebut ia anggap bukan ulama yang baik. Beberapa waktu lalu, sangat disayangkan terjadi seorang terpelajar memperolok Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus) melalui medsos miliknya, dengan bahasa yang jauh dari sopan santun.
Bukankah beliau adalah seorang ulama, bahkan salah satu pimpinan yang disepuhkan dalam Nahdlatul Ulama? Jika tidak ingin menghormati dirinya Gus Mus, bukankah mesti menghormati keulamaannya? Bahkan menghormati institusi besar yang ada dibelakangnya?
Kesimpulan yang paling sederhana dari uraian-uraian ini adalah: "Menjadi seorang Muhibbin harus tetap dapat memuliakan Ulama, menghormati Nahdlatul Ulama. Menjadi Nahdliyyin harus selalu memuliakan dan menghormati para Habaib."
Apalagi NU itu mengikat secara emosional ke dalam jiwa banyak orang. Sejarah panjang hidupnya, hidup orangtua serta kakek-kakeknya bersinggungan langsung dengannya. NU sudah menjadi bagian hidup yang tidak terpisahkan. Sehingga jika dimuliakan, rasanya seperti kehidupan dirinya yang dimuliakan. Sebaliknya jika direndahkan, rasa-rasanya seperti dirinyalah yang direndahkan. Sebuah ikatan emosional dan sentimental.
Nahdlatul Ulama bagi banyak orang (termasuk saya) adalah bagaikan benda keramat warisan keluarga. Warisan orang-orang tua terdahulu. NU itu laksana kanz/gudang kemuliaan yang banyak orang seperti saya berhutang banyak dengan "harta-harta" yang tersimpan didalamnya.
Saya ingat nasihat yang selalu diulang-ulang oleh salah satu Syaikh saya, KH. Aniq Muhammadun, "Hendaklah kalian sepulangnya dari belajar di pesantren, saat sudah berkecimpung di tengah-tengah masyarakat agar ikut memikirkan Aswaja melalui wadah Nahdlatul Ulama. Jamiyyah ini didirikan dengan penuh ketulusan oleh Kiai-kiai terdahulu, dan sampai sekarang terhitung yang masih memegang teguh ajaran-ajaran ulama salafus shalih terdahulu..."
Pesan-pesan semacam itulah yang membuat NU bagi banyak kalangan, terutama bagi para santri pesantren, melebur menjadi bagian kehidupan mereka. Mereka senantiasa mengingat-ingat janji Hadhratus Syaikh Kiai Hasyim Asy’ari: "Siapa yang mau ikut mengurusi NU, saya doakan ia masuk surga."
Soal perbedaan sikap antara NU dengan banyak kalangan habaib dalam kasus "Bela Agama" selama ini, menurut saya masuk di dalam tataran Ijtihadiyyah mereka masing-masing. Saya sangat yakin keduanya sama-sama membela agama, tetapi hasil ijtihad mereka membuat yang terlihat adalah sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang seperti tampak bertentangan di antara keduanya, dan sudah sedari dahulu perbedaan di antara ulama itu biasa.
Tetapi sikap NU yang berbeda itu jangan dijadikan jalan untuk merendahkan ulama dan institusinya. Perbedaan jika masih dalam satu koridor yang sama, aqidahnya masih sama, rujukan serta manhajnya masih sama, maka sikap yang diambil di dalam mengutarakan perbedaan tersebut adalah dalam bentuknya yang konstruktif dengan bahasa-bahasa yang santun serta tetap saling menta'dzimi antara satu dengan lainnya.
Jika diamati dengan rasa penuh inshaf (terbuka), dapat dilihat bahwa di sisi para habaib dan di sisi lain para kiai NU kedua-duanya masih; "Sama-sama Asy’ariyyin-Maturidiyyin. Sama-sama Syafi’iyyin. Sama-sama Shufiyyin Ghozaliyyin. Dan masih seabrek kesamaan-kesamaan yang lain".
Kalau benar begitu, mengapa harus ada rendah-merendahkan satu dengan yang lain? Tentu yang seperti ini tidak diharapkan terjadi.
Anak-anak muda Nahdliyin haram hukumnya merendahkan para jamaah yang berangkat berdemo menyertai habaib mereka. Sementara para Muhibbin tidak sepatutnya menyudutkan atau merendahkan kaum Nahdliyin yang menahan dirinya tidak turut berdemo ke jalan sebagaimana mereka. Bukankah masing-masing mengikuti "perintah" pemimpinnya?
Para Muhibbin bergerak dengan komando pemimpinnya, yakni para habaib. Para Nahdliyin menahan diri juga atas perintah pemimpin mereka, yakni para Kiai. Dan Habaib serta Kiai sama-sama wajib dihormati. Keduanya mempunyai landasan terhadap manhaj gerakan yang dipilih.
Boleh sekadar mengadu hujjah/dalil mereka, tetapi tidak sepatutnya saling merendahkan lawan hujjahnya. Syukur jika dapat ditarik satu kesimpulan yang sama, atau dicari solusi jalan tengahnya. Jika tidak dapat dijami’kan, maka tetap menghormati pilihannya masing-masing.
Oleh: KH. Muhajir Madad Salim
A. Membela Habaib
Di sebuah dusun kecil, serombongan habaib muda ('alaihimussalam) sowan kepada seorang kiai sepuh. Dengan nada penuh kegelisahan cucu-cucu Baginda Nabi Saw. yang dimuliakan Tuhan itu berkata, "Kiai, bagaimana NU ini? Semuanya pada berangkat ke jakarta NU malah menahan diri. Malah kabarnya akan kirim Banser untuk Demo tandingan?"
Sesudah menghela nafasnya yang dalam Kiai menjawab, "Yiiik...", begitu biasanya beliau memanggil mereka. 'Antum di dusun ini jangan sekali-kali merendahkan NU nggih? Karena di dusun ini hanya orang-orang NU saja yang mau bershalawat kepada Kanjeng Nabi beserta Ahli Baitnya. Kalau antum memusuhi mereka, saya takut di dusun ini tidak akan ada lagi ada ummat Islam yang bershalawat untuk antum para Ahlul Bait."
Sebuah jawaban tidak terduga, yang sontak membuat para saadah muda itu tertegun. Bahkan tertegun cukup lama .
Kiai meneruskan, "Orang-orang dusun sini, adalah orang-orang awam yang tidak mengerti membalas kebaikan para Ahlul Bait kecuali dengan cara bershalawat untuk mereka. Janganlah antum berbuat sesuatu yang menyebabkan mereka meninggalkan satu-satunya kebaikan yang mereka punya!"
Sebuah kisah nyata, dari sebuah perkampungan kecil yang jauh dari hiruk-pikuk kita sekalian selama ini. Tetapi begitu mendengar kisah tersebut, saya berfikir ada banyak kata-kata yang mesti diungkapkan untuk dapat tetap "Mbelani NU" dan sekaligus tetap "Memuliakan Habaib".
Ketua Umum PBNU Kiai Said Aqil Siraj menyatakan bahwa memuliakan para habaib itu bagi kaum Nahdliyin adalah sebuah keyakinan agama mereka. Tetapi jauh sebelum Kiai Said berkata seperti itu, salah satu ulama kebanggaan kaum Nahdliyin yang merupakann mahaguru para kiai Jawa yang mayoritas kaum Nahdliyin banyak berhutang ilmu kepada beliau, yakni Syaikhul Haramain Syaikh Nawawi Banten, berkata dalam kitab kecil beliau Qami’ ath-Thughyan: “ …bahwa patut bagi setiap Muslim untuk berkeyakinan apa yang dilakukan oleh para Ahli Bait, Allah telah menganpuni mereka. Tidak boleh bagi kita merendahkan seseorang, terlebih merendahkan para Ahli Bait."
Mari berbicara tentang kemuliaan. Kemuliaan derajat seorang Muslim itu bisa disebabkan oleh banyak hal. Yang paling mudah menyebutkannya adalah kemuliaan karena "ketaqwaan". Jika seorang Muslim hidupnya penuh dengan ketaqwaan, maka dia akan mulia disisi Allah Ta’ala.
Selain ketaqwaan, ada juga sebab yang lainnya yaitu "kedekatan". Maksud kedekatan ini adalah kedekatan Muhammadiyyah. Seorang Muslim jika mempunyai kedekatan dengan Baginda Nabi Saw., maka dia akan mulia disisi Allah dibanding yang tidak.
Para sahabat Rasulullah Saw. memperoleh kemuliaan itu karena sebab ini. Mereka hidup sebagai sahabat Nabi, hidup bersama Nabi, ada dalam satu zaman dengan Nabi. Maka dikatakan: "Sebaik-baiknya tabi’in (setaqwa-taqwanya para tabi’in) tidak akan dapat mengungguli kemuliaan dari serendah-rendahnya seorang sahabat Nabi." Sebaik-baiknya tabi’in itu contohnya seperti Sayyidina Said bin Musayyib, Sayyidina Umar bin Abdul Aziz, Sayyidina Hasan al-Bashri, Sayyidina Abi Hanifah dan masih banyak yang lain. Mereka semua tingkat ketaqwaannya sudah sebegitu tingginya setaraf “Dewa”. Tetapi di sisi Allah mereka tidak mampu mengungguli kemuliaan golongan terendah dari para sahabat seperti Sayyidina Wahsyi.
Sayyidina Wahsyi ini sahabat Nabi Saw. Tetapi beliau adalah shahabiy yang tingkat ketaqwaannya ada pada level terendahnya. Selain ada “bayang-bayang” kelam dirinya yang sebelum Islam telah membunuh Sayyidina Hamzah, seorang paman yang sangat dicintai Baginda Nabi, beliau Sayyidina Wahsyi ini selama hidupnya tenggelam dalam pengaruh buruk alkohol. Bahkan beliau meninggal dunia dalam keadaan dihukum cambuk karena kebiasaan buruknya itu.
Meskipun demikian, sebagai seorang sahabat sebagaimana sahabat-sahabat Nabi yang lainnya, beliau itu "maghfurun lahum", orang-orang yang dosa-dosanya diampuni oleh Allah Ta’ala.
Jika diukur dengan ketaqwaan, para Sayyidut Tabi’in itu jauh mengungguli Sayyidina Wahsyi. Tidak selevel. Namun di akhirat, kedudukan Sayyidina Wahsyi lebih tinggi disisi Allah dibanding mereka. Bukan karena ketaqwaan Wahsyi mendapatkan keunggulannya itu, tetapi beliau mendapatkan keutamaannya karena sebab kedekatan Muhammadiyyahnya (keshahabiyannya).
Mulia karena dekat dengan seorang yang mulia, yakni Baginda Nabi al-Mushthafa. Dalam hal-hal serupa ini para ulama menerangkannya dalam sebuah analog ini:
"Seorang pelayan yang memijit tubuh seorang Raja, dia dimuliakan sehingga berdiri di tempat yang lebih tinggi dibanding para Mentri. Mereka para mentri duduk di bawah, sementara pelayan tersebut tempatnya di atas di samping Raja. Bukan berarti pelayan dimuliakan karena kepandaiannya sebagaimana para mentri. Para mentri jauh lebih pandai dan jauh lebih memahami dan berkhidmat kepada urusan rakyat dibanding dirinya. Tetapi pelayan itu dimuliakan tempatnya karena kedekatannya dengan Raja saja."
Para pemerhati sejarah Islam akan dengan mudah menempatkan Sayyidina Umar bin Abdul Aziz sebagai slah satu tokoh protagonis. Lalu dalam banyak hal mereka akan mudah menempatkan Sayyidina Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai tokoh antagonisnya.
Tetapi mereka akan terkesima jika menyimak apa keyakinan Sayyidina Umar bin Abdul Aziz sendiri dalam hal ini. Suatu saat, Sayyidina Umar bin Abdul Aziz ditanya seseorang, "Siapakah yang lebih mulia, diri Tuan ataukah Muawiyah?"
Dengan nada kesal beliau menjawab, "Sungguh, seonggok debu yang masuk di dalam rongga hidung kuda yang ditunggangi Muawiyyah saat dirinya berjihad di samping Rasulullah Saw. itu, jauh lebih mulia dibanding Umar bin Abdul Aziz!"
Kemuliaan Sayyidina Muawiyah tersebut bukan dari sebab ketaqwaannya, tetapi sebab kedekatan Muhammadiyyah yang dimilikinya. Sehingga seorang yang telah paripurna ketaqwaannya seperti Umar bin Abdul Aziz pun tidak dapat melampauinya.
Sampai di sini, sudah dapat ditarik natijah bahwa "ketaqwaan" itu tidak satu-satunya mizan/parameter kemuliaan seorang Muslim disisi Allah Ta’ala. Tetapi masih ada sebab yang lain yang dapat membuat seorang Muslim mulia disisi Allah, yaitu sebab "Anshoriyyah Nabawiyyah". Seseorang yang mempunyai unsur-unsur genetik Rasulullah, yang dalam dirinya mengalir darah dan daging Rasulullah Saw., yakni mereka adalah para anak-cucu Rasulullah. Mereka semua akan dimuliakan di sisi Allah Ta’ala karenanya. Kemuliaan yang Allah berikan melalui ayat Tath-hir (QS. al-Ahzab ayat 33):
ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
Kemuliaan yang membuat semua anak cucu keturunan Nabi Saw. adalah "maghfurun lahum", orang-orang yang diampuni dosa-dosanya oleh Allah Ta’ala persis kemuliaan serupa yang dimiliki oleh golongan shahabiy. Orang yang shaleh dari mereka ataupun orang yang thaleh (jahat) dari mereka, semuanya oleh Allah akan diampuni. Mereka diampuni bukan karena ketqwaan/amal mereka. Tetapi ampunan itu mereka dapatkan murni "pemberian" Allah belaka.
Berkata Syaikh an-Nabhaniy dalam sebuah kitabnya: "…Para Syarif itu termasuk juga sebagai anak cucu Sayyidah Fathimah, Radhiyallahu 'anhum, mereka semua sampai hari kiamat mendapatkan anugerah hukum ayat ini (yakni) mendapatkan ampunan Tuhan. Mereka adalah orang-orang yang disucikan (almuthahharun) yang khusus mereka terima dari Allah sebagai sebuah inayah untuk mereka dikarenakan (maziyyah) kemuliaan Baginda Nabi Muhammad Saw. Kekhususan ini juga merupakan inayah Allah untuk Baginda Nabi Muhammad Saw. pula."
Sampai di sini, natijah tersebut semakin menguat bahwa ketaqwaan bukan satu-satunya ukuran kemuliaan seseorang. Karena kedekatan zaman (seperti yang dimiliki oleh para Sahabat) dan kedekatan jasad (seperti yang dimiliki oleh para Ahlul Bait) juga dapat menjadi sebab sebuah kemuliaan disisi Tuhan.
Hal sedemikian ini yang mendasari pernyataan Kiai Said Aqil Siraj dan mahaguru para kiai Jawa, Syaikh Nawawi al-Bantani, tentang kedudukan Ahlul Bait di awal tulisan ini. Orang-orang NU yang mempunyai kecintaan kelas “Dewa” kepada para habaib ternyata bukan akal-akalan atau emosionalisme mereka belaka. Ternyata mereka mempunyai imam panutannya, dalam masalah ini yaitu Syaikh Nawawi al-Bantani .
Sehingga tidak perlu terjadi sesungguhnya, beberapa pemuda Nahdliyin dengan gaya ala Koboy menantang-nantang duel ala carok dengan para habaib. Jika belum dapat menghormati para sayyid, semestinya mereka menghormati keyakinan kiai-kiai mereka atau syaikh-syaikh mereka seperti Syaikh Nawawi ini.
Hanya saja saya memaklumi perbuatannya itu, karena saya husnudzan mereka melakukannya atas dasar ketidaktahuan mereka akan Rutbah (kedudukan tinggi) para Sayyid. Namanya saja tidak tahu, maklumi saja. Jikalau mereka sudah mengetahui, mereka tidak mungkin melakukannya.
Atau bisa saja mereka mengenal Rutbah para Sayyid itu dengan bahasa, ajaran serta stigma-stigma yang salah yang diajarkan oleh orang-orang “terpelajar” di sekitar mereka. Sehingga keyakinan yang tertanam dalam diri mereka berbeda dengan keyakinan ala Qami’ ath-Thughyan-nya Syaikh Nawawi Banten 
Tulisan berikut adalah bagian tentang yang ketidaktahuan/kesalahtahuan tersebut. Karena di bagian ini harus menjelentrehkant entang kewajiban membela NU-nya. Dan pengetahuan yang komprehensif atas serba-serbi kemuliaan seperti di atas akan menjauhkan seseorang bersikap berlebihan dalam mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap perbuatan "oknum-oknum" dari para Sayyid yang dianggapnya keliru/jahat.
B. Membela NU
Sebagaimana membela Habaib itu diniati menjalankan perintah agama yaitu membela dan mencintai para Ahlul Bait Baginda Nabi, maka membela NU juga kudu diniati untuk membela para Ulama para pewaris Nabi. Ini perintah agama juga.
Ulama sebagai salah satu bentuk Sya’airillah (tanda-tanda kemuliaan Allah) di muka bumi, maka menghormatinya hukumnya wajib. Bahkan dihitung sebagai amal terbaik, ketaqwaan terbaik. Jika demikian, membela, memuliakan rumah-rumah para ahli ilmu ini seperti Nahdlatul Ulama, sama halnya memuliakan penghuninya yakni mereka para ulama. Tidak akan mengingkari hal-hal seperti ini kecuali orang-orang yang benar-benar tertutup mata hatinya.
Menghormati ulama bahkan tidak mesti melihat keshalehan atau tidaknya sang ulama itu sendiri. Disebabkan ilmu-ilmu yang ada dalam otak mereka, yang tersimpan di dalam dada mereka, adalah makhluk-makhluk Tuhan yang dzatiyahnya sudah mulia dan patut untuk dihormati .
Hal ini ditekankan betul oleh guru-guru kita, agar para pencari ilmu mesti memahami hakekat kemuliaan ilmu. Dia (ilmu itu sendiri) adalah mahluk yang mulia, dan manusia yang di dalam dirinya membawa ilmu-ilmu menjadi mulia karenanya. Jika manusia yang berilmu itu dapat mengamalkan ilmu-ilmunya, maka ini adalah "mulia di atas mulia".
Habib Salim bin Abdullah asy-Syathiriy pernah berkata, "Seorang alim seyogyanya dihormati meskipun engkau lihat dia tidak mengamalkan sendiri ilmunya, atau meskipun engkau lihat dia kurang mengamalkannya. Penghormatan ini dilakukan untuk menghormati ilmunya, yang mana ilmu itu sendiri adalah sesuatu yang mulia. Dalam Nadzam Zubad dikatakan:
العلم اسنى سـائر الاعمال ÷ وهو دليل الخير والافضـال
"Dari sekalian amal, ilmu adalah yang terbaik. Dan ilmu itu pertanda sebuah kebaikan dan keutamaan." Seorang shalihin berkata:
انظر لعلمى ولا تنظر الى عملى ÷ ينفعك علمى ولا يضرّك تقصيرى
ان العلوم كالاشجر على ثمر ÷ فشلّ الثمـار وخلّ العود للنار
"Lihatlah ilmuku, jangan lihat amalku. Niscaya ilmuku akan bermanfaat untukmu dan kekuranganku tidak akan merugikanmu. Sungguh ilmu-ilmu itu laksana pepohonan yang berbuah. Ambil buahnya dan biarkan kayunya terbakar di perapian." Sebuah syair dikatakan:
خذ العلوم ولا تنظر لقائلها ÷ حيث كانت فان العلم ممدوح
كمثل جوهرة وسط مزبلة ÷ اليت تأخذهـا والزبل مطروح ؟
"Ambil saja banyak ilmu bagaimanapun keadaannya, jangan perdulikan siapa yang menyampaikannya. Sesungguhnya ilmu itu sendiri sesuatu yang terpuji. Bagaikan mutiara yang terjatuh di kubangan kotoran. Bukankah engkau tetap ambil mutiaranya, sementara kotorannya engkau buang?" Dalam sebuah hadits, Nabi Saw. bersabda:
الحكمة ضـالّة المؤمن يأخذهـا اينمـا وجدهـا
"Hikmah itu (laksana) harta yang hilang milik seorang mukmin, dimanapun ditemukan, diambillah ia."
Mutiara nasihat Habib Salim tersebut sudah cukup mewakili sebagai landasan untuk siapapun supaya tetap menghormati para ulama meskipun dalam beberapa hal mungkin tidak dalam satu pendapat yang sama atau dalam satu gerakan yang sama.
Tidak patut bagi seorang yang terpelajar, secara terbuka menyudutkan dan merendahkan seorang ulama. Meskipun di dalam pandangan matanya ulama tersebut ia anggap bukan ulama yang baik. Beberapa waktu lalu, sangat disayangkan terjadi seorang terpelajar memperolok Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus) melalui medsos miliknya, dengan bahasa yang jauh dari sopan santun.
Bukankah beliau adalah seorang ulama, bahkan salah satu pimpinan yang disepuhkan dalam Nahdlatul Ulama? Jika tidak ingin menghormati dirinya Gus Mus, bukankah mesti menghormati keulamaannya? Bahkan menghormati institusi besar yang ada dibelakangnya?
Kesimpulan yang paling sederhana dari uraian-uraian ini adalah: "Menjadi seorang Muhibbin harus tetap dapat memuliakan Ulama, menghormati Nahdlatul Ulama. Menjadi Nahdliyyin harus selalu memuliakan dan menghormati para Habaib."
Apalagi NU itu mengikat secara emosional ke dalam jiwa banyak orang. Sejarah panjang hidupnya, hidup orangtua serta kakek-kakeknya bersinggungan langsung dengannya. NU sudah menjadi bagian hidup yang tidak terpisahkan. Sehingga jika dimuliakan, rasanya seperti kehidupan dirinya yang dimuliakan. Sebaliknya jika direndahkan, rasa-rasanya seperti dirinyalah yang direndahkan. Sebuah ikatan emosional dan sentimental.
Nahdlatul Ulama bagi banyak orang (termasuk saya) adalah bagaikan benda keramat warisan keluarga. Warisan orang-orang tua terdahulu. NU itu laksana kanz/gudang kemuliaan yang banyak orang seperti saya berhutang banyak dengan "harta-harta" yang tersimpan didalamnya.
Saya ingat nasihat yang selalu diulang-ulang oleh salah satu Syaikh saya, KH. Aniq Muhammadun, "Hendaklah kalian sepulangnya dari belajar di pesantren, saat sudah berkecimpung di tengah-tengah masyarakat agar ikut memikirkan Aswaja melalui wadah Nahdlatul Ulama. Jamiyyah ini didirikan dengan penuh ketulusan oleh Kiai-kiai terdahulu, dan sampai sekarang terhitung yang masih memegang teguh ajaran-ajaran ulama salafus shalih terdahulu..."
Pesan-pesan semacam itulah yang membuat NU bagi banyak kalangan, terutama bagi para santri pesantren, melebur menjadi bagian kehidupan mereka. Mereka senantiasa mengingat-ingat janji Hadhratus Syaikh Kiai Hasyim Asy’ari: "Siapa yang mau ikut mengurusi NU, saya doakan ia masuk surga."
Soal perbedaan sikap antara NU dengan banyak kalangan habaib dalam kasus "Bela Agama" selama ini, menurut saya masuk di dalam tataran Ijtihadiyyah mereka masing-masing. Saya sangat yakin keduanya sama-sama membela agama, tetapi hasil ijtihad mereka membuat yang terlihat adalah sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang seperti tampak bertentangan di antara keduanya, dan sudah sedari dahulu perbedaan di antara ulama itu biasa.
Tetapi sikap NU yang berbeda itu jangan dijadikan jalan untuk merendahkan ulama dan institusinya. Perbedaan jika masih dalam satu koridor yang sama, aqidahnya masih sama, rujukan serta manhajnya masih sama, maka sikap yang diambil di dalam mengutarakan perbedaan tersebut adalah dalam bentuknya yang konstruktif dengan bahasa-bahasa yang santun serta tetap saling menta'dzimi antara satu dengan lainnya.
Jika diamati dengan rasa penuh inshaf (terbuka), dapat dilihat bahwa di sisi para habaib dan di sisi lain para kiai NU kedua-duanya masih; "Sama-sama Asy’ariyyin-Maturidiyyin. Sama-sama Syafi’iyyin. Sama-sama Shufiyyin Ghozaliyyin. Dan masih seabrek kesamaan-kesamaan yang lain".
Kalau benar begitu, mengapa harus ada rendah-merendahkan satu dengan yang lain? Tentu yang seperti ini tidak diharapkan terjadi.
Anak-anak muda Nahdliyin haram hukumnya merendahkan para jamaah yang berangkat berdemo menyertai habaib mereka. Sementara para Muhibbin tidak sepatutnya menyudutkan atau merendahkan kaum Nahdliyin yang menahan dirinya tidak turut berdemo ke jalan sebagaimana mereka. Bukankah masing-masing mengikuti "perintah" pemimpinnya?
Para Muhibbin bergerak dengan komando pemimpinnya, yakni para habaib. Para Nahdliyin menahan diri juga atas perintah pemimpin mereka, yakni para Kiai. Dan Habaib serta Kiai sama-sama wajib dihormati. Keduanya mempunyai landasan terhadap manhaj gerakan yang dipilih.
Boleh sekadar mengadu hujjah/dalil mereka, tetapi tidak sepatutnya saling merendahkan lawan hujjahnya. Syukur jika dapat ditarik satu kesimpulan yang sama, atau dicari solusi jalan tengahnya. Jika tidak dapat dijami’kan, maka tetap menghormati pilihannya masing-masing.
MENUJU AKSI BELA ISLAM 212
*MENUJU AKSI BELA ISLAM 212*
*_Bila pun 2 Desember menjadi sholat jumat terakhirmu,_*
_Maka ketahuilah bahwa itu akan menjadi sholat jumat terakhir yang terbesar dalam sejarah hidupmu, dan akan sulit untuk pernah terulang kembali, dimasa kapan pun, sedangkan engkau ada didalamnya._
*_Bila pun 2 Desember menjadi sholat jumat terakhirmu,_*
_Maka ketahuilah bahwa itu akan menjadi sholat jumat terakhir yang terbesar dalam sejarah hidupmu, dan akan sulit untuk pernah terulang kembali, dimasa kapan pun, sedangkan engkau ada didalamnya._
_Sholat jumat itu akan jadi sholat paling bersejarah dalam kehidupanmu
dan itu begitu berharga bagimu dan bagi negerimu, karena kejadian itu
tidak pernah terjadi di masa ayah-ibumu dan bahkan kakek nenek moyangmu,
sepanjang masa lalu, diatas tanah negerimu._
_Belum pernah ada gelaran sholat sebesar itu disepanjang sejarah negerimu, bahkan mungkin sepanjang sejarah dunia, diluar sholat jumat yang diselenggarakan di tanah suci Mekkah pada musim haji._
_Kebesaran Agamamu diatas negerimu akan nampak kekokohannya, ketika engkau dan seluruh kaum muslim indonesia, yang datang dari ujung paling barat aceh, hingga muslim saudaramu yang datang dari ujung paling timur papua. Menegakkan diri, berbaris bershaf-shaf, membentang sejak dari masjid istiqlal, berbanjar membanjir berkilo-kilo meter hingga menutup setiap jengkal tanah yang mampu di tutup oleh setiap lembar sejadahmu dan sejadah mereka._
_Ketahuilah, bahwa saat itu, engkau sholat jumat bersama jutaan orang yang kedalam hatinya Allah hembuskan panggilan suci, untuk datang menyatukan hati dan suara membela Firman Nya yang dihinakan orang yang begitu dilindungi dan diistimewakan orang-orang yang bermain-main dengan amanah dalam menjalankan jabatan kenegaraan di negerimu._
_Dan ketahuilah bahwa jutaan orang yang datang dan sholat bersamamu itu, adalah kelak menjadi orang-orang pertama yang menjadi benteng paling depan ketika negerimu menghadapi musuh dan bahaya ancaman perang dari musuh-musuh bangsamu._
_Karena hati mereka adalah hati yang begitu peka, penuh cinta dan pembelaan kepada tanah air dan bangsamu._
_Karena kaki-kaki mereka adalah kaki-kaki yang diringankan untuk melangkah dan berlari cepat mendatangi panggilan bakti untuk tanah air dan bangsanya._
_Karena diri mereka adalah diri yang telah Allah pilih dan tentukan untuk rela dan bersedia berkorban jiwa raga untuk harga diri, kehormatan, keselamatan bangsa, negara dan agamamu._
*Dan engkau ada didalamnya bersama mereka.*
_Hingga musuh-musuhmu tahu, bahwa engkau, umat dan kaum bangsamu tidak bisa mereka permainkan lagi dengan pandangan hina serta rendah._
_Dan tundukkanlah kedzaliman mereka itu dengan sikap bersungguh-sungguh, sehingga mereka menjadi takut hingga kembali lurus dan tidak lagi bermain-main dengan amanat bangsamu._
_Datangilah saudaramu, walau engkau harus merangkak sekalipun._
_Allahu akbar!!!_
_Belum pernah ada gelaran sholat sebesar itu disepanjang sejarah negerimu, bahkan mungkin sepanjang sejarah dunia, diluar sholat jumat yang diselenggarakan di tanah suci Mekkah pada musim haji._
_Kebesaran Agamamu diatas negerimu akan nampak kekokohannya, ketika engkau dan seluruh kaum muslim indonesia, yang datang dari ujung paling barat aceh, hingga muslim saudaramu yang datang dari ujung paling timur papua. Menegakkan diri, berbaris bershaf-shaf, membentang sejak dari masjid istiqlal, berbanjar membanjir berkilo-kilo meter hingga menutup setiap jengkal tanah yang mampu di tutup oleh setiap lembar sejadahmu dan sejadah mereka._
_Ketahuilah, bahwa saat itu, engkau sholat jumat bersama jutaan orang yang kedalam hatinya Allah hembuskan panggilan suci, untuk datang menyatukan hati dan suara membela Firman Nya yang dihinakan orang yang begitu dilindungi dan diistimewakan orang-orang yang bermain-main dengan amanah dalam menjalankan jabatan kenegaraan di negerimu._
_Dan ketahuilah bahwa jutaan orang yang datang dan sholat bersamamu itu, adalah kelak menjadi orang-orang pertama yang menjadi benteng paling depan ketika negerimu menghadapi musuh dan bahaya ancaman perang dari musuh-musuh bangsamu._
_Karena hati mereka adalah hati yang begitu peka, penuh cinta dan pembelaan kepada tanah air dan bangsamu._
_Karena kaki-kaki mereka adalah kaki-kaki yang diringankan untuk melangkah dan berlari cepat mendatangi panggilan bakti untuk tanah air dan bangsanya._
_Karena diri mereka adalah diri yang telah Allah pilih dan tentukan untuk rela dan bersedia berkorban jiwa raga untuk harga diri, kehormatan, keselamatan bangsa, negara dan agamamu._
*Dan engkau ada didalamnya bersama mereka.*
_Hingga musuh-musuhmu tahu, bahwa engkau, umat dan kaum bangsamu tidak bisa mereka permainkan lagi dengan pandangan hina serta rendah._
_Dan tundukkanlah kedzaliman mereka itu dengan sikap bersungguh-sungguh, sehingga mereka menjadi takut hingga kembali lurus dan tidak lagi bermain-main dengan amanat bangsamu._
_Datangilah saudaramu, walau engkau harus merangkak sekalipun._
_Allahu akbar!!!_
MALAIKAT PENGHITUNG TETESAN AIR HUJAN
MALAIKAT PENGHITUNG TETESAN AIR HUJAN..!!
Rasulullah bersabda.. Disaat aku tiba di langit di mlm Isra Miraj, aku melihat satu malaikat memiliki 1000 tangan, di setiap tangan ada 1000 jari.. Aku melihatnya menghitung jarinya satu persatu.. Aku bertanya kepada Jibril pendampingku.. Siapa gerangan malaikat itu, dan apa tugasnya..?? Jibril menjawab, Sesungguhnya dia adalah malaikat yang diberi tugas untuk menghitung tetesan air hujan yang turun dari langit ke bumi.. Rasulullah bertanya kepada malaikat (penghitung tetesan air hujan) tadi, apakah kamu tahu berapa jumlah tetesan air hujan yang turun dari langit ke bumi sejak diciptakan Adam..?? Malaikat itu pun menjawab, wahai Rasulullah, demi yang telah mengutusmu dengan haq (kebenaran), sesungguhnya aku mengetahui semua jumlah tetesan air hujan yang turun dari langit ke bumi, dari mulai diciptakan Adam sampe sekarang ini, begitu pula aku mengetahui jumlah tetetas yang turun ke laut, ke darat, ke hutan rimba, ke gunung", ke lembah", ke sungai", ke perkebunan, dan ke tempat yang tidak diketahui manusia.. Mendengar uraian malaikat tadi Rasulullah sangat takjub dan bangga atas kecerdasannya dalam menghitung tetesan air hujan.. Kemudian malaikat tadi pun berkata kepada Rasulullah.. wahai Rasulullah, walaupun aku memiliki seribu tangan dan sejuta jari dan diberikan kepandaian dan keahlian untuk menghitung tetesan air hujan yang turun dari langit ke bumi, tapi aku memiliki kekurangan dan kelemahan.. Rasulullah pun bertanya.. apa kekurangan dan kelemahan kamu..?? Malaikat itupun menjawab.. KEKURANGAN DAN KELEMAHANKU, WAHAI RASULULLAH, JIKA UMATMU BERKUMPUL DI SATU TEMPAT, MEREKA MENYEBUT2 NAMAMU LALU BERSHALAWAT ATASMU, PADA SAAT ITU AKU TIDAK BISA MENGHITUNG BERAPA BANYAKNYA PAHALA YANG DIBERIKAN ALLAH KEPADA MEREKA ATAS SHALAWAT YANG MEREKA UCAPKAN ATAS DIRIMU..!! (Al Mustadrak Syeikh An Nuri, jilid 5, hal 355)
Allah mengetahui segalanya
Subhaanallah...
Allahu Akbar!!!
Tuesday, November 29, 2016
Kisah nyata Sang Jenderal dan Nenek Tua Pedagang Keripik Singkong
Kapolda NTB, Brigjen Pol Umar Septono SH, MH ketika mencium tangan seorang nenek tua penjual keripik singkong (kicknews,gin)
kicknews.today Mataram – Brigadir Jenderal Drs Umar Septono SH, MH. Kapolda NTB, sepertinya tidak pernah lelah untuk memberikan contoh bagaimana bertingkah laku dan berperilaku yang baik dan santun, baik kepada yang muda maupun yang tua. Tak heran hal itu membuatnya menjadi perhatian publik, karena dengan gaya kebersahajaannya tersebut.
Kali ini sang jenderal tidak segan-segan untuk mencium tangan seorang nenek tua penjual keripik singkong seraya membeli dagangannya dimana saat itu secara kebetulan dirinya bertemu dengan nenek tua itu saat hendak melayat atas meninggalnya orang tua dari salah seorang anggota polisi di wilayah Gomong, Kota Mataram pada 28 februari 2016 yang lalu.
“Saya merasa lebih khawatir jika ada orang miskin dan anak yatim marah kepada saya, karena ada ayatnya dalam Al Quran yang menyatakan kalau sampai menghardik mereka, itu namanya termasuk orang yang mendustaka agama” ujar Kapolda.
Dia menjelaskan, bahwa menghormati dan menyayangi orang miskin adalah perintah Tuhan, jadi dirinya tidak pernah merasa rendah jika sampai mencium tangan mereka tanda penghormatan. Bagi Umar, menghormati mereka dilihatnya juga dari ujian berat yang diterima orang-orang itu.
“Mungkin saya ataupun rekan-rekan semua tidak akan sanggup menerima ujian seberat yang diterima oleh orang-orang yang saya cium tangannya itu” imbuhnya renyah dengan tebaran senyum kepada para awak media yang ngobrol ringan dengan sang jenderal.
Dikatakan juga, upaya memberikan panutan semacam itu bagi Kapolda adalah usahanya memberi contoh kepada bawahannya ataupun orang lain yang masih menganggap diri lebih tinggi derajatnya dari orang-orang yang terlihat miskin padahal dihadapan Tuhan derajatnya bisa jadi justeru kebalikannya.
“Dihadapan Tuhan kita semua sama dan yang membedakan adalah taqwa” lanjutnya.
Moment yang kebetulan dapat diabadikan oleh salah seorang personil polisi yang mendampinginya ini menyiratkan makna yang sangat mendalam. Mungkin terlihat mudah dalam sikap, namun membuang ego dan melepas segala keakuan sehingga kepala dapat tertunduk kepada orang-orang yang biasanya dianggap lebih rendah adalah sesuatu yang sangat sulit untuk dilakukan apalagi untuk level para pejabat seperti yang dilakukan oleh kapolda NTB ini. (ddt
Dilarang Menghina dan Membenci Ulama
Nabi SAW bersabda :
قَالَ عَلَيْهِ السَّلَام (من حقر عَالما فَهُوَ مُنَافِق مَلْعُون فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَة)
" barang siapa menghina orang 'alim maka dia orang munafiq, terlaknat di dunia dan akherat "
وَعَن ابْن عَبَّاس رَضِي الله عَنْهُمَا من آذَى فَقِيها فقد آذَى رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم وَمن آذَى رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم فقد آذَى رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم فقد آذَى الله عز وَجل
فَقَالَ تَعَالَى {إِن الَّذين يُؤْذونَ الله وَرَسُوله لعنهم الله فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَة وَأعد لَهُم عذَابا مهينا}
Dari Ibnu Abbas -semoga Allah meridhloi keduanya- :
" barang siapa menyakiti orang yg sangat 'alim maka dia telah meyakiti Rasululloh shollallohu alaihi wasallam dan barang siapa yg menyakiti Rasululloh shollallohu alaihi wasallam maka dia telah menyakiti Allah azza wajalla "
Allah ta'ala berfirman :
" sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, maka Allah akan melaknati mereka dan menyediakan bagi mereka siksa yang menghinakan.”
(QS. Al-Ahzab:57)
abu manshur ats tsa'alibi -semoga Allah merahmatinya- dalam kitab al faroid wal qolaid berkata :
" tdklah menghina ilmu dan pemiliknya kecuali orang tinggi derajatnya yg bodoh atau orang rendahan yg tdk jelas "
عَن حُذَيْفَة رَضِي الله عَنهُ أَنه قَالَ إِنَّكُم لن تزالوا بِخَير مَا عَرَفْتُمْ الْحق وَكَانَ الْعَالم فِيكُم غير مستخف بِهِ
dari hudzaifah -semoga Allah meridhloinya- berkata :
" sesungguhnya kalian senantiasa dalam kebaikan selama kalian mengetahui kebenaran dan ada orang 'alim bersama kalian serta kalian tidak merendahkannya."
وَذكر الإِمَام أَبُو الْقَاسِم الرَّافِعِيّ رَحمَه الله وَتَبعهُ النَّوَوِيّ والأصبحي وَغَيرهم رَضِي الله تَعَالَى عَنْهُم أَن الوقيعة فِي الْعلمَاء مُحرمَة أَشد تَحْرِيم وألحقوها بالكبائر الَّتِي ترد بهَا الشَّهَادَات وَتسقط بهَا الولايات وَهَذَا مَا لم يقْصد بذلك استهزاء فَإِن قصد الإستهزاء بِالْعلمِ أَو بالعلماء أَو بالشريعة الْعُظْمَى أَو بِشَيْء من أَحْكَام الدّين فقد كفر بِاللَّه رب الْعَالمين وَصَارَ مُرْتَدا تجْرِي عَلَيْهِ أَحْكَام الْمُرْتَدين
al imam abul qosim arrofi'i -semoga Allah merahmatinya- imam Nawawi , al ashbuhi dan selain mereka -semoga Allah ta'ala meridhloi mereka- menuturkan bahwa fitnah kpd ulama' sangat2 di haramkan , mereka menyamakannya dengan dosa besar yg dengannya kesaksian tertolak dan kekuasaan gugur.
ini jika tdk bertujuan menghina, jika bertujuan menghina ilmu atau ulama', atau syare'at yg agung atau sesuatau dari hukum2 agama maka dia telah kafir kpd Allah Robbul 'aalamiin, dia menjadi murtad dan berlaku padanya hukum2 orang murtad.
Na'uudzu Billah mindzaalik
Habib Lutfi di tantang 10 dukun
Pernah suatu ketika, sekitar 10 dukun mendatangi Habib Luthfi bin Yahya untuk ditantang keilmuannya.
Habib Luthfi dengan tegas menolak tantangan tersebut. Beliau balik
bertanya : "Untuk apa dan atas dasar apa anda menantang saya?"
Salah satu dari 10 dukun itu menjawab : "Kami mau tahu apa kelebihanmu,
kok murid-muridmu banyak bahkan ada di mana-mana. Dan apa benar Habib
ini wali Allah, kok sampai-sampai banyak yg senang dan mencintaimu."
Habib Luthfi cuma tersenyum mendengar penuturan si dukun itu. Kemudian
10 dukun tersebut mulai komat-kamit tidak jelas dan mengambil satu
"keris legenda" kata si dukun, lalu diletakkan persis di depan Habib
Luthfi. Lantas dukun itu berkata : "Ambillah
jika Habib mampu!"
Habib Luthfi pun hanya tersenyum sembari berjalan membawa sapu lantai
dan disapunya keris itu dengan mudahnya tanpa membuang-buang tenaga.
Kagetlah 10 dukun itu, gumam mereka : "Kok bisa ya cuma dengan menyapu
saja, padahal sudah aku buktikan tak ada seorang pun yg dapat mengambil
keris itu."
Setelah Itu Habib Luthfi bin Yahya mencabut bulu rambut yg ada di kepalanya dan meletakkannya persis di depan 10 dukun itu.
Beramai-ramailah dukun itu dengan sekuat tenaga mengambil satu helai
bulu rambut Habib Luthfi. Namun apa hendak dikata, tidak satu orang pun
dari mereka yang dapat mengambil bulu rambut itu.
Akhirnya 10 dukun itu segera meminta maaf kepada Habib Luthfi dan bahkan bersedia menjadi murid Habib Luthfi hingga saat ini.
smoga manfaat dan menambah keyakinan kita tentang kekuasaan Alloh..amin.
Subscribe to:
Posts (Atom)