Tuesday, June 7, 2016

NGAJI TAFSIR JALALAIN BARENG HABIB LUTHFI BIN YAHYA PEKALONGAN






Habib Luthfi bin Yahya belajar tafsir al-Quran menghabiskan waktu selama 11 tahun. Habib Luthfi mengingatkan dalam pembukaan pengajian Ramadhan di kediamannya (Senin, 6/6/2016), bahwa al-Quran memiliki makna dzahir dan bathin. Tidak mudah menafsiri al-Quran, harus menguasai seperangkat ilmunya semisal ilmu alat (nahwu-sharaf), balaghah, manthiq, badi' dan bayan.
Satu contoh, dalam al-Quran terdapat lafadz jamak tapi mengandung makna ta'dib (adab/tatakrama). Sepertihalnya dalam percakapan, lafadz "Antum" (kalian/jamak) ditujukan untuk mufrad (kamu/satu orang) sebab berbicara dengan yang lebih alim atau sepuh. Itu kalimat halus, sangat menyentuh, mengandung adab.
Ayat "Inna nahnu nazzalna adz-dzikra...", Nahnu di sini adalah ta'dib pada Baginda Nabi Saw., Sayyidina Jibril As., disamping memiliki faidah mu'adzdzam nafsah (mengagungkan diriNya Swt.). Allah mengangkat derajat hambaNya yang terpilih. Maka kalau mau memberikan keterangan (catatan penting) bikin buku khusus sendiri, jangan di kitabnya. Minimal itu bentuk adabnya kita pada muallif (pengarang) kitab.
Tafsir Kursi Allah
Kajian tafsir al-Quran dengan kitab Tafsir Jalalain malam itu bertepatan dengan malam ke-2 bulan Ramadhan, meneruskan tafsir surat al-Baqarah ayat ke 251-259. Diantara yang perlu disoroti adalah tafsir "Kursi Allah". Ragam tafsirnya, pertama Kursi adalah Ilmu Allah, bukan wujudan (makhluk), sebagaimana tafsirnya Ibn Abbas Ra. dan selainnya.
Pendapat kedua, Imam az-Zamakhsyari, menafsiri Kursi dengan makhluk Allah yang sangat besar, lebih luas dari langit dan bumi. Masih menurutnya, Ilmu Allah dinamai dengan Kursi karena ilmu itu menempati pada sesuatu. "Bisa dikatakan sebagai majazan atau isti'arah. Semisal, jika sekarang kursi itu bermakna jabatan sedangkan Kursi di sini sebagai wadahnya al-Quran." Ucap Kang Tsauri mengutarakan argumennya. "Sedangkan menurut ar-Razi, Ilmu Allah dilambangkan dengan Kursi sebagai lambang kebesaran," sahut peserta lainnya.
Habib Luthfi kemudian menjelaskan beberapa makna yang terkandung dari ayat "Wasi'a kursiyyuhu...", Kursi ditafsiri sebagai Ilmu Allah karena beberapa sebab diantaranya:
1. Ilmu Allah tidak mungkin bisa diukur, diungkapkan dalam ayat dengan lebih luas daripada langit dan bumi.
2. Ilmu Allah tidak memerlukan pertolongan/bantuan, bahkan langit dan bumi adalah makhluk yang tentu membutuhkan bantuan Allah Swt.
3. Ada ilmu yang tidak diberikan kepada semua makhlukNya, hanya khusus semisal untuk malaikat, para nabi dan rasul, arifin dan wali Allah.
4. Ilmu Allah yang luasnya telah ditunjukan kepada kita semua (meliputi langit dan bumi), bukan berarti ilmu Allah sebatas itu. Artinya ilmu Allah takkan mungkin bisa diukur. Jangankan ilmu Allah, langit dan bumi saja yang bisa dilihat antar ujungnya tidak bisa diukur, apalagi yang tidak kelihatan." Korelasinya dengan ayat "Wama utitum minal 'ilmi illa qalila", hanya sedikit saja ilmu yang diperlihatkan pada makhlukNya.
5. Makna tauhidnya, yaitu tidak bisa terlepas apa-apa yang ada di langit dan bumi terkecuali atas kudrat dan iradah Allah Swt.
Kisah Nabi Uzair
Tafsir surat al-Baqarah ayat 259, tentang kisah Nabi Uzair As. yang dikisahkan pernah melewati perkampungan mati. Nabi Uzair bertanya dalam hatinya bagaimana Allah menghidupkan kota ini setelah menjadi kota mati. Maka untuk menunjukan kekuasaanNya Allah mematikan Nabi Uzair dan setelah 100 tahun dihidupkan kembali. Keledai Nabi Uzair yang sudah menjadi tulang belulang dihidupkan kembali. Sebagai perbandingan kecil, Maulana Habib Luthfi bin Yahya menceritakan penyaksiannya tentang guru mursyidnya.
Syaikh Abdul Malik bin Ilyas Purwokerto (Mbah Malik), adalah orang yang sangat alim dan al-hafidz. Dulu pernah terjadi, sebelum shalat Dzuhur beliau terbiasa melakukan shalat sunnah Qabliyah dan setelahnya dilanjutkan membaca shalawat bersama jamaahnya dari jam 12 siang sampai jam 13:30 WIB.
"Shallallahu 'ala Muhammad..." tepat jam 13:30 selesai, iqamat pun berkumandang tanpa komando karena sudah menjadi adat kebiasaannya. Meski sudah dikomati, namun waktu itu Mbah Malik masih tetap duduk terdiam, tidak bangun dan hanya tasbihnya saja yang masih jalan. Ditunggu lama Mbah Malik tak kunjung bangun hingga waktu Dzuhur hampir habis. Akhirnya shalat pun terpaksa dikerjakan berjamaah dipimpin Mbah Kiai Isa, adik ipar Mbah Malik.
Sampai malam hari Mbah Malik belum juga bangun, padahal kondisinya normal tidak ada gejala apapun yang mencurigakan. Sampai 3 hari, seminggu, sebulan, hingga bertahun-tahun lamanya tidak ada yang berani membangungkan. Tidak ada perubahan sedikitpun yang mencurigakan kecuali setiap harinya wajah Mbah Malik semakin yatala'la (mencorong) nurnya.
Baru setelah 3 tahun berlalu, Mbah Malik tiba-tiba bangun persis pada jam 13:30 WIB. "Qamat...qamat..." pinta beliau. Lalu semuanya berdiri untuk shalat berjamaah dan Mbah Malik sebagai imamnya. Herannya shalat beliau berlangsung dengan normal seperti biasanya, tanpa lemah ataupun limbung, padahal "la yasyrab wala ya'kul" (tidak makan dan tidak minum) selama 3 tahun. Itulah maqam fana' yang pernah dialami Mbah Malik.
Selesai shalat, Mbah Malik bertanya, "Lha si anu mana? Si itu ke mana?"
"Mereka sudah meninggal, Kiai", jawab para santri.
"Lha tadi masih bareng shalawatan koq," ucap Mbah Malik sebelum mengetahui sudah 3 tahun dirinya baru terbangun.

No comments:

Post a Comment